pengungsi Rohingya di Indonesia tercatat mencapai 1.487 orang. Apa opsi yang dimiliki Pemerintah dengan semakin membludaknya jumlah pengungsi Rohingya dari waktu ke waktu? manakah yang harus dipilih, Kemanusiaan atau Kedaulatan (Pertahaan dan Keamanan)?Â
Jakarta 14 December 2023 -Â Berdasarkan informasi dari www.wapresri.go.id tanggal 5 Desember 2023,Konflik yang terjadi di Myanmar dikenal dengan konflik antara etnis Rohingya dan Rakhine. Meskipun terjadi di Myanmar, konflik tersebut berdampak bagi negara-negara yang bertetangga atau berdekatan dengan Myanmar seperti Indonesia, Malaysia dan Bangladesh. Â Rohingya merupakan kelompok etnis Muslim yang sudah turun-temurun hidup di wilayah Rakhine, Myanmar dengan jumlah lebih dari 1 juta orang . Sementara di sisi lain, sebagian besar warga Myanmar adalah penganut agama Budha.
Awal mula pemicu konflik Rohingya pada bulan Juli tahun 2012 adalah perlakuan buruk pemerintah dan militer Myanmar selama bertahun-tahun. Pemerintah Myanmar menyatakan etnis Rohingya adalah imigran gelap asal Bangladesh yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Etnis Rohingya tidak bisa mendapatkan perawatan medis, sekolah, maupun layanan dasar lainnya di negara itu. PBB bahkan menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah salah satu populasi paling teraniaya di dunia (the most persecuted minority in the world). Perlakuan kekerasan dari pembunuhan, penyiksaan, pembakaran rumah dan pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal dialami oleh etnis Rohingya. Maka atas perlakuan diskriminatif tersebut, mereka menyelamatkan diri dengan mengungsi ke negara-negara tetangga terdekat.Â
Jika kita melihat definisinya, Pengungsi adalah individu atau sekelompok individu yang terpaksa menyelamatkan diri dan bahkan memutuskan hubungan dengan negara asalnya dikarenakan rasa takut akan penindasan (persecution), maka pengungsi bertujuan mencari bantuan berupa perlindungan maupun suaka dari suatu negara.
Menurut hukum internasional dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, Pengungsi adalah individu atau sekelompok individu dari peristiwa yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasarkan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang termasuk, tidak dapat, atau karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.
Lalu bagaimanakah landasan dasar mengenai kebijakan Pengungsi di Indonesia?Â
Indonesia memiliki hukum positif yang mengatur mengenai penanganan pengungsi. Menurut Pasal 3 Perpres 125 tahun 2016, penanganan pengungsi harus memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku secara umum serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, penanganan pengungsi dikoordinasikan oleh Menteri Polhukam, dengan kebijakan meliputi penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan (keimigrasian).
Tidak hanya itu, Indonesia pun memiliki peraturan mengenai pemberian suaka bagi pengungsi, yaitu dalam Pasal 26 UU 37 tahun 1999 disebutkan bahwa pemberian suaka kepada orang asing dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktik internasional.
Walaupun Indonesia memiliki hukum positif mengenai pengungsi, ternyata Indonesia belum menjadi negara pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967 (berdasarkan UNHCR). Mengapa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967?
Pertama, jika Indonesia menjadi negara pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka Indonesia harus melaksanakan ketentuan-ketentuan seperti:
1. Pasal 4 mengenai kebebasan beragama,
2. Pasal 17 mengenai hak untuk bekerja dan menerima upah,
3. Pasal 21 mengenai hak untuk memiliki rumah,
4. Pasal 22 mengenai hak untuk mendapatkan pendidikan, dan sebagainya.
Kedua, Bagi Indonesia ada beberapa pasal tersebut yang sulit untuk dilaksanakan. Contohnya pada Pasal 17 Konvensi 1951 menuntut negara pihak untuk memberi pekerjaan bagi para pengungsi. Sementara Indonesia adalah negara yang masih berkembang serta memiliki angka pengangguran yang cenderung cukup tinggi. Pada Pasal 21 Konvensi 1951 terdapat ketentuan juga untuk dapat memberikan rumah bagi para pengungsi, sedangkan masih banyak terdapat kemiskinan di Indonesia. Secara garis besar, ketentuan dari beberapa pasal Konvensi 1951 jika dilaksanakan oleh Indonesia akan berpotensi menimbulkan kesenjangan dan kegaduhan bagi masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H