Mohon tunggu...
Leon Wilar
Leon Wilar Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis

Aktivis, Peneliti, Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Wale, Foso Tumo'tol Hingga Rumamba

4 Desember 2022   23:47 Diperbarui: 4 Desember 2022   23:51 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ia juga menjelaskan, di kampung-kampung, para tu'ur imbale seperti 'kelung umbanua' atau 'aka imbanua', mereka yang menjadi fondasi di dalam klan (rumah). Rumah yang dijadikan sebagai tempat perlindungan, tempat ibadah dan tempat belajar, dalam konsep tertentu adalah ruang hidup bagi keluarga, dan yang akan menentukan masa depan mereka.

Salah satu bagian sentral di dalam rumah juga adalah dapur. "Dapur kalau model dulu, hanya seperti 'batu dodika' yang menyimbolkan keharmonian, mengingatkan tentang asal usul, tapi juga mengingatkan tentang ikatan keluarga," jelas Fredy.

Secara filosofis, dari sisi pembelajaran, 'batu dodika' mengingatkan orang Minahasa tentang tiga hal yang mendasar. Ngaasan (kecerdasan), niatean (punya kepekaan), dan keter (kuat secara fisik). Hal itu yang membentuk kualitas tou (orang) dari rumah tersebut.

"Dengan demikian manusia harus pakai otak, punya hati bersih, dan harus kuat. Tapi itu tidak terpisah, namun utuh dalam diri seseorang. Output dari keluarga tersebut, mereka akan mendidik tonaas," tegas Fredy.

'Batu dodika' juga simbol yang mengingatkan tentang spiritualitas, Tuhan, orang tua, dan anak. Ikatan inilah yang menentukan hakekat sebagai tou Minahasa. "Jadi kita tidak perlu resah dan memperdebatkan bahwa leluhur kita, kalau dari bahasa biologis seperti kera atau sekarang heboh-heboh berasal dari Dinasti Han. Tidak akan bermasalah, apabila kita memahami tiga prinsip (batu dodika) ini dan tidak akan goyah," tandasnya.

Dalam lingkaran tersebut, generasi saat ini bisa memahami ada orang tua, dan orang tua kita memiliki silsilah, dan sadar silsilah itu berasal dari Tuhan. Tiga 'batu dodika' ini ada dalam ikatan dan mengingatkan juga tentang tiga acuan hidup orang Minahasa, yang disebut sebagai leluhur Karema, Lumimu'ut, dan Toar. Mulai dari pendidikan, spiritualitas, dan bersosial.

Kata Fredy, ada ungkapan tua 'dapur berasap' yang masih tetap hidup sampai sekarang. Itu juga bagian dari eksistensi orang Minahasa agar hidup bersosial dan dimulai dari keluarga. Etos hidup dari sebuah keluarga, juga ditentukan dari 'dapur manyala', atau ada aktivitas yang dilakukan di dalam dapur dari pemilik rumah.

"Dari tiga hal tersebut, tempat perlindungan, tempat belajar, dan tempat ibadah, pokok dasarnya di sini. Makanya kalau kita lihat saat ini, terkadang oma atau opa tinggal atau memiliki kamar tidur dekat dapur," kata Fredy.

Selanjutnya, api adalah simbol kehangatan, juga semangat. "Kalau di rumah dulu saat bangun pagi, kita biasa menyalakan api untuk memasak air. Maknanya, saat mereka akan menyalakan api, kalau dulu, pagi-pagi mereka pergi ke tetangga untuk meminta api. Dikarenakan saat diberikan hanya bara api saja, tugas mereka untuk buat api tersebut agar bisa menyala. Itu menjadi semacam cermin. Sama seperti saat kita merefleksikan proses meminta api dan membawa api tersebut ke dapur kita. Dapur memiliki filosofi yang diibaratkan, kalau di rumah seperti jantung. Karena, saat masih berdenyut, pasti keluarga tersebut masih hidup," jelas Fredy. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun