Apakah kalian pernah melihat  plesetan sebuah merek ketika kalian sedang scrolling di media sosial? Misalnya plesetan merek baju, merek Merek tersebut beragam, misalnya merek fast fashion, merek fast food, dan masih banyak lagi.
Ternyata, hal ini merupakan salah satu pemikiran Posmodernisme yang bernama Culture Jamming, loh!
Sebelum itu, kita akan memperdalam mengenai perbedaan pandangan modernisme dan posmodernisme melihat sebuah budaya, dan apa itu culture jamming.
Modernisme vs Posmodernisme dalam melihat sebuah budaya
Modernisme sudah dimulai sejak abad ke-15, yang ditandai dengan abad pencerahan atau Renaissance. Dari linimasa munculnya modernisme, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka melihat budaya sebagai sesuatu yang mutlak. Budaya dianggap tinggi, tidak dapat untuk dikritisi, dipertanyakan dan sakral. Sedangkan, posmodernisme adalah sebuah pemikiran yang muncul mulai tahun 1960an. Posmodernisme melihat sebuah budaya sebagai sesuatu hal yang dibuat oleh manusia. Budaya dapat didekonstruksi atau dibedah untuk dianalisis.
Culture Jamming
Culture Jamming pertama muncul sekitar tahun 1980-an sampai 1990-an. Sejatinya, culture jamming merupakan praktis mengubah pesan yang dikeluarkan oleh media massa, khususnya iklan, dengan sebuah satir yang artistik. Culture jamming ini bersifat anti-konsumerisme, mereka mengatur ulang logo, pernyataan fashion, dan gambar produk untuk memberikan perhatian tentang konsumsi, kerusakan lingkungan dan praktis sosial yang tidak adil. (Barker & Jane, 2016, h. 240-241)
Orang-orang yang sering melakukan culture jamming sering disebut sebagai jammers. Para jammers ini mencoba untuk mengubah semiotika dari media yang jadi target mereka, dengan cara mengubah "pesan" yang dikeluarkan dalam sebuah iklan menjadi "anti-pesan" nya sendiri.Â
Secara simpel, jammers itu membalikkan pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah iklan menjadi bumerang bagi iklan tersebut.
.
.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai culture jamming lebih lanjut, kita akan mengambil sebuah contoh. Kali ini, kita akan membahas mengenai iklan McDonald's dan bentuk culture jammingnya.Â
Seperti yang kita ketahui, McDonald's merupakan salah satu restoran fast food yang ada di Indonesia. Restoran berslogan "I'm Lovin' It" ini menjual berbagai fast food, mulai dari hamburger, kentang, ayam, soda dan lain-lain. McDonalds juga rutin mengeluarkan berbagai menu fusion dengan makanan Indonesia dengan harapan untuk memperluas demografis dari konsumennya. Demografis konsumen McDonald's sangat luas, dari anak kecil sampai orang dewasa. Hal ini dikarenakan McDonald's yang praktis, enak dan juga memiliki variasi menunya yang banyak.
Namun, hal ini tidak demikian dengan para jammers. Jammers memilih untuk memutar logo "M" dari McDonald's menjadi "W". Mereka juga mengubah slogan "I'm Lovin' It" menjadi "I'm Gainin' It". Jammers melihat bahwa McDonald's merupakan salah satu bentuk badan usaha kapitalisme yang "jahat" dan "serakah". McDonald's sama sekali tidak memperhatikan tentang dampak yang akan terbentuk pada manusia jika mengkonsumsi McDonald's secara terus menerus. Dampak yang ingin ditonjolkan dalam bentuk culture jamming ini adalah obesitas. Obesitas merupakan kondisi dimana tubuh kita memiliki berat badan yang diatas normal. Dari obesitas, dapat muncul penyakit-penyakit yang tidak kita inginkan. Dari penyakit kecil hingga penyakit yang fatal.Â
.
Untuk uraiannya, dapat kita jabarkan seperti ini:Â
 "Saya cinta makanan McDonald's dan akan sering kembali untuk membelinya lagi."
Pesan yang disampaikan pada iklan asli McDonald's yaitu semua orang yang mengkonsumsi McDonald's akan menyukainya dan akhirnya datang lagi ke McDonald's.
"Jika saya makan di McDonald's, berat badan saya akan bertambah & saya akan jadi obesitas"
Hal ini dijadikan bumerang oleh jammers, dengan menjadikan pesan menjadi anti-pesan. Mereka anti-konsumerisme dan melihat bahwa McDonald's merupakan salah satu pelaku terbesar yang menimbulkan adanya obesitas.
.
.
.
Jadi, seperti itulah penjelasan mengenai culture jamming dengan contohnya. Semoga dengan membaca artikel ini, kalian dapat menjadi lebih paham mengenai culture jamming!
.
.
.
Daftar Pustaka :Â
Barker, C., & Jane, E. (2016). Cultural studies: Theory and practice. (5th ed.). Los Angeles: SAGE Publications
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H