Mohon tunggu...
Adrianus Aryo Saputro
Adrianus Aryo Saputro Mohon Tunggu... Mahasiswa - A Student

Seorang mahasiswa yang butuh menyelesaikan tugasnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesianis: Melodramatis Siti Nurbaya

7 Maret 2022   22:25 Diperbarui: 7 Maret 2022   22:46 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia umumnya tidak asing dengan Siti Nurbaya? Karakter novel Indonesia yang paling populer sebelum perang dunia kedua dan masih mempertahankan popularitas secara besar-besaran setelahnya. Meminjam kacamata indonesianis asal Australia, Siti Nurbaya berhasil dikritisi melalui aspek politik, sosial dan budaya secara sastrawi. Sebelum melihat konsesus tingkat tinggi mengenai posisi, tema, dan signifikansi dalam struktur sastra Indonesia modern, penting bagi kita untuk menilik cultural studies yang menjadi landasan fundamental tulisan ini.

Menurut Stuart Hall, budaya dapat dipahami sebagai arena aktual dari praktik, representasi, bahasa, dan kebiasaan dari semua masyarakat. Cultural studies berurusan dengan semua praktik, institusi, dan sistem klasifikasi, melalui hal-hal tersebut tertanam nilai-nilai, kepercayaan, rutinitas kehidupan, dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku pada masyarakat. Cultural studies telah berupaya untuk mengembangkan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kuasa yang dapat dimanfaatkan oleh agen-agen sosial dalam mengejar perubahan. Inilah yang menurut Hall membedakan cultural studies dengan bidang kajian lain (Barker 2002, h. 4).

Bagi cultural studies arena budaya merupakan tempat utama pertarungan ideologi, medan ‘perlawanan’ dan ‘inkorporasi’, dan salah satu tempat dimana hegemoni harus menang atau kalah (Storey 1996a, h. 4).

Harry Aveling (1970), dalam karyanya yang berjudul “Sitti Nurbaja Some Reconsideration”, mengkritisi plot Sitti Nurbaja dan gaya penokohannya yang melodramatis. Dilihat dari sudut pandang melodrama, pernikahan Nurbaja dengan Meringgih memiliki corak baru. Ketentuan adat tidak ada hubungannya dengan pengaturan perkawinan, yakni keluarganya tidak mengundang dia untuk menikahinya. Pernikahannya tidak diisi oleh pemandangan orang tua kedua belah pihak seperti yang digemari masyarakat Minangkabau. Siti Nurbaja sama sekali tidak dipaksa oleh adat sosial untuk menikah dengan Datuk Meringgih.

Berangkat dari pemahaman tersebut, Harry Aveling menilai salah satu kekurangan penting bahasa Indonesia modern sastra adalah kegagalan para penulisnya. Dalam kajiannya yang bertajuk “The Thorny Rose: The Avoidance of Passion in Modern Indonesia Literature”, Harry Aveling mengkritisi kegagalan interpretasi wanita. Baginya, masalah ini muncul dari ketidakmampuan dalam menggambarkan karakter wanita realistis yang kadang-kadang mendekati sesuatu yang mungkin dianggap sadisme.

Dalam sastra Indonesia modern, kita merindukan tema-tema yang begitu umum dalam sastra pribumi klasik, dan sastra modern lainnya, seperti tema-tema rayuan, rayuan, perzinahan, pemerkosaan, dan komitmen penuh tubuh, intelektual, dan emosional sepasang kekasih (menikah atau tidak) untuk satu sama lain sebagai manusia yang setara. Sebaliknya, ada kepura-puraan tentang tubuh dan fungsinya, dan kepura-puraan yang rumit bahwa pernikahan—dan bahkan menjadi orang tua—dipertahankan tanpa mengacu pada jenis kelamin. Peran pahlawan wanita biasanya diambil oleh "gadis muda murni", yang tumbuh dalam pengasingan terlindung di bawah perawatan memanjakan satu-satunya orang tua yang masih hidup, ayahnya. Dia sering menjadi sosok yang bodoh dan tidak berpikir (setidaknya, sampai terlambat), dengan tenang tunduk pada perubahan yang tak terhindarkan menimpanya, dan ditakdirkan untuk kematian muda yang sekaligus mengharukan.

Sastra Indonesia, menurut sudut pandang Harry Aveling, dinilai menghindari masalah-masalah yang berhubungan dengan hubungan yang penuh gairah antara sederajat dengan restrukturisasi sentimental hubungan, baik secara terhormat menjadi ikatan kekerabatan semu, atau menjadi penghubung dengan wanita buangan.

Kutipan:

Indonesian literature, then, avoids the problems of dealing with passionate relationships between equals by the sentimental restructuring of the relationship, either honorably into a pseudo-kinship tie, or into liaisons with outcast women. It is difficult to see on what basis any adjustment towards fully equality between lovers is possible in Indonesian literature when passion is not for nice people (Harry Aveling, 1970, h.76).

Namun, menurut saya sastrawan Indonesia memang menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia memandang gender terutama wanita. Saya tidak sepenuhnya setuju ketika Aveling menganggap bahwa penulis Indonesia terlalu menggambarkan Siti Nurbaya yang terlalu melodramatis dan menggambarkan wanita sebagai objek atau korban lelaki. Peninggalan pascakolonial memang meninggalkan bekas luka yang tidak kunjung sembuh, namun tetap bisa membaik hingga sekarang. Namun, pada masa kini perempuan tidak dipandang atau tidak diceritakan lagi sebagai objek yang disakiti oleh pria, namun justru menjadi subjek yang menyakiti. Cerita Siti Nurbaya merupakan gambaran atau representasi Wanita Indonesia di masa lalu yang selalu dipaksa ikhlas dan tidak mempunyai pilihannya sendiri. Rupanya, kajian ini menarik untuk dikaji ulang untuk penyempurnaan terkait kesadaran kebebasan perempuan pada masa kini yang semakin meningkat.

sinetron-cinta-fitri-20180513-200141-62262338e2d60e3b5e3108e2.jpg
sinetron-cinta-fitri-20180513-200141-62262338e2d60e3b5e3108e2.jpg
Daftar Pustaka:

Aveling, H. (1970). “Sitti nurbaja”: some reconsideration. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 126(2), 228-245.

Aveling, H. (1970). The thorny rose: the avoidance of passion in modern Indonesian literature. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 126(1), 67-76.

Barker, Chris. (2002). Making Sense of Cultural Studies: Central Problems and Critical Debates. London: SAGE Publications.

Storey, John. (1996a). Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods. Edinburgh : Edinburgh University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun