Pernyataan kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho yang menyatakan tradisi gawai serentak ikut memicu lahirnya titik panas baru sehingga mengakibatkan bencana asap di Kalimantan Barat telah menyakiti hati para petani serta masyarakat adat Dayak yang notabenenya melaksanakan gawai yang dimaksud.
Perlu diketahui dan sebagai tambahan pengetahuan bagi kita semua pembaca budiman khususnya kepada yang terhormat Bapak Sutopo Purwo Nugroho bahwa, berladang dengan cara membakar merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan setiap tahun secara turun temurun, hal tersebut dilaksanakan dengan upaya agar lahan yang akan digunakan menjadi lebih subur sehingga mengurangi penggunaan pupuk berlebihan ketika bercocok tanam.Â
Kedua, berladang dengan cara membakar dapat mengurangi sisa-sisa tanaman yang tidak diperlukan di sekitar lahan tanam sehingga membuat kerja para petani lebih mudah dibanding hanya dengan cara ditebas atau hanya digemburkan saja dan petani memerlukan hand tractor. Dengan minimnya alat serta pengetahuan dalam mengolah lahan berladang tanpa membakar membuat hal tersebut terus dilakukan oleh para petani.
Namun, apa yang dilakukan petani tidaklah dapat dikategorikan sebagai penyebab utama atau pemicu titik panas baru seperti yang diungkap karena petani juga memiliki tehnik tersendiri dalam membakar lahannya sehingga ungkapan tersebut terkesan dibuat-buat karena tanpa data dan fakta di lapangan. Apalagi dengan menyebut tradisi gawai serentak yang dilaksanakan di beberapa wilayah di Kalimantan khususnya di Kalimantan Barat.
Untuk masalah tradisi gawai yang dilakukan serentak di beberapa daerah terutama oleh Masyarakat Adat Dayak di Kalbar itu merupakan suatu tradisi sebagai ucapan syukur dan doa atas hasil panen padi yang didapat dari berladang bukan sebagai penanda bagi masyarakat yang berladang untuk membakar lahannya.
Jika dilihat ke lapangan, kebakaran hutan yang terjadi sehingga menyebabkan bencana asap di Kalbar malah terjadi di daerah-daerah gambut yang tidak cocok digunakan sebagai lahan untuk berladang (menaman padi).
Sebagai contoh kebakaran hutan secara besar-besaran yang terjadi di Jalan Parit Haji Muksin, Jalan Sungai Raya Dalam Kabupaten Kubu Raya dan Jalan Sepakat serta Jalan Purnama di kota Pontianak yang notabenenya merupakan daerah perumahan artinya ada indikasi kebakaran yang terjadi merupakan unsur kesengajaan. Kemudian di daerah Antibar dan Bakau Darat, kabupaten Mempawah yang notabenenya juga daerah perkebunan kelapa sawit.
Banyak lagi bukti lain berupa data dan fakta yang jelas menerangkan bahwa kebakaran hutan tidak terjadi di daerah-daerah masyarakat berladang namun kerap atau sering terjadi di daerah gambut yang rata-rata daerah perumahan atau perkebunan namun pelaku dan tersangka pembakar hutan yang ditangkap menjadikan lahan berladang sebagai alasan untuk meringankan hukuman yang akan menjeratnya.
Untuk itu, kita berharap Ybs dapat mempertanggungjawabkan ucapannya tersebut di depan Masyarakat Adat Dayak yang dimaksud agar tidak terjadi sesuatu yang diinginkan di kemudian hari.Â
Tidak cukup hanya minta maaf dan menghapus statement saja tetapi harus siap menghadapi proses hukum dan adat istiadat di kalangan Masyarakat Adat Dayak.Â