Mohon tunggu...
Adrianus Marsel
Adrianus Marsel Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di pulau Kalimantan tepatnya di Kalimantan Barat. Senang berkreasi dan percaya akan sebuah keajaiban...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

5 Racikan Obat Untuk Guru Agar Bisa Menulis

12 November 2014   21:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Ketika seorang guru berada di depan kelas, maka guru akan menjadi model bak selebritis yang selalu tampil di layar kaca. Segala sesuatu yang dilakukan, diperankan maupun diungkapkan guru akan diteladani para peserta didik. Seperti halnya selebritis, mereka akan disanjung jika melakukan hal yang positif namun sebaliknya. Sebagai contoh kasus yang menimpa Kabul Basuki yang akrab disapa Tessy. Selebritis yang selalu berperan sebagai seorang wanita ini dulunya dikagumi banyak orang karena menghibur dengan lawakan yang memukau para penonton. Namun apa yang terjadi ketika Tessy ditangkap oleh pihak kepolisian atas kasus Narkoba yang menimpanya. Bisa dibayangkan berbagai cacian, cemoohan dan lain sebagainya sudah pasti akan Ia terima. Begitu juga bagi seorang guru. Banyak contoh kasus yang terjadi pada oknum guru yang melakukan tindakan negatif, pelecehan seksual, kekerasan dan lain sebagainya. Mereka akan menjadi sorotan dan bulan-bulanan masyarakat.

Kemudian, guru juga diharapkan dapat melakukan sesuatu yang berbeda. Layaknya seorang selebritis yang dituntut untuk mencari sesuatu (sensasi) yang berbeda agar menjadi pemberitaan hangat sehingga menjadi buruan para pencari berita. Dengan hangatnya berita yang disajikan maka akan membuat para selebritis selalu eksis tampil di layar TV dan otomatis akan kebanjiran banyak tawaran. Nah, begitu juga dengan guru. Seharusnya, guru juga dapat berperan selayaknya seorang selebritis yang berani tampil beda agar Ia menjadi pedoman bagi peserta didik sehingga menjadi sumber inspirasi.

Seperti apa yang disampaikan Anies Baswedan, Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah, “mestinya pendidikan karakter itu untuk orangtua dan guru, bukan untuk anak-anak. Mereka lantas mempraktikkannya dan anak-anak belajar dari mereka.” Bagaimana peserta didik mau melakukan apa yang diminta guru, ketika memberikan suatu perintah atau tugas kepada peserta didik agar mereka mendapatkan nilai yang pantas dengan apa yang dikerjakan jika guru saja tidak dapat melakukannya. Bagaimana guru bisa menilai sebuah tugas / pekerjaan rumah (PR) untuk peserta didik jika guru saja tidak mampu melakukannya? Apalagi bagi guru untuk mata pelajaran bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris dll) yang mana di dalam materi pelajaran terdapat materi tentang menulis diantaranya menulis sebuah cerita berupa narasi, cerpen dan lain sebagainya atau menulis paragraf berupa opini maupun artikel. Guru yang tidak pernah menulis maka Ia akan mengalami kesulitan dalam memberi contoh. Kalaupun bisa memberi contoh, hanya sebatas tulisan milik orang lain yang sudah ada di berbagai media cetak maupun online dan sudah pasti peserta didik akan menggerutu di dalam hati, “Guru saja tidak bisa, apalagi kami (siswa).”

Tetapi itulah kenyataannya. Seperti kasus yang heboh di media sosial beberapa waktu lalu. Tugas atau PR siswa untuk pelajaran matematika (perkalian) yang disalahkan guru karena memiliki jawaban yang berbeda dari sang guru. Kasus 4x6=24 atau 6x4=24.

Dalam kasus seperti yang disampaikan di atas, sangat disayangkan jika ada guru bahasa yang tidak bisa menulis. Seharusnya, guru memberikan contoh yang baik bagi peserta didik sehingga mereka dapat mencontoh dan meneladani guru tersebut. Apalagi bagi guru bahasa yang seharusnya membidangi dunia tulis menulis. Tak patut jika ada guru bahasa yang tak dapat menulis atau minimal menghasilkan sebuah tulisan.

Beda halnya dengan guru-guru lain yang bukan / tidak membidangi pelajaran bahasa, sudah pasti akan mengalami kesulitan dalam merangkai kata-kata ke dalam stuktur kalimat yang baik dan benar dalam sebuah tulisan. Kalau pun bisa, maka guru tersebut adalah guru yang sangat luar biasa.

Jika kita amati, guru bahasa adalah seseorang yang telah diberikan pemahaman pengetahuan lebih baik mengenai dunia tulis menulis ketika menempuh pendidikan sebelum dinyatakan sebagai seorang guru. Setelah orang itu dinyatakan sebagai guru maka Ia telah memiliki kemampuan lebih di bidangnya sehingga apa yang telah dipelajari seharusnya akan lebih mudah dilakukan. Namun kenyataannya tidak banyak (sedikit) guru bahasa yang membuat tulisan atau menulis. Menurut saya, hal itu hanya karena terbentur oleh rasa malas yang berkepanjangan bukan karena tidak bisa atau tidak mampu melainkan tidak mau. Sampai kapan guru terus mengunci diri oleh tekanan rasa malas yang mengakibatkan guru terlihat tidak mampu melakukannya.

Di dalam tulisan ini saya akan berbagi 5 racikan obat menulis berupa informasi atau pengalaman untuk para guru dalam meningkatkan semangat menulis khususnya untuk guru bahasa yang seharusnya adalah master / gurunya di dunia tulis menulis. Dan menurut saya, guru tersebut hanya perlu sedikit motivasi dan inspirasi agar kembali bersemangat serta mampu melawan rasa malas yang selama ini membelenggu mereka.

Pertama, Atujad (Atur Jadwal). Aturlah jadwal khusus untuk menulis paling tidak 10 - 20 menit per hari atau dengan target 1 – 2 halaman dalam satu hari kemudian tingkatkan waktu atau target secara bertahap. Seperti cerita inspirasi yang saya peroleh dari guru besar / profesor wanita satu-satunya yang ada di Kalimantan Barat dengan konsentrasi Teknologi Pendidikan yang berusia kurang lebih 70an tahun, waktu itu saya hendak konsultasi tesis untuk program magister konsentrasi Teknologi Pendidikan beberapa tahun yang lalu.

Menurutnya, manusia dewasa membutuhkan waktu istirahat minimal 8 jam dalam sehari. Artinya, dalam waktu 24 jam manusia harus menyediakan waktu istirahat selama minimal 8 jam. Maka dari itu ketika waktunya istirahat, silahkan istirahat namun tidak harus istirahat selama 8 jam tersebut. Namun, kita dapat membagi waktu istirahat per 4 jam atau per 2 jam sesuai dengan kebutuhan. Di sini saya akan memberikan contoh dari apa yang disampaikan oleh Ibu Profesor.

Jadwal dimulai ketika pukul 20.00 malam, Beliau beristirahat (tidur) hingga pukul 22.00/23.00 malam. Kemudian pukul 23.00 hingga pukul 00.00 atau bahkan pukul 01.00, Ia gunakan untuk menulis atau paling tidak membaca, setelah itu pukul 01.00 hingga menjelang sholat subuh sekitar jam 03.00 atau jam 04.00 kembali beristirahat, dan pukul 03.00 Ia menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim, setelah itu Beliau kembali membaca (Alquran, dll) atau berolahraga hingga menjelang beraktifitas di kampus.

Dapat kita simpulkan dari waktu istirahat Ibu Prof. di atas bahwa waktu istirahat Beliau hanya sekitar 4-5 jam saja pada malam hari sehingga kurang 3-4 jam. Nah, sisa istirahat yang kurang pada malam hari Beliau gunakan ketika menjelang istirahat siang sekitar pukul 12.00 siang hingga pukul 15.00 / 3 sore. Maka kebutuhan waktu untuk istirahat terpenuhi. Seperti itu terus kegiatan yang dilakukan sehari-harinya terkecuali jika ada kegiatan di luar kota atau kegiatan yang tak menentu. Namun diakhir pertemuan itu Ibu Prof berpesan, bahwa apa yang dilakukannya itu harus diimbangi dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan teratur pula agar tidak mengganggu kesehatan yang lain.

Dari informasi di atas, saya merasa malu pada diri sendiri karena kalah dengan apa yang dilakukan wanita tua yang sudah bergelar profesor saja masih mau menyediakan waktunya sebanyak 3/4 jam per hari untuk menulis atau minimal membaca. Beliau masih mau menyita waktu istirahat hanya untuk menulis padahal ketika berada di usia tua, seorang manusia sangat membutuhkan waktu istirahat yang panjang. Apalagi bagi generasi muda yang masih banyak waktu, kesehatan yang memadai dengan kemampuan 2-3 kali lipat lebih dari orang tua untuk berkarya namun tidak mau dan tidak bisa menyediakan waktu untuk menulis.

Kedua, MenSumIn (Mencari Sumber Inspirasi). Carilah sumber inspirasi dengan membaca kisah penulis hebat yang mengalami keterbatasan fisik namun masih punya semangat untuk terus menulis. Seperti contoh apa yang saya lakukan selama ini adalah ketika berteman dengan penulis yang mengalami kelumpuhan, pengidap penyakit cantik (Seperti Bunda Pipiet Senja, dll) atau terserang stroke namun Ia terus menulis dan bisa menghasilkan tulisan bahkan menjadi sebuah buku. Saya berpikir bahwa orang yang mengalami kekurangan, keterbatasan saja masih bisa melakukannya kenapa kita yang diberikan setengah kesempurnaan tidak dapat melakukannya. Dengan membaca atau mendengar cerita tersebut maka saya yakin dan percaya kita akan kembali termotivasi untuk segera menulis.

Ketiga, Bertedepen (Berteman dengan Penulis). Saya ingat dengan sebuah filosofi. Jika ingin menjadi seniman maka bertemanlah dengan para seniman, jika ingin menjadi penyanyi maka bertemanlah dengan penyanyi, dan jika ingin menjadi penulis maka bertemanlah dengan penulis. Nah, filosofi itulah yang saya gunakan selama ini. Berteman dengan sesama penulis, kita akan banyak mendapatkan masukan, saran bahkan kritikan sehingga dengan begitu maka tulisan kita akan semakin baik minimal semakin enak dibaca. Apalagi jika ingin menerbitkan buku. Kita perlu teman. Ibaratnya, dari penulis untuk penulis. Carilah teman sesama penulis, bergabunglah di komunitas, klub atau organisasi menulis.

Keempat, Mendumay (Mengenal Dunia Maya). Sebagai seorang penulis dan jika ingin menjadi seorang penulis, mau tak mau, suka tidak suka, bisa atau tidak bisa harus berteman dengan dunia maya walaupun bertentangan dengan kondisi dan suasana di dalam kehidupan kita karena langkah terbaik ketika seorang penulis sudah menyelesaikan tulisan adalah dengan meng-expose tulisan tersebut kepada orang lain agar dapat dibaca.

Selain hemat biaya, dengan meng-expose tulisan di dunia maya maka kita akan lebih mudah mendapatkan pembaca dari luar kehidupan kita. Artinya tidak hanya sebatas dari kalangan teman-teman yang satu daerah dengan kita saja namun bisa dari berbagai daerah di dalam maupun luar negeri. Salah satunya dengan bergabung dengan www.kompasiana.com yang digagas oleh Kang Pepih Nugraha, dkk atau http://www.tanotofoundation.org/Tanoto Fondation. Di situlah salah satu wadah berkumpulnya para penulis hebat maupun yang akan hebat nantinya karena di wadah tersebut kita tidak hanya mendapat pencerahan melalui komentar terhadap tulisan tetapi juga bisa berinteraksi antar satu dengan lainnya melalui media message / pesan singkat. Terus terang, jika ada pertanyaan. Sejak kapan Anda mulai menulis? Maka akan saja jawab, saya mulai punya semangat menulis ketika bergabung dengan kompasiana. Trust me, it works...

Keempat, Simekri (Siap menerima kritikan). Jika ingin menulis kita harus punya jiwa dan mental yang kebal terhadap kritikan. Jadikan kritik keras dan pedas dari penulis hebat sebagai tantangan kita untuk membuat sesuatu yang lebih baik lagi. Nah, di sinilah tantangan terberat seorang penulis, Ia akan mendapatkan kritikan yang keras jika tulisan yang dihasilkan tidak dapat dipahami oleh penulis yang memposisikan diri sebagai pembaca. Tak ayal, kadang kita akan mendapatkan kata atau kalimat yang tidak enak dibaca dari penulis tersebut. Jika hal tersebut terjadi maka ada baiknya kita meningkatkan ilmu kesabaran sesuai dengan keyakinan kita masing-masing dengan berdoa dan berdoa serta jadikan hal tersebut sebagai motivasi bukan malah menjatuhkan diri kita sendiri bahkan orang lain.

Yang terakhir, 3 M (Menulis, Menulis dan Menulis). Mungkin sama dengan beberapa penulis lain yaitu dengan menulis, menulis dan menulis seperti semboyan Presiden RI ke 7, Joko Widodo yaitu bekerja, bekerja dan bekerja. Jika kita tidak bekerja mulai sekarang kapan orang akan menilai pekerjaan kita. Jika kita tidak menulis mulai sekarang, kapan orang akan menilai tulisan kita. Maka Mulailah menulis.

Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat dan muncullah penulis hebat dari kalangan Guru di Indonesia. Semoga!!!

West Borneo, Landak, Sengah Temila,

Senakin, 7 November 2014. Pukul 01.55

Adrianus Marsel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun