Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 11 Juli 2012 lalu, diperkirakan 30-40 persen calon pemilih tak menggunakan hak pilihnya. Ada banyak kemungkinan penyebab kondisi ini. Ada yang secara sengaja tak menggunakan hak pilihnya, dan lebih memilih untuk diam di rumah, bepergian ke tempat rekreasi, berlibur ke luar kota/luar negeri. Ada pula yang sedang berada di luar kota entah karena pekerjaan, perjalanan, atau menempuh studi. Selain itu, bisa dipastikan cukup banyak calon pemilih terpaksa “mentelantarkan” hak pilihnya karena alasan “tak bisa meninggalkan pekerjaan”.
Dalam pemberitaan media, setidaknya ada dua institusi “besar” yang tidak meliburkan operasionalnya saat pemungutan suara 11 Juli 2012 lalu, yaitu Bank Indonesia dan Bursa Efek Jakarta. Efek domino dari sikap dua institusi ini tidaklah kecil.
Sedikitnya sekitar 70 bank berkantor pusat di Jakarta. Bila setiap bank memiliki 10-20 kantor cabang di Jakarta, dengan asumsi setiap cabang mempekerjakan 10-20 orang karyawan, diperkirakan sekitar 14.000 hak suara yang tertelantarkan. Jumlah ini merupakan asumsi minimal mengingat beberapa bank memiliki jaringan cabang yang menggurita hingga ke pelosok paling terpencil Jakarta. Bahkan ada yang memiliki beberapa cabang dalam satu ruas jalan, berseberangan jalan, bahkan bersebelahan gedung. Belum lagi beberapa bank dimiliki oleh group usaha. Bisa dipastikan bahwa seluruh perusahaan dalam group pun tidak libur pada 11 Juli lalu karena bank yang merupakan sister-company tetap beraktivitas mengikuti ketetapan Bank Indonesia. Dengan demikian PULUHAN RIBU karyawan di berbagai group perusahaan tersebut terpaksa tak bisa menunaikan hak pilihnya.
Termasuk yang tetap beraktivitas pada 11 Juli lalu di antaranya adalah belasan perusahaan jasa pengisian uang pada ratusan gerai anjungan tunai mandiri di Jakarta. Bila diasumsikan ada 20 perusahaan ATM Cash Replenishment, masing-masing dengan 20 kendaraan operasional berawak 3 orang, minimal sudah 1.200 hak suara lagi tertelantarkan. Jumlah ini belum ditambah dengan jumlah karyawan non-operasional lapangan. Semua angka tersebut belum lagi memperhitungkan jumlah karyawan di lingkungan Bank Indonesia yang jumlahnya tentu mencapai ratusan orang.
Dengan tetap beroperasinya Bursa Efek Jakarta, 120 perusahaan pialang dengan sendirinya tentu tetap beraktifitas pada 11 Juli lalu. Bila setiap perusahaan pialang mempekerjakan 30-50 orang karyawan, diperkirakan minimal 3.600-6.000 hak suara tak tersalurkan. Jumlah ini belum ditambah dengan pekerja di lingkungan Bursa Efek Jakarta sendiri yang pasti bukan hanya puluhan orang.
Selain dua institusi yang secara resmi menyatakan tetap beroperasi pada 11 Juli lalu, akibat ke-TIDAK-TEGAS-an sikap Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, dan instansi terkait, ratusan institusi dan korporasi yang dikomandani ekspatriat pun tetap beraktifitas. Lembaga-lembaga seperti kedutaan, konsulat, lembaga internasional di bawah naungan PBB, perusahaan PMA, lembaga afiliasi asing, dan masih banyak lagi. Ke-TIDAK-TEGAS-an ini pula yang membuat gamang building- management ratusan gedung perkantoran di Jakarta, dan karenanya ribuan institusi, organisasi, dan korporasi tetap beroperasi yang menyebabkan sekian puluh ribu lagi bahkan jutaan hak suara tertelantarkan. Ke-TIDAK-TEGAS-an ini juga membuat ratusan mini market, puluhan hypermarket dan supermarket, dan ratusan perusahaan pendukungnya tetap beraktifitas, yang artinya sekian puluh ribu lagi hak suara tak tertunaikan. Jumlah ini belum lagi ditambah dengan puluhan ribuan buruh pemegang KTP DKI Jakarta yang bekerja di ribuan pabrik di pinggiran Jakarta seperti Bekasi, Cikarang, Karawang, Tangerang, Bogor, dan kawasan lain di seputaran Jakarta.
Apa yang disajikan pada tulisan ini barulah fenomena permukaan belaka. Bila ditelisik lebih jauh, bisa didapat jumlah yang lebih akurat dan pasti lebih BESAR hak suara yang tertelantarkan akibat Ke-TIDAK-TEGAS-an Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum dalam menetapkan HARI PEMUNGUTAN SUARA sebagai HARI LIBUR, khususnya dalam kasus pemungutan suara pemilihan Gubernur DKI Jakarta Putaran 1, 11 Juli 2012 lalu.
Dengan latar belakang itu, kami warga DKI Jakarta menyerukan PETISI untuk menetapkan 20 September 2012 sebagai HARI “WAJIB” LIBUR DI DKI JAKARTA (bukan hanya sebagai hari yang diliburkan) bagi seluruh institusi, organisasi, dan korporasi, baik swasta, pemerintah, BUMN, BUMD, perbankan, bursa efek, termasuk pula institusi, organisasi, dan korporasi yang dimiliki asing, ataupun berafiliasi/beroperasi internasional.
Mari sebarluaskan tulisan ini seluas mungkin melalui semua media komunikasi informasi saat ini: email, mailing list, facebook, blog, blackberry messenger, surat pembaca ke media massa, twitter, SMS dan semua media lain yang tersedia dan memungkinkan. Galang dukungan dan desak pemerintah untuk menetapkan 20 September 2012 sebagai HARI “WAJIB” LIBUR DI DKI JAKARTA demi terjaminnya legitimasi Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, demi terjamin dan terpenuhinya hak politik seluruh Warga DKI Jakarta. Hidup Jakarta, Hidup Warganya, Hidup Demokrasi...!!
(You like it? Share it...!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H