Mohon tunggu...
Adrianto Zulkarnain
Adrianto Zulkarnain Mohon Tunggu... Tutor - Seorang yang terus mencoba hidup dengan senantiasa iqra dan menulis, merupakan Alumni UIN Alauddin Makassar pada program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

@adrianto_temanmu

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cacat Hukum Pemberhentian Hakim MK

9 Oktober 2022   00:31 Diperbarui: 9 Oktober 2022   00:34 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks, masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.

Terlepas dari Perubahan UU di atas yang menuai polemik hingga berujung pada adanya judicial review hanya karena mengatur usia hakim, DPR juga menabrak aturan yang dibuat sendiri. Menghapus periodesasi jabatan lima tahun dan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun namun kemudian mencopot Aswanto ditengah masa tugas menunjukkan DPR yang ugal-ugalan yang tidak konsisten akan aturan yang dibuatnya sendiri. Memberhentikan hakim MK hanya karena sering menganulir UU yang dibuatnya bukanlah hal yang dibenarkan dalam hukum sebagaimana pasal 23 UU MK yaitu, Aswanto tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, atau tidak juga melanggar sumpah jabatan hakim MK.

Ada hal yang menarik dari Lembaga perwakilan kita belakangan ini, biasanya dalam menyeleksi hakim maupun pimpinan Lembaga yang dipilih merupakan orang-orang yang biasanya tidak mendapat dukungan dari masyarakat luas karena mempunyai rekam jejak yang buruk. Semakin banyaknya kontroversi dan catatan buruk di antara calon hakim maupun calon pimpinan, maka semakin kuat keterpilihan orang-orang di atas. Kita ketahui bersama, Aswanto bersama 4 hakim (Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih) ialah hakim yang melakukan dissenting opinion terhadap UU Ciptaker. Aswanto bersama 4 lainnya menganulir dengan alasan UU Cipta Kerja cacat formil. Seperti banyak salah ketik hingga tidak partisipatif menyerap aspirasi publik. Hal inilah yang membuat prasangka bahwa DPR anti terhadap hakim yang kritis dan tidak berpihak terhadap mereka.

Tentu pemberi Aswanto sebagai hakim MK memberikan alarm bagi demokrasi dan independensi peradilan. Merupakan suatu yang "nonsense" terhadap demokrasi jika indepenedensi peradilan terganggu. Mengutip hakim ketua MK Anwar Usman, "Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan. Tanpa independensi kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan jaminan terwujudnya hukum dan keadilan tidak mungkin dapat tercapai. Secara konseptual maupun praktik, hubungan antara demokrasi dan negara hukum dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah sangat erat. Tanpa kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, tidak akan ada demokrasi dan bernegara yang berdasarkan atas hukum. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, merupakan syarat bagi negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Demokrasi dan negara yang berdasarkan atas hukum merupakan prasyarat bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dengan perkataan lain, ada hubungan timbal balik antara kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demokrasi dan negara hukum. Hal itu dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sebuah koin mata uang." (MKRI,02/07/2021)

Jika pemberhentian hakim khususnya hakim MK ini akan tersebut berlanjut dengan alasan di atas, maka hukum tidak lagi menjadi dasar dalam bernegara. Hukum pada akhirnya berada di bawah ketiak peguasa dan MK sebagai harapan penggantungan nasib  (judicial review) atas segala UU yang melabrak konstitusi hanya akan menjadi peradilan yang menyesatkan. Pada akhirnya bola panas berada di tangan presiden sebagai yang memiliki  wewenang memberhentikan hakim MK, apakah ikut pada keputusan DPR terhadap hakim Aswanto ataupun tidak menyetujui hal tersebut ?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun