Mohon tunggu...
Adrian Ramdani
Adrian Ramdani Mohon Tunggu... -

I like to read, write, and traveling....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kekuatan Ruh Puisi yang Telah Mati (“Dead Poets Society”, N.H. Kleinbaum)

11 Oktober 2010   15:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:31 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Pergilah teori Tn. Pritchard. Kalian akan belajar berpikir untuk diri kalian sendiri. Kalian akan belajar menyelamatkan kata-kata dan bahasa. Apa pun yang dikatakan orang-orang, kata-kata dan bahasa bisa mengubah dunia. Kita membaca dan menulis puisi, karena puisi itu bagus. Kita membaca dan menulis puisi karena kita anggota umat manusia ....” Itulah sebagian kata-kata Keating yang memancing emosi jiwa siswanya, sehingga sedikit demi sedikit beranjak naik.

Ada pendapat yang pro dan kontra mengenai mempelajari sastra yang berdasarkan teori dan yang berdasarkan imajinasi. Sastra yang berdasarkan teori terpaku pada aturan-aturan yang ada, sehingga seakan mengekang pemikiran dari penulis atau penyair. Ini biasanya terjadi pada kalangan akademik dalam mempelajari sastra. Sedangkan sastra yang berdasarkan imajinasi, bebas bereksplorasi dengan daya pemikiran yang tinggi dalam bersastra. Semua ini bergantung pada orang yang memahami dari berbagai sudut.

Carpe diem. Seize the Day. Raihlah kesempatan. Semboyan ini seolah akan menggantikan semboyan akademi yang begitu “beku” rasanya. Prinsip ini pula yang kemudian tertanam pada Neil, Dalton, Knox, Meeks, serta yang lainnya ketika menemukan suatu komunitas, Dead Poets Society, yang pernah muncul di sekolah ini, meskipun masih secara gerilyawan. Ternyata komunitas ini pernah diusung oleh Keating, guru bahasa Inggris mereka sendiri yang akhirnya tersentuh oleh cara pengajarannya mengenai sastra. Setelah diselidiki oleh siswa-siswa ini, komunitas ini menjadi komunitas yang terlarang oleh sekolah karena dianggap liar dan membahayakan. Karena liar dan membahayakan itulah, mereka malah berinisiatif untuk membentuk kembali komunitas ini. Akhirnya komunitas ini pun terbentuk kembali yang dipimpin oleh Neil Perry. Sampai akhirnya komunitas ini pun hancur kembali, karena ada kecerobohan salah satu anggotanya sampai diketahui oleh pihak sekolah dan juga ada yang berkhianat. Tragis sekali melihat kehancuran komunitas tersebut untuk kedua kalinya, sampai-sampai sang ketua meninggal bunuh diri karena jiwanya yang tidak kuat untuk memberontak akan aturan yang ada.

Banyak hal dan peristiwa yang mewarnai cerita ini. Kisah Knox yang ingin mendapatkan cinta dari seorang gadis cantik dengan perjuangan puisi-puisinya. Dalton yang menjadi “liar” pemikirannya sampai harus dikeluarkan dari sekolah. Pengkhianatan salah satu anggota Dead Poets Society, Cameron, dengan alasan harus menghargai kode kehormatan sekolah, ketika guru bertanya dia harus menjawabnya dengan jujur.

Neil Perry dengan perjuangannya ingin bermain teater dan ditentang keras oleh ayahnya, sampai akhirnya ia pun menembak dirinya dengan pistol ayahnya sendiri, dan banyak peristiswa lainnya yang sarat dengan makna. Pembebasan pikiran mereka yang akhirnya harus menyedihkan. Keating pun akhirnya dipecat dari sekolah, karena dianggap kambing hitam dari semuanya ini. Ending ceritanya pun cukup mengena di hati, sebagai penghormatan terakhir kepada Keating, Todd Anderson nekat naik ke meja belajarnya walaupun Pak Nolan sang kepala sekolah yang sedang mengajar tidak digubrisnya sambil mengatakan, “Oh Capten, My Capten”. Hal ini diikuti juga oleh yang lainnya, sehingga Pak Nolan kewalahan menghadapinya.

Kemandirian N.H. Kleinbaum dalam mengemasnya nyaris sempurna ke bentuk novel dari film tentang sastra yang dahsyat. Tetapi, hal ini sepertinya bukan merupakan suatu karya yang original dari seorang penulis. Penulis di sini hanya dituntut bereksplorasi sedikit dari suatu cerita yang telah ada dan ditulis oleh penulis lain.

Jika kita menoleh pada sejarah Indonesia sebelum merdeka, di mana bangsa masih terjajah oleh Belanda dan Jepang, banyak penyair-penyair yang menuangkan pemberontakannya melalui puisi. Hal ini dikarenakan kesadaran mereka untuk segera bebas dan lepas dari dunia jajahan. Kaum terpelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan barat dan menguasai bahasa Belanda pada masa itu, dapat membaca buku para pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan bangsa pribumi. Salah satunya adalah Edward Douwes Dekker (1820-1887). Buah tangannya yang berjudul Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia.

Hal ini pula yang memotivasi para pemuda bangsa untuk membebaskan diri dari keterjajahan. Pada tahun 1920 Muh. Yamin membuat puisi berjudul “Tanah Air”, puisinya ini merupakan lirik pujaan terhadap tanah airnya yaitu Sumatera. Tetapi kenyataan yang dilihatnya sehari-hari menyatakan bahwa tanah airnya yang mulia dan kaya raya ternyata tidak merdeka.

Penyair sejaman dengan Muh. Yamin adalah Roestam Effendi yang sadar akan tugasnya untuk berjuang bagi kemerdekaan tanah airnya. Puisinya yang berjudul ‘Mengeluh’, menggambarkan kegelisahannya melihat bangsa Indonesia yang berada dalam cengkraman penjajah.

Pada masa penjajahan Jepang prosa dan puisi banyak ditulis. Kondisi perang dan penderitaan lahir batin karena dijajah telah mematangkan jiwa bangsa Indonesia. Dan saat itu bisa dikatakan pula bahwa bahasa Indonesia mengalami pematangan. Ini terlihat pada puisi-puisinya Chairil Anwar dan puisi Idrus. Puisi Chairil Anwar yang terkenal adalah ‘Aku’, menggambarkan semangat hidupnya yang bersifat individualistis.

Puisi-puisi yang ditulis penyair-penyair pada masa penjajahan sangat mempengaruhi para pemuda yang ingin membebaskan diri dari penjajahan fisik dan mental. Disinilah, kekuatan ruh puisi muncul. Ada dan mengakar pada jiwa dalam membangkitkan makna hidup yang sesungguhnya. Memotivasinya untuk lepas dari keterkekangan materi yang menghimpitnya, tidak diperbudak, dan tidak memperbudakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun