Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.
     Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya.Â
Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka 'berkhiatan'. Karena dalam masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.
     Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar.Â
Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, kelompoknya daripada interest public.
Bagaimanapun juga Money Politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa, walaupun secara ekonomis dalam jangka pendek dapat sedikit memberikan bantuan kepada rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa? Demoralisasi yang diakibatkan oleh Money Politics akan sangat berbahaya baik dipandang dari sisi deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi).Â
Karena sifatnya yang destruktif, yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan tertentu, atau mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik kebijakannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan. Â Terkait ini, diberitakan bahwa Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) DPR dalam Revisi UU Pilkada menyepakati untuk menguatkan kewenangan Bawaslu. Dengan kewenangan yang baru, Bawaslu bisa memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku politik uang. Penindakan pelanggaran hukum selama pilkada bisa lebih cepat dan tak seperti pilkada sebelumnya yang menunggu lama.
    Dalam pengaturan sebelumnya bukan tidak ada sanksi administrasi atas praktik politik uang. Pasal 47 ayat (5) UU No 1 Tahun 2015 menyatakan, setiap orang atau lembaga yang terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota dibatalkan. Â
Selanjutnya Pasal 73 ayat (1) undang-undang yang sama mengatur bahwa calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Namun, ketentuan tersebut tidak pernah efektif dan berhasil ditegakkan sebab pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Bawaslu sebagai pengawas juga penerima laporan pelanggaran pemilu/pilkada tidak otonom dalam menegakkan ketentuan di atas.Â