PERTENTANGAN KELAS SOSIAL DALAM CERPEN JEJAK TANAH KARYA DANARTO
(KAJIAN SASTRA MARXIS)
PENDAHULUAN
Cerpen atau cerita pendek merupakan prosa fiksi yang menceritakan tentang suatu peristiwa yang dialami oleh tokoh utama. Cerpen (fiksi) juga merupakan hasil kontruksi pemikiran manusia terhadap realitas (masyarakat) yang dinarasikan secara imajinatif. Realitas dalam cerpen tentu tidak otomatis sama persis dengan masyarakat. Tidak pula melenceng jauh dari realitas kehidupan manusia. Ada kolaborasi, pemikiran, dan refleksi pengarang terhadap realitas yang jika dimaknai diindikasikan tidak netral. Pengarang memiliki motif dan tujuan kepada pembaca (masyarakat) melalui narasi fiksi tersebut. Motif pengarang yang terdapat dalam teks cerpen di antaranya dipengarahui latar belakang pengarangnya. Latar belakang tersebut antara lain pendidikan, lingkungan geografis, ekonomi, dan aktivitas sosial pengarang. Aktivitas sosial pengarang diindikasikan memiliki hubungan positif dengan hasil karyanya, termasuk merepresentasikan kelas sosial pengarang. Ada tokoh-tokoh, penokohan, karakter, latar, alur, waktu, sudut pandang, dan kelas sosial yang diciptakan pengarang secara metaforik dalam cerpen. Salah satu cerpen yang memuat pertentangan dan representasi kelas sosial (tokoh-tokoh) adalah “Jejak Tanah” karya Danarto.
Cerpen yang dimuat dalam buku kumpulan cerpen pilihan kompas 2002 itu sarat muatan konflik antar kelas sosial. Walaupun ceritanya yang bertema supernatural, tetapi sesungguhnya itu adalah modifikasi dari dunia nyata. Dalam cerpen Jejak Tanah ini menceritakan tentang jenazah yang tidak bisa di kubur, karena ketika hidupnya dia seorang yang kerjanya membebaskan tanah dari rakyat. Di sini masalah sosialnya diuangkapkan secara surealitas.
Cerpen “Jejak Tanah” karya Danarto ini mengambil tema yang sueralitas atau supernatural. Dalam dunia kesusastraan, aliran ini memang dikenal. Karya-karya sastra yang ditulis oleh Edgar Alan Poe, misalnya, sangat digemari oleh pecinta sastra di dunia ini. Di Indonesia, cerita pendek-cerita pendek Riyono Pratikto, dan kemudian dilanjutkan oleh Danarto pada cerpen “Jejak Tanah” dan karya-karya Putu Wijaya, memberikan warna surealistis dan supernatural bagi ke susastraan kita.
Tema supernatural yang terdapat pada cerpen ini disajikan untuk menceritakan masalh-masalah melampau akal sehat yang terjadi di masyarakat. Maka, konflik-konflik sosial diceritakan dalam bungkus yang surealistis, sehingga pesan ketidakadilan yang mau diucapkan bisa sampai, tapi kejadiannya tidak dibaca secara telanjang karena bisa menimbulkan kepedihan. Misalnya tentang perampasan-perampasan tanah yang terjadi dalam dunia nyata di mana anak-anak kecil dan perempuan juga dipukuli oleh preman-preman, dan rumah gubuk mereka dan alat-alat dapur satu-satunya yang mereka miliki diporak-porandakan tanpa me ngenal rasa kasihan. Danarto lalu menampilkannya dengan membuat mayat si penggusur terbang melayang kembali ke rumahnya setiap dia dikuburkan. Sehingga cerpen ini sangat menarik dan fantastis.
Cerpen Jejak Tanah karya Danarto adalah Cerpen Pilihan Kompas 2002 yang di dalamnya terdapat suatu tindak kejahatan perdata. Yaitu permasalahan tentang jual beli, tindak perdata yang mana menunjukkan suatu penyimpangan dalam jual beli tanah. Dalam cerpen ini memuat tokoh-tokoh imajiner yang dikontruksikan mirip dengan realitas sesungguhnya. Tokoh-tokoh yang mewakili kelas bawah adalah rakyat miskin dan tokoh ayah yang bisnis Real-estate adalah kelas atas atau dominan. Kedudukan kedua kelas ini sangat terlihat, ketika Si pemilik modal yang melakukan praktik bisnis real-estate pada rakyat-rakyat miskin. Pada kontes inilah cerpen ini menarik untuk diteliti lebih mendalam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pertentangan dan kesadaran kelas sosial yang terdapat dalam cerpen “Jejak Tanah” karya Danarto. Cerpen ini menarik diteliti selain argumentasi-argumentasi yang telah disebutkan, objek penelitian ini relatif baru, cerpen ini juga memuat pertentangan kelas sosial. Selain itu, sepanjang yang penulis ketahui, berdasarkan penelusuran referensi di jurnal doaj.org dan di internet, penelitian terkait cerpen “Jejak Tanah” dengan pendekatan sastra Marxis, belum ditemukan. Beberapa penelitian yang relevan dengan menggunakan pendekatan sastra Marxis adalah (1) Fajrul Falah (2017), mengkaji novel Matinya Sang Penguasa dengan pendekatan sastra Marxis. Fokus penelitian ini mengungkapkan aspek-aspek sosial, ideologi, dan kelas sosial pengarang yang ada dalam novel. Hasil riset menunjukkan, kesenjangan kelas mengakibatkan konflik antara kelas atas dan bawah. Kelas atas direpresentasikan Walidesa (penguasa), sedangkan kelas subordinat (bawah) adalah rakyat. Posisi ideologi pengarang dalam novel, cenderung berada di pihak kelas bawah. Penulis akan mengkaji “Jejak Tanah” untuk mengungkapkan pertentangan dan kesadaran kelas sosial melalui tokoh-tokoh cerpen. Penelitian ini masuk ranah sosiologi sastra Marxis.
Menurut Marx ada dua struktur kelas sosial masyarakat, yakni kelas atas dan bawah. Pembagian dan penentuan kelas tersebut didasarkan pada penguasaan dan kegiatan produksi. Kelas atas adalah mereka yang memiliki sarana dan alat-alat produksi, sedangkan kelas bawah tidak memiliki sarana tersebut. Perbedaan kelas ini kemudian memunculkan istilah kelas yang berlawanan seperti bojuis dengan proletar, bos dengan pelayan (anak buah), penguasa dengan rakyat. Muara utama adanya klasifikasi kelas bahkan memunculkan konflik adalah faktor ekonomi. Hal ini karena kegiatan manunia yang utama ialah kegiatan ekonomi. Ekonomi yang dimaksud dalam konteks ini, yang terkait materi seperti minum, makan, pakaian, dan tempat tinggal. Kemudian manusia mulai berpikir; ilmu pengetahuan, politik, agama, seni dan sebagainya (Lihat Jones, 2009: 77; Faruk, 2010; 7; Kurniawan, 2012; 40-42).
Faktor ekonomi yang memunculkan perbedaan kelas itu juga terdapat dalam realitas fiksi (cerpen) yang diperankan melalui tokoh-tokoh imajiner. Perbedaan kelas tersebut bisa nampak jelas atau semu. Kontradiksi kelas yang nampak bisa berpotensi memunculkan konflik. Perbedaan kelas yang semu mampu membuat beberapa tokoh yang berlainan dan berlawanan tampak harmoni. Pada konteks inilah menurut Marx supaya hubungan antar kelas berjalan baik maka ada pihak-pihak yang menyebarkan atau mendistribusikan pesan atau ideologi kelas atas terhadap kelas bawah. Ideologi menurut Marx adalah ide atau keyakinan yang menjadikan kontradiksi kelas sosial tidak begitu nampak. Ideologi diproduksi supaya kelas bawah sadar dan patuh terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan kelas atas. Pada konteks inilah kelas atas membutuhkan legitimasi sosial (Lihat juga Jones, 2009: 87; Kurniawan, 2012: 43). Secara singkat, sosiologi sastra Marxis diaplikasikan untuk menganalisis cerpen “Jejak Tanah” untuk mengungkapkan pertentangan dan kesadaran kelas melalui relasi tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen. Hal ini karena menurut Marx, tokoh-tokoh dalam sastra (cerpen) tidak otonom, sekalipun cerpen itu fiksi, jika dimaknai dan diinterpretasi, pengarang memiliki pesan dan berada pada posisi kelas tertentu yang direprensentasikan dalam tokoh imanjinernya.
METODE
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Sumber data primer penelitian ini ialah cerpen “Jejak Tanah” yang dimuat dalam Buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2002. Data penelitian ini meliputi, dialog, kata, frase, dan kalimat yang terdapat dalam teks cerpen karya Danarto tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Setelah data penelitian terkumpul, kemudian dianalisis, diinterpretasikan yang terkait dengan pertentangan dan kesadaran kelas sosial yang terdapat dalam teks cerpen tersebut. Hasil analisis disajikan secara deskriptif. Pendekatan penelitian ini masuk masuk ranah sosiologi sastra Marxis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis ini mengidentifikasi kelas sosial dari masing-masing tokoh. Dalam cerpen “Jejak Tananh” dari keseluruhan cerita terdapat dua struktur kelas yang cukup menonjol, yakni kelas atas dan kelas bawah. Penentuan kelas didasarkan pada kegiatan ekonomi (pekerjaan, status sosial, dan jabatan). Kelas sosial atas dalam cerpen direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti Rakyat Miskin, Kiai, Ayah dan anaknya (tokoh Saya). Rakyat miskin, Demonstran dan Kiai dikategorikan sebagai kelas bawah. Sedangkan Ayah dan anaknya (tokoh Saya) dikategorikan sebagai kelas atas. Kedudukan atau status kelas yang berbeda itu didasarkan pada stratifikasi sosial dan ekonomi.
Faktor Ekonomi
Menurut Marx kegiatan manusia yang utama adalah kegiatan ekonomi. Dalam cerpen “Jejak Tanah” faktor ekonomi bisa menjadi pemicu konflik sekaligus solusi persoalan sosial seperti kemiskinan karena hak tanah mereka dirampas. “Ayah Nakmas tidak membeli semua tanah yang dibebaskan, tapi menyengsarakan tanah” (Jejak Tanah, 2002). Dari kutipan tersebut sangat jelas bahwa di sini pelaku bisnis Real Eastate telas menindas rakyat miskin. Sehingga, masalah ini sangat berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat.
Kurangnya lahan untuk bercocok tanam maka dengan sendirinya sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Jangankan lahan untuk pertanian untuk membangun tempat tnggal saja mereka sangat susah. Apalagi mereka harus hidup berpindah-pindah tempat, maka sangat sulit mereka untuk menyesuaikan diri dan ekonomi di tempat tersebut.
Dari persoalan ekonomi ini, yang paling merosot di sini adalah masyarakat kaum bawah yaitu rakyat miskin. Sedangkan masyarakat kelas atas yang melakukan pembembasan tanah ini justru ekonominya meningkat.
Kelas Atas vs Kelas Bawah
Hubungan yang awalnya selaras antara kelas atas dengan bawah, kemudian memunculkan konflik. Konflik bermula karena pemikiran sebagian tokoh kelas bawah yang mulai kritis, melihat realitas yang sebelumnya tidak nampak (semu). Awalnya rakyat miskin tidak mengetahui politik pembebasan tanah yang dilakukan oleh pembisnis Real Eastate ini (Ayah). Namun, lama kelamaan mereka menyadarai bahwa adanya praktik ketidakadilan di antar mereka maka dengan berani sebagian masyarakat mendemo ke pemerintah terkait hal ini. “Sekitar seribu demonstran, yang menentang pembebasan tanah untuk real-estate, sehari sebelumnya mengepung kantor ayah. Mereka menuduh ayah pengembang yang haus darah. Mereka menuduh seluruh real-estate yang dikembangkan ayah adalah perumahan mewah yang dibangun dengan darah dan air mata. Mereka menuduh ayah penindas rakyat miskin.” (Jejak Tanah, 2002)
Dari kutipan cerpen di atas, dapat simpulkan bahwa ada pertentangan pendapat dan juga pemahaman antara kedua belah pihak yaitu masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Di sini kelas bawah atau rakyat miskin menuntut ketidakadilan ini dengan menyatakan bahwa pelaku pembebasan tanah (ayah) ini sebagai pengembang yang haus darah. Mereka menuduh semua yang diperoleh oleh pembisnis Real Eastate ini dibangun atas dasar air mata rakyat. Namun, tokoh saya sebagai anak dari Ayah yang melakukan bisnis Real Eastate ini sedikit menolak dan tidak percaya atas apa yang sudah diklaim oleh rakyat dan para demonstran tersebut.
Ada bebrapa pertimbangan yang dipertahankan oleh tokoh Saya sebagai anak dari tokoh ayah yang berkategori sebagai masyarakat kelas atas atau pemilik modal. Seperti yang ada pada kutipan berikut “Sudah puluhan tahun penduduk dengan masing-masing keluarga mereka, pemukim tanah yang dibebaskan itu, tinggal di kawasan itu. Merasa tanah permukiman itu miliknya dengan memperlihatkan su rat-surat kepemilikan, mereka gigih mempertahan kannya meski ayah sudah memperlihatkan surat pem bebasan yang sah. Beberapa kali diadakan pertemuan dengan jumlah uang pembebasan yang dirasa pantas, mereka tetap menolak untuk pindah. Alasan mereka, di tanah itu, keluarga mereka berkembang, termasuk lahan pencarian nafkah dan lahan pendidikan anak-anak mereka”. (Jrjak Tanah, 2002)
Dari kutipan cerpen di atas, masyarakat kelas bawah mulai menyadari bahwa mereka sebenarnya telah ditindas oleh kaum kelas atas dengan tidak memberikan haknya secara benar. Kutipan tersebut di atas menunjukkan adanya kesadaran kelas sosial bawah yang kemudian memperjuangkannya, apalagi terkait persoalan ekonomi dan hak.
Tidak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli yang termuat di dalam Jejak Tanah terdeteksi di dalam bagian: “… merasa tanah pemukiman itu miliknya dengan memperlihatkan surat-surat kepemilikan, mereka gigih mempertahankannya meski ayah sudah memperlihatkan surat pembebasan yang sah. Beberapa kali diadakan pertemuan dengan jumlah uang pembebasan yang dirasa pantas, mereka tetap menolak untuk pindah. Alasan mereka, di tanah itu, keluarga mereka berkembang, termasuk lahan pencarian nafkah dan lahan pendidikan anak mereka. Kata mereka, memaksa pergi mereka sama dengan membunuh mereka … (Jejak Tanah, halaman 3).”
Fenomena di atas dapat dilihat sebagai tindak kejahatan perdata, dimana menurut KUHPerd, pasal 1457 dinyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar yang telah dijanjikan. Dalam suatu kegiatan jual-beli, harus terdapat kesepakatan antara penjual dan pembeli. Apabila tidak ada suatu kesepakatan dan salah satu pihak memaksakan kehendaknya maka akan terjadi pelanggaran perdata dan apabila pemaksaan tersebut mengakibatkan penderitaan maka pelanggaran perdata akan menjadi tindak kejahatan pidana.
“Ayah nakmas tidak membeli semua tanah yang di bebaskan, tapi menyengsarakan tanah.” (Jejak Tanah, halaman 5) yang mengungkapkan bagaimana tokoh pengembang baik secara sengaja maupun tidak sengaja telah melanggar KUHPerd pasal 570 yang secara hukum menjamin hak milik perseorangan pada suatu barang atau jasa, bahwa negara menjamin hak seseorang untuk memiliki dan menikmati suatu kebendaaan dan boleh dinikmati sepuasnya selama tidak melanggar Undang Undang, dan seseorang tidak boleh mengganggu hak milik orang lainnya. Hal ini berarti bahwa penggusuran merupakan suatu tindak kejahatan perdata yang mana telah melanggar KHUPerd tentang hak milik seseorang.
Pihak yang menjadi sasaran protes dan kritik rakyat/warga dalam hal ini yaitu anak dan keluarga juga tokoh Ayah sendiri yang pada akhirnya terbunuh. ”Para demonstrasi yang menentukan, ayah terbunuh. Bukan oleh senjata tajam, melainkan oleh peluru, musibah ini menyebabkan persoalan pembebasan tanah itu jadi melebar.” (Jejak Tanah, 2002). Akibat dari persoalan ini sang ayah pun terbunuh.
Setelah kejadian tersebut ada kejanggalan terjadi yang dijelaskan secara surealistis yaitu bersifat supernatural, seperti dalam kutipan berikut. “Ibu menjerit menghambur keluar sambil memeluk jenazah ayah yang mengapung itu, diikuti jeritan adik-adik yang tidak tahu apa yang sedang terjadi sambil menatap kosong jenazah berbalut kain kafan yang tidak menyentuh tanah itu, yang di tarik-tarik ibu sekenanya..” dari kutipan tersebut kita dapat mengetahuiu bahwa jenazah ayah tidak dapat dikubur dan apabila dikubur, jenazah itu pun kembali datang ke rumah. "Bumi menolak jenazah ayah Nakmas," kata kiai itu penuh keyakinan. "Kenapa tanah menolak ayah yang telah jadi mayat, Kiai?" tanya saya. "Karena ayah Nakmas tidak bersahabat dengan tanah," jawab kiai."Tidak bersahabat bagaimana, Kiai?" "Ayah Nakmas memusuhi tanah." (Jejak Tanah, 2002). Kutipan ini sangat sueralitas dan supernatural. Namun di sini kita dapat mengambil sisi sosial yang terjadi yaitu tokoh ayah sebagai pengembang bisnis Real Eastate ini pada saat hidupnya tidak bersahabat dengan tanah. Dia menggusur tanah dengan bebas tanpa surat keputusan pembelian yang jelas. Sehingga di sini sangat jelas sekali akibatnya ketika seseorang merampas hak orang lain.
PENUTUP
Cerpen “Jejak Tanah” Karya Danarto, memotret sekaligus menyindir terkait persoalan hak kepemilikan tanah sebagaimana diindikasikan terjadi pada realitas sosial sesungguhnya. Sekalipun cerpen atau fiksi, pengarang mampu menghadirkan tokohtokoh dan menyuguhkan konflik yang representatif. Tokoh-tokoh dalam cerpen bisa diidentifkasi menjadi dua kelas, kelas bawah dan atas. Kelas bawah yang secara umum bisa disebut rakyat, dan kelas atas sebagai pemilik modal atau pembisnis Real Eastate.
Relasi sosial dua kelas tersebut yang awalnya harmoni menjadi keruh (konflik) karena faktor ekonomi (Jejak Tanah). Faktor ekonomi (alat-alat produksi, status sosial, dan jabatan) ini pula yang menjadi indikator penentuan kelas sosial. Kelas bawah yang dimobilisasi tokoh rakyat miskin. Yang dimana mereka dirampas hak kepemilikan tanahya dengan pembebasan tanah tanpa surat izin pembelian yang jelas. Kelas atas di sini sebagai pemilik modal dengan bebas dia berkuasa untuk membebaskan tanah rakyat miskin dengan tidak memikirkan keberadaan dan ekonominya. Hingga pada akhirnya rakyat miskin pun menyadari bahwa adanya praktik ketidakadilan yang terjadi dalm proses pembebasan tanah milik mereka. Para kelas bawah ini pun mampu untuk mengkritisi kepada pemerintah terkait ketidakadilan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Falah, Fajrul. 2017. “ Ideologi dan Kelas Sosial Pengarang dalam Novel Matinya Sang Penguasa Karya Nawal el Sadawi: Kajian Sastra Marxis”. NUSA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra,Vol. 12. No. 2 Mei 2017, hlm 100-107.Diakses via
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/article/view/15676, pada 07 April 2022 pukul 14.35 WIB.
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Terj. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Risnawati, Anshari, dan Aslan Abidin. 2016. Pertentangan dan Kesadaran Kelas dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (Pendekatan Teori Marxis). Jurnal Retorika, Vol. 9, No. 1, Februari 2016, Hlm. 1-89. Diakses melalui http://ojs.unm.ac.id/retorika/article/view/3795, pada 08 April 2022 pukul 14.50 WIB
LAMPIRAN
Gambar: Buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2002 (Dokumen Pribadi)
Adriani Miming1, Bergita Matilde Febriani2 & Aloysius Fidri Pasti Rahmin3
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Katolik Indonesia Santu Palus Ruteng,
Jl. Ahmad Yani, No. 10 Ruteng, Flores 86508
e-mail: animiming24@gmail.com, eldisfebriani@gmail.com & rahminfidri@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H