Mohon tunggu...
Adriana Lir Aspuri
Adriana Lir Aspuri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sembilan belas tahun. Sedang menempuh pendidikan di Universitas Sebelas Maret.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sarah Baartman: Perjalanan Kelam Menuju Freakshow di Eropa

17 Desember 2021   19:50 Diperbarui: 17 Desember 2021   21:19 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas Mengenai Suku Khoi-Khoi di Afrika

Benua Afrika merupakan benua yang dikenal sebagai benua terbesar kedua setelah Benua Asia. Benua tersebut memiliki jumlah negara yang terdiri atas lima puluh enam negara. Di dalam setiap negara tentu akan memiliki karakteristik unik tersendiri yang menjadi pembeda antara negara satu dengan negara lain, entah itu bahasa, suku, maupun aspek lainnya.

Dari sekian banyaknya negara yang ada di Benua Afrika, dinamika kehidupan di negara Afrika Selatan merupakan hal yang menarik untuk dibahas, salah satunya adalah mengenai suku-suku bangsanya. Suku Khoi adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah di Afrika Selatan bersamaan dengan suku-suku yang lainnya, seperti suku Zulu, Xhosa, serta Bushmen. Beberapa masyarakat terkadang juga menyebut suku ini dengan sebutan Khoi, Khoekhoen, Khoisan, ataupun Kwena. 

 

Profil Singkat Sarah Baartman

Sarah Baartman adalah seorang perempuan bersuku bangsa Khoikhoi yang lahir pada sekitar tahun 1789. Sarah tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan keterbatasan ekonomi.  Ketika umurnya baru menginjak dua tahun, ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan anaknya. Tak lama kemudian, ayahnya pun ikut menyusul ibunya karena dibunuh oleh seseorang ketika Sarah sedang bekerja sebagai supir binatang ternak. Kemudian, menginjak usia remaja, Sarah memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang juga seorang Khoikhoi. Dari perkawinannya tersebut, mereka dikarunia seorang anak. Akan tetapi, ternyata nasib baik tidak berpihak pada Sarah, bayi mungil yang telah dinanti-nantikan kehadirannya dengan harapan agar bisa menjadi sumber kebahagiannya justru meninggal dunia beberapa hari pasca kelahiran.

 

Hari demi hari terus berlanjut. Sarah yang telah kehilangan orang-orang tercintanya harus tetap melanjutkan kehidupannya. Di dalam keadaan yang masih berduka tersebut, Sarah bertemu dengan seorang Belanda bernama Peter Willem Cezar. Cezar membujuk Sarah agar mau diajak berpindah menuju Tanjung Harapan sebagai seorang pembantu untuk mengatasi kehidupan Sarah yang sedang berada dalam titik terendahnya.  Pada masa itu juga, suami dari Sarah dibunuh oleh majikannya ketika ia sedang melakukan pekerjaannya. Sehingga, pada akhirnya, lengkap sudah. Sarah pun menjadi seseorang yang hidup sebatang kara tanpa orang tua, suami, serta anak.

 

Menjadi Budak Sejak Masih Belia

Pada masa abad ke-18 hingga abad ke-19, aktivitas perbudakan merupakan suatu hal yang sangat umum untuk dilakukan oleh kalangan masyarakat menengah atas. Di setiap rumah-rumah, hampir semua masyarakat memiliki budak-budaknya sendiri. Memiliki budak pada masa itu belum dianggap sebagai sebuah kejahatan, melainkan dijadikan sebagai bagian dari sebuah tatanan sosial yang berlaku di masyarakat. Sehingga, mereka berpikir bahwa semakin mampu seseorang dalam memiliki atau membeli lebih dari satu budak, maka semakin bagus juga citra yang mereka dapatkan di masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun