Seperti yang telah kita ketahui, pembangunan IKN di Kalimantan Timur adalah proyek besar yang memerlukan lahan yang luas. Tentunya, hutan besar yang ada di sana akan dialihfungsikan sebagai lahan bagi proyek tersebut. Namun, tidak sedikit masyarakat yang menolak hal ini dan ingin pemerintah segera melakukan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsinya seperti semula. Rehabilitasi hutan sendiri sebenarnya memberikan dampak positif bagi lingkungan seperti mengembalikan fungsi hutan sebagai penyaring udara dan pengurang polusi, rumah bagi para flora dan fauna, dan gudang sumber daya alam. Namun, jika rehabilitasi hutan dilakukan di tengah pembangunan IKN yang sedang berlangsung maka hal itu hanya akan menghambat jalannya proses pembangunan. Besarnya dana yang telah dikeluarkan untuk proyek IKN akan bertambah besar jika rehabilitasi hutan juga dilakukan. Apalagi Indonesia tengah dilanda banyak masalah seperti polusi udara di Jakarta yang terus memburuk, korupsi yang tidak kunjung berhenti, dan kurang meratanya pembangunan infrastruktur adalah beberapa masalah yang dihadapi negeri ini.
Kemudian, hasil dari program rehabilitasi sering kali kurang memuaskan. Tanaman yang ditanam sebagian besar mengalami kesulitan untuk tumbuh sehingga menyebabkan kegagalan dalam mengembalikan keseimbangan ekosistem. Tanaman baru kebanyakan tidak mampu menggantikan fungsi hutan yang hilang akibat aktivitas manusia. Akibatnya, terbentuklah ekosistem baru yang mungkin tidak seimbang dan akan berdampak negatif terhadap spesies asli. Selain itu, rehabilitasi hutan akan berjalan tidak efektif jika dilakukan berbarengan dengan proyek IKN yang ditargetkan selesai pada tahun 2045. Pemerintah akan lebih terbebani jika harus melakukan rehabilitasi hutan di tengah pembangunan IKN yang dikejar waktu yang relatif singkat. Hal ini tentu akan menghambat kelancaran pembangunan IKN di Kalimantan.
Masalah lain muncul ketika pemerintah akan melakukan reklamasi lahan bekas tambang yang berada di kawasan IKN. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, terdapat 149 lubang tambang di kawasan IKN Nusantara yang diduga akan menggunakan dana APBN. Ini jelas akan sangat merugikan negara. Masalahnya, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan program ini terbilang cukup besar. Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang memperkirakan biaya reklamasi 149 lubang tambang tersebut sekitar 500 miliar sampai 1 triliun. Seharusnya, ini tetap menjadi tanggung jawab pengusaha tambang dan bukannya membiarkan negara menggunakan dana APBN. Jika dibiarkan, para pengusaha akan mendapatkan untung lebih karena tidak perlu membayar biaya reklamasi. Apalagi, mereka sebelumnya mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil tambang yang telah dilakukan. Selain dari segi ekonomi, program ini juga memberi dampak negatif jika dilihat dari sisi alam. Lahan bekas tambang yang direklamasi menghasilkan lingkungan yang tidak sesuai bagi spesies asli. Spesies endemik dan langka dapat terancam punah karena kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang diubah secara signifikan. Dengan hilangnya spesies-spesies ini, keanekaragaman hayati menjadi semakin terancam.
Pembangunan IKN memang memiliki dampak positif dan negatif. Sebagai masyarakat, kita harus mendukung dan memberikan solusi yang terbaik bagi kelanjutan proyek ini. Penting bagi kita untuk mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang sudah ada sehingga kita bisa mengatasi ancaman dalam rehabilitasi, menjaga keanekaragaman hayati, dan menghindari penyalahgunaan ekonomi. Dengan demikian, program semacam ini dapat menjadi lebih efektif dalam mendukung tujuan konservasi lingkungan jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H