Mohon tunggu...
adrian indra
adrian indra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Popularitas Jokowi

8 April 2015   22:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:21 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A.Gerakan Rakyat di MEDIA SOSIAL Pendukung Jokowi

Media sosial kini telah menjadi alat bagi hampir seluruh gerakan politik dunia, termasuk di Indonesia.Meluasnya jangkauan internet hingga ke berbagai belahan dunia telah menjadikan media sosial alatkekuatan rakyat untuk melakukan perubahan. Kicauan ribuan pengguna media sosial dengan tagar (hashtag) #SaveAhok, beberapa saat setelah WakilGubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu menyatakan keluar dari Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra, meramaikan dunia maya belum lama ini. Basuki yang akrab dipanggil Ahok kecewaGerindra mendukung Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Namun,petinggi Gerindra dan partai politik (parpol) pendukung Koalisi Merah Putih menghujat Basuki. Pada saatitulah, ribuan pengguna media sosial Twitter berkicau mendukung langkah Basuki dan menilai keputusannya merupakan keputusan berani dan tepat.Sebelumnya, dalam masa pemilihan presiden, ribuan pengguna Twitter juga membuat tagar #SaveRRI, memberikan dukungan kepada Radio Republik Indonesia. Dukungan itu berawal ketika Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, yang juga politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berencana memanggilmanajemen RRI dan mencurigai RRI tidak netral, karena hasil hitung cepat RRI mengunggulkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Rencana DPR memanggil manajemen RRI dikecam habis-habisan oleh ribuan pengguna media sosial. Dalam pemilihan legislatif sebelumnya, RRI sudah melakukan hitung cepat dan hasilnya mendekati presisi. Dukungan rakyat terhadap RRI melalui media sosial membuatDPR mengurungkan niat mereka ”mengadili” manajemen RRI.Gerakan # PRITA #SaveAhok dan #SaveRRI #Save KPKdi Twitter hanya salah satu contoh, betapa media sosial menjadi alat bagi rakyatuntuk melakukan perubahan. Betapa dahsyatnya kekuatan media sosial. Suara pengguna media sosial bermaknasebagai suara rakyat. Media sosial juga alat yang ampuh untuk mengumpulkan massa. Dan itu terbukti dalam ”Konser DuaJari” di Gelora Bung Karno, Jakarta, 5 Juli lalu. Meski persiapannya mepet, acara itu dihadiri lebih dari100.000 orang berkat peranan media sosial. Mereka berbondong-bondong datang tanpa dibayar.

1.Kasus Estrada

Jauh hari sebelum media sosial Twitter danFacebookpopuler, ketika industri telepon seluler (ponsel) tumbuh pesat pada 1990-an, jutaan orangmemanfaatkan pesan singkat (short message service/SMS) sebagai alat ampuh mengumpulkanmassa dan melawan tirani. Ini terjadi setelah dalam sidang permakzulan (impeachment) PresidenFilipina Joseph Estrada, pada Januari 2001, sebanyak 11 anggota Kongres yang tergabung dalamtim penuntut mengundurkan diri karena ada kekuatan yang membuat mereka tak bisa mendapatkan keputusan jujur. Puluhan ribu warga Manila kemudian turun ke jalan, memprotes keputusan Senat Filipina yang menolak membuka rekening bank yang dicurigai menyimpan dana 66 juta dollar Amerika Serikat hasil korupsi Joseph Estrada, dan meloloskan Estrada dari tuduhan korupsi (Kompas, 18 Januari 2001).Kurang dari dua jam setelah keputusan itu, 40.000-an orang, dari pekerja kantor, pelajar, buruh, aktivis, dan biarawati, berkumpul di Epifania de los Santos Avenue (EDSA), persimpangan jalan utama di Manila.Kekuatan rakyat (people’s power) Filipina ini mengingatkan aksi serupa ketika massa menjatuhkan Presiden Filipina Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Aksi massa sepanjang 10 kilometer pada awal2001 itu berawal dari pesan singkat yang mengajak orang berkumpul di lokasi. Sedikitnya tujuh juta pesan singkat terkirim dalam pekan itu. Desakan massa yang begitu kuat berdampak besar. Estrada akhirnya mundur pada 20 Januari 2001 setelah Mahkamah Agung menyatakan kursi kepresidenanFilipina kosong, beberapa menit setelah 75.000 warga Filipina mengurung Istana Kepresidenan Malacanang. Pengganti Estrada adalah Wakil Presiden Gloria Macapagal-Arroyo. ”Joseph Estrada menyalahkan ’generasi SMS’ yang berperan besar menyebabkan dirinya jatuh,” tulis Clay Shirky

dalam tulisannya berjudul ”The Political Power of Social Media” (Foreign Affairs, Januari 2011). Sejak kehadiran internet pada awal 1990-an, jumlah orang yang saling terhubung internet meningkat drastis. Sampai pertengahan 2014, tercatat 2,4 miliar orang menggunakan internet, naik 566 persen sejak tahun 2000. Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat sipil di seluruh dunia, mulai dari warga biasa, aktivis, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan telekomunikasi, penyedia perangkat lunak, sampai pemerintah.

2.”Arab Spring”

Hampir sepuluh tahun setelah peristiwa Estrada di Filipina, rakyat Arab di sejumlah negara melakukan revolusi, memanfaatkan media sosial Twitter dan Facebook. Sejak 18 Desember 2010, terjadi revolusi di Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, Aljazair, Irak, Jordania, Maroko, dan Oman, yang dikenal dengan istilah ”Arab Spring” atau Pemberontakan Arab. Media sosial Twitter, Facebook, Youtube, dan Skype menjadi alat bagi gerakan rakyat untuk melakukan koordinasi dan komunikasi. Media sosial dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Arab. Revolusi pada abad ke-21 dicapai melalui Twitter, blog, pesan singkat di ponsel, dan diorganisasi melalui Facebook. ”Bukti yang kami temukan menunjukkan bahwa media sosial telah membawa kebebasan dan demokrasidi Afrika utara dan Timur Tengah, dan membantu meningkatkan harapan bagi berhasilnya pemberontakan politik,” kata Philip Howard, profesor dalam bidang komunikasi di Universitas Washington, AS. ”Pendukung demokrasi membangun jaringan sosial yang luas dan aksi politik yang terorganisasi. Media sosial menjadi bagian penting sarana bagi kebebasan yang lebih besar,” tulis Howard dalam tulisannya, ”New Study Quantifies Use of Social Media in Arab Spring”, 12 September 2011.

Dalam konteks Indonesia, beberapa pekan terakhir ini, sebagian besar rakyat Indonesia menentang RUU Pilkada disahkan. Kepala daerah yang terpilih dalam pilkada langsung, seperti Ridwan Kamil (Bandung), Bima Arya (Bogor), dan Awang Ahmad (Singkawang), menentang pengesahan RUU Pilkada. Ridwan Kamil yang memiliki 704.000 followers (pengikut) di Twitternya mengaku tidak mengeluarkan banyak uang untuk mahar ke Partai Gerindra dan PKS (dua parpol pendukung RUU Pilkada). Dia yakin pilkada langsung tidak mahal dan tidak boros. Gerakan mendukung pilkada langsung makin merebak luas di negeri ini. Rakyat yang tidak ingin Indonesia kembali ke era Orde Baru, menggalang kekuatan besar melalui media sosial untuk melakukan aksi di sejumlah kota, melawan tirani dan oligarki. Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa kekuatan rakyat tak bisa dicegah.

B.FENOMENA RELAWAN RAKYAT PENDUKUNG JOKOWI

Di atas kapal Phinisi, presiden terpilih tersebut kemudian menyampaikan pidato kemenangannya yang diberi judul “Saatnya Bergerak Bersama”. Satu bagian pidato tersebut menyiratkan satu sejarah baru dalam perjalanan politik Republik ini.

“Apa yang ditunjukkan para relawan mulai dari pekerja budaya dan seniman sampai pengayuh becak memberikan harapan bahwa ada semangat kegotong-royongan yang tak pernah mati,” tegas Jokowi. “Relawan” menjadi sebuah idiom baru yang membawa pengaruh besar dalam pemilu negeri ini.Kemenangan Jokowi memang tak bisa dilepaskan dari kerja keras para relawan.Namun, kemunculan relawan tentu bukan instan dan tanpa alasan. Ardi Wilda mencoba merunut perjalanan kemunculan gerakan kerelawanan di Indonesia dengan mewawancarai Aquino Hayunta. Ia dikenal sebagai pegiat organisasi anak muda Pamflet dan Koalisi Seni Indonesia. Ditemui di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, ia banyak bercerita mengenai kemunculan relawan dalam empat lima tahun ke belakang, problem yang dihadapi kerelawanan, serta apa yang bisa relawan Jokowi lakukan ke depan.

A. Berikut petikan hasil wawancara Ardi Wilda kepada Hayunta Aquino (pegiat organisasi anak muda Pamflet dan Koalisi Seni Indonesia). :

Bila ditilik ke belakang bagaimana gerakan kerelawanan mulai marak?

Saya perhatikan dalam konteks Indonesia kerelawanan muncul mulai 2008, khususnya di kota besar. Penyebabnya karena banyak anak muda memiliki kesempatan untuk berorganisasi di luar kampus. Ditarik ke belakang lagi, 2002-2006 seperti ada kekosongan gerakan mahasiswa dan kurangnya regenerasi bagi gerakan aktivis sipil. Mungkin karena para mahasiswa angkatan 1998 sudah lulus dan keluar kampus di 2002. “Untungnya” pada tahun 2006 itu ada Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi (RUU APP), yang penuh kontroversi sehingga merangsang begitu banyak orang untuk bereaksi. Saya ingat dulu demo menolak RUU APP pada April 2006 adalah demo terbesar sejak 2002. Sejak 2002 saya tidak pernah melihat demo sebesar RUU APP. Di situ juga mulai organisasi-organisasi yang menentang RUU tersebut menerima relawan dari mahasiswa. Aliansi Mawar Putih yang menolak RUU APP misalnya, menggunakan banyak tenaga relawan mahasiswa untuk mengumpulkan petisi dari masyarakat. Ketika itu petisi masih dilakukan secara manual, menyebarkan kertas tercetak atau melalui SMS dan terkumpul sekitar 16 ribu petisi.

Kenapa mahasiswa? Karena yang terganggu kebanyakan anak muda. Terganggu dalam konteks terancam kebebasan berekspresinya. Selain itu juga punya kelebihan waktu dan tenaga. Terus 2008 kesempatan untuk membuat organisasi makin besar, karena ada berbagai organisasi internasional maupun nasional yang membuka kesempatan untuk pertukaran budaya, short course atau pelatihan bagi anak muda sehingga mulailah banyak bermunculan organisasi anak muda. Sejak itu aktivisme jadi seperti tren. Sesuatu yang cool buat anak muda. Anak muda yang cool itu yang berwawasan luas dan yang berwawasan luas itu punya kepedulian sosial. Kegiatan sosial juga menjadi poin plus untuk cari kerjaan atau cari beasiswa.

Baru sekitar dua-tiga tahun ini kerelawanan terasa sangat meledak. Bahkan ada organisasi yang sengaja memfokuskan diri pada kerelawanan seperti Indo Relawan juga Indonesia Mengajar. Namun, memang kalau dilihat ini masih bergerak di kota-kota besar, mungkin karena faktor informasi yang lebih mudah didapat.

Faktor pendukung selain itu?

Saya belum pernah melakukan studi mendalam soal ini, Pamflet yang pernah melakukan. Hipotesanya adalah kampus saat ini minim aktivisme sosial, kalaupun ada kesibukan di dalam kampus hanya dikuasai oleh kelompok tertentu dan masih kentalnya senioritas. Jadi seringnya sekadar menjadi sayap politik saja. Di sisi lain, anak-anak yang tidak tertampung di situ akan membuat organisasi lain yang modelnya sebenarnya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Jadi, ada beberapa individu punya minat sama kemudian membuat organisasi. Kalau dulu basisnya almamater atau lingkungan pendidikan, sekarang basisnya kesadaran atau isu.

Apakah organisasi sayap parpol di kampus juga bisa disebut kerelawanan ?

Menurut saya tidak. Itu lebih pada bentuk politisasi mesin partai terkait, usaha mesin partai mencari konstituennya, memperluas kekuasaan dan jangkauannya. Itu bukan bentuk kerelawanan. Kalau kerelawanan bentuknya lintas identitas dengan disatukan oleh kepentingan bersama. Kalau bentuk kepartaian sulit untuk dikatakan kerelawanan walaupun tidak dibayar sekalipun. Karena ia bekerja untuk membesarkan organisasi bukan menangani isu. Kalau kerja kerelawanan lebih pro aktif pada isunya.

Bukankah pola-pola yang digunakan oleh parpol mirip dengan kerelawanan, dalam pengkaderan misalnya ?

Tidak. Partai tentu sudah punya standar dahulu baru merekrut Orang diminta untuk mengikuti standarnya. Kalau kerelawanan sifatnya biasanya berbasis isu. Polanya biasanya diawali oleh kumpul dan diikat oleh keprihatinan yang sama dan tergerak untuk melakukan sesuatu. Baru kemudian membuat organisasi. Setelah itu baru melakukan kerja organisasi seperti perekrutan. Mungkin kesamaannya setelah jadi organisasi, tapi awalnya jelas sangat berbeda.

Semangat relawan selalu dekat dengan filantropi, apakah memang selalu murni filantropi atau justru transaksional ?

Tentu ada unsur filantropinya, tapi juga ada sedikit transaksional. Sederhananya begini, dengan ikut kegiatan relawan anak-anak sekarang jadi bisa nambah portofolio di CV. Mungkin ketika mencari beasiswa atau pekerjaan akan lebih mudah. Mereka juga bisa ikut konferensi, seminar atau pertukaran aktivis dengan negara lain, bahkan bisa dimuat di media massa. Namun, justru yang dominan bukan itu, yang saya lihat malah anak muda ini sedang mencari jati diri, punya banyak waktu dan memang punya kepedulian sosial. Sehingga secara umum tetap lebih banyak unsur filantropinya.

Kerja relawan biasanya lebih dekat dengan kepentingan banyak orang. Dalam kontestasi pemilu kali ini tentu tak bisa lepas dari kepentingan satu orang, Jokowi. Apa yang bisa menjelaskan ini?

Sebenarnya ini bukan sekadar masalah Jokowi, tapi ini soal menaikkan demokrasi ke level yang lebih tinggi. Kita melihat pemenuhan hak asasi yang stuck di pemerintahan SBY, sulit mendefinisikan karena dibilang jelek tidak, dibilang bagus juga tidak. Yang jelas adalah kenyataan bahwa negara sering tidak hadir dalam berbagai persoalan masyarakat, sehingga negara ini kerap disebut sebagai negara auto pilot.

Kita berharap jika Jokowi yang jadi presiden maka level demokrasi Indonesia bisa naik. Karena kalau kita tak bergerak atau malah mundur, perjuangan reformasi selama 16 tahun ini bisa jadi percuma, sebab semua ciri yang kita tolak selama reformasi ini ada di kubu Prabowo. Ibarat cerita maka Prabowo menjadi tokoh antagonis sehingga lebih banyak orang berkepentingan supaya si tokoh ini tidak memegang kekuasaan, maka mereka menjadi relawan.Kerelawanan ini bukan hanya soal mendukung Jokowi. Ini lebih kepada cita-cita bersama yang menurut orang dipertaruhkan pada saat pemilu ini. Itu juga dipertegas dengan mesin partai pendukung Jokowi yang disinyalir tidak berjalan maksimal. Juga fitnah-fitnah yang menerpa Jokowi. Itu yang membuat orang bergerak sebenarnya. Ibaratnya muncul semangat, “Kalau gue enggak turun, gue sendiri yang akan rugi”.

Tadi dikatakan kerelawanan muncul pada 2008, kita tahu di 2009 juga ada Pemilu, tapi kenapa kerelawanan di politik praktis baru terjadi saat ini?

Pertama, karena capres-capres di 2009 tidak menarik kalau diibaratkan sebagai produk dagang maka semuanya mirip-mirip, masih produk lama semua. Lagipula sebelum 2009 evolusi politik kita belum sampai seperti sekarang ini. Dulu, orang yang terjun ke politik masih sangat dinyinyirin. Kita masih selalu jadi oposan, gerakan masyarakat sipil hanya tahu bagaimana menjadi oposan. Pada 2004 itu awal ketika segelintir aktivis mencoba masuk parlemen, kemudian jumlahnya bertambah lagi pada 2009. Orang mulai sadar tidak bisa terus menerus jadi oposan, tetapi juga bisa masuk ke sistem dan membenahi sistem dari dalam.

Selama empat lima tahun ke belakang, kesadaran dan praktik-praktik tersebut terus berkembang. Titiknya di 2014 ini ketika makin banyak aktivis yang menjadi caleg. Jadi evolusi gerakan masyarakat sipil kita juga berubah. Jokowi itu seperti hadir di saat yang tepat. Evolusi politik kita berubah, kerelawanan makin banyak dan jenuh dengan stagnannya pemerintahan SBY. Itu semua bertemu dan berjodoh dengan Jokowi.

Sebelum relawan Jokowi lebih banyak relawan dalam gerakan sosial.Jokowi jadi momentum relawan di politik. Apakah di kerelawanan ada dikotomi kerelawanan sosial dan politik?

Tidak. Tidak cocok bahkan dikotomi seperti itu. Kerelawanan itu basisnya kesadaran individu, kesadaran sosial dan politik, sekecil apapun itu. Ada dialektika antara dirinya dengan lingkungannya, dengan persoalan sosial. Itu yang tidak saya lihat di “kerelawanan politik” dalam konteks partai. Tapi, kerelawan yang mendukung Jokowi ini beranjaknya dari kesadaran politik individu. Lihat misalnya gerakan relawan yang mengawal perhitungan surat suara itu, kalau dia tidak punya kesadaran politik maka dia tidak akan bikin itu. Juga artis-artis misalnya kalau tidak sadar suara Jokowi harus didongkrak maka mereka tidak akan bikin konser yang di Gelora Bung Karno (GBK).

Animo kerelawanan masyarakat dalam mendukung Jokowi juga bisa kita lihat dengan membandingkan laporan keuangan Prabowo dengan Jokowi. Individu yang menyumbang Prabowo sedikit sekali kalau tidak salah sekitar 40-an individu. Sedangkan individu yang menyumbang untuk Jokowi lebih dari 40 ribu. Ini kan seperti seperti crowd funding, kita tidak akan menyumbang kalau kita tidak suka dengan projectnya.

Kuatnya relawan Jokowi ini bisa dibaca sebagai fenomena apa?

Fenomena kalau ini sudah zamannya pemerintahan partisipatif. Kita selama ini belum pernah lihat pemerintahan partisipatif seperti yang Jokowi-Ahok lakukan di Jakarta. Sekarang masyarakat memang ingin berperan dalam pembangunan, ingin menentukan nasibnya sendiri. Bedanya orang dijajah dengan tidak adalah kalau kita dijajah kita tidak bisa menentukan nasib sendiri. Sekarang ini kita berharap kita bisa menentukan nasib sendiri, bahwa kita ingin usulan atau keluhan kita ditampung pemerintah. Mungkin fenomena ini bisa dibaca sebagai itu, masyarakat yang lebih sadar politik. Bahkan yang memilih Prabowo juga bisa dilihat mereka berani menentukan pilihannya dan mengemukakan argumen. Menurut saya fenomena-fenomena ini kemajuan penting. Kalau ada yang bilang ini pemilu terbaik saya setuju.

Yang terjadi di lapangan dengan masifnya kampanye hitam sangat berbeda dengan keriuhan relawan sosial media, mengapa ini bisa terjadi?

Soalnya penetrasi internet masih minim. Yang tinggal di luar kota besar hidupnya juga lebih pragmatis. Akar rumput masih bergulat dengan kehidupan ekonomi sehari-harinya. Atau terserap perhatiannya ke politik lokal. Titik kelemahannya bisa jadi adalah infrastruktur dimana akses internet yang belum merata dan yang bekerja di sosial media tidak pernah benar-benar bekerja di akar rumput. Itu juga kritik buat kita sendiri. Kita hanya bermain di kota-kota besar tapi tidak pernah punya metode atau cara menjangkau mereka yang berada di luar akses internet.

Dari situ apa bisa dikatakan pola-pola atau metode yang dilakukan relawan Jokowi sifatnya masih bias kelas?

Dari posisi saya, saya bisa bilang iya. Karena saya tidak turun ke daerah. Tapi tentu perlu ditanyakan juga  ke relawan-relawan yang turun ke daerah tentunya. Secara umum bisa dikatakan masih bias kelas dan sangat kelas menengah sekali. Kita harus menemukan metode kerelawanan di akar rumput, itu yang jarang kita pikirkan. Kalau akar rumput kan simpel, misalnya gotong royong membangun rumah, ada bencana alam dibantu. Kerelawanan di akar rumput ini biasanya belum terstruktur. Struktur itu pasti ada peraturan, budaya, produk-produk informasi, dan dokumentasi. Di akar rumput sifatnya masih sekadar responsif, artinya saat ada kejadian kemudian merespon. Dia belum menjadi suatu sistem yang sudah jadi.

Saat ini hasil sudah menempatkan Jokowi sebagai pemenang pilpres. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh relawan-relawan yang selama ini membantu?

Sebenarnya pekerjaan ke depan masih banyak. Kebijakan Jokowi pasti akan diserang kanan kiri. Relawan bisa jadi bumper-nya dia ketika kebijakan-kebijakan dia yang pro-reformasi hendak dijegal oleh parlemen. Relawan-relawan ini bisa jadi kekuatan. Yang penting harus dijaga bagaimana relawan-relawan ini tetap punya akses ke Jokowi. Mereka ini seperti lingkar duanya Jokowi. Coba sekarang kalau SBY lingkar keduanya siapa? Tidak ada. Akibatnya ketika kita mau menyampaikan sesuatu ke SBY jadinya kita bingung bagaimana caranya, akhirnya lewat jalur formal. Bisa juga menjadi gerakan sipil yang sudah sinergis dengan pemerintah bukan yang beroposisi lagi. Dalam suatu perubahan sosial kan selalu ada dua unsur yakni agency dan struktur. Selama ini agen-agen ini selalu oposan terhadap struktur. Sehingga saling jalan sendiri-sendiri. Yang bisa dilakukan ke depan bisa jadi bagaimana yang terjadi di agency ini bisa masuk ke struktur. Mengubah struktur jadi lebih baik. Dikeroyok aja strukturnya, misalnya UU MD3. Setelah Jokowi naik pekerjaan besarnya itu, relawan bisa maju lagi.

Artinya relawan tidak mengambil jarak tapi partisipatif?

Iya. Partisipatif kritis. Artinya ia tetap setia bergerak berbasis pada suatu isu, bukan berbasis pada kepentingan politik praktis, tapi di sisi lain dia menjadi orang yang mau memberi masukan ke birokrasi. Kalau dulu kan karena birokrasinya menutup diri kita mau tidak mau harus membuat sistem alternatif yang kemudian disebut oposisi. Kalau sekarang kita menganggap bahwa Jokowi ini orang baik dan dia butuh dukungan maka support dukungannya berubah dengan memberi dia masukan. Supportnya bukan karena kita mengkultuskan dia, tapi karena ada struktur yang harus diubah dan kebetulan ada orang baik di dalam. Lebih ke sinergis dan itu belum ada presedennya di Indonesia.

Fenomena Voluntarisme ARTIS di Pilpres 2014

Pada Pilpres 2014 yang lalu, markas Slank di Gang Potlot sibuk bukan kepalang. Orang-orang sibuk menyiapkan hajatan besar, sebuah pagelaran akbar yang mengundang ratusan ribu orang di tengah bulan puasa, di mana sekitar 200 artis akan tampil secara cuma-cuma alias tak dibayar, konser “Salam 2 Jari”. Sebagai bentuk dukungan untuk pasangan Jokowi-JK.

Konser tersebut lahir dari ide liar Slank, bukan tim sukses Jokowi-Jk. Tugas tim sukses hanya menghadirkan Joko Widodo di acara itu. Artis yang terlibat, keamanan, serta logistik konser menjadi urusan relawan. Abdee Negara, gitaris Slank, yang menjadi salah satu penggagasnya sampai ‘batal puasa merokok’ yang sudah dilakoninya bertahun-tahun saking stres hanya punya waktu seminggu menyiapkan konser. “Butuh koordinasi yang kuat, capeknya ya koordinasi itu. Harus rela setiap hari rapat,” kata dia. Stres Abdee dan artis lainnya terbayar lunas. Hasilnya, konser akbar “Salam 2 Jari” yang berlangsung Sabtu, 5 Juli 2014 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) itu sukses besar. Konser berlangsung lancar dan aman.

Seniman dan penata artistik kawakan Jay Subiakto, yang naik ke atas layar video setinggi 20 meter untuk mengabadikan konser dengan kameranya, bahkan berpendapat, Pemandangan (di konser) itu persis pada 1998. Saat gerakan rakyat mengantar Indonesia ke gerbang reformasi. Ada banyak alasan mengapa Slank memutuskan untuk mendukung Jokowi-JK. Vokalis Slank, Kaka berpendapat, Joko Widodo mempunyai rasa sayang terhadap masyarakat dan alam. Selain itu, mantan Walikota Solo itu juga tak ribet dengan urusan protokoler.“Pak Jokowi buat saya, asyik-asyik aja,” ujarnya. Sementara, JK yang kini genap 72 tahun disebut cocok dan mampu mendampingi Jokowi untuk lima tahun ke depan. Bagaimana dengan “lawan” Slank, musisi Ahmad Dani yang memilih berseberangan dengan kubu Jokowi? Terkesan dengan sikap Prabowo yang lepas sepatu saat masuk ke rumahnya dan kedatangan Hatta Rajasa ke acaranya, membuat musisi itu melabuhkan dukungannya.

Medio Juni 2014, Dhani mengundang tiga jebolan Indonesian Idol, Husein Alatas, Virzha, dan Nowela untuk ikut serta menyanyi dengannya. Hasilnya, dari syuting tanggal 13 Juni 2014 itu jadilah video klip lagu pendek yang diberi judul "Prabowo-Hatta, We Will Rock You" atau "Indonesia Bangkit." Musiknya meminjam lagu "We Will Rock You" milik Queen, band rock favorit Dhani. Video suka rela buatan pemimpin Republik Cinta Manajemen itu kemudian sampai juga ke Prabowo. Lewat laman Facebook-nya pada 20 Juni, Prabowo mengucapkan terima kasih pada Dhani dan tiga jebolan Indonesian Idol. Pihak Prabowo mungkin senang, akhirnya dari pihak mereka ada juga video musik keren yang lahir secara suka rela. Rasa senang itu, ternyata cuma berlangsung sebentar. Di dalam negeri tadinya video itu adem ayem saja. Keributan justru datang dari jarak ribuan kilometer jauhnya, tanah Eropa. Rabu, 25 Juni, laman majalah Jerman Der Spiegel merinci seragam militer yang digunakan suami Mulan Jameela itu persis seragam perwira Nazi dari kesatuan Schutzstaffel alias SS.Spiegel juga memasang foto Dhani di video disandingkan dengan Heinrich Luitpold Himmler, petinggi SS yang juga arsitek pembantaian Yahudi atau Holocaust di masa Perang Dunia II oleh Nazi. Potongan rambut Dhani dikatakan juga mirip Himmler

Video itu tak cuma dianggap tak simpatik, tapi juga malah kian mencirikan Prabowo sebagai representasi pemerintahan militeristik dan anti demokrasi. Laman majalah Time menyebut video itu sebagai "video kampanye terburuk." Apalagi belakangan ketahuan Dhani tak minta izin memakai lagu Queen itu.

Bagaimana dukungan Efek Artis ?

Artis dan politik bukan hal baru di Indonesia.Dari masa perjuangan kemerdekaan, polarisasi pada masa Demokrasi Terpimpin di tahun 1960-an, pelembagaan para seniman era Orde Baru salah satunya Parfi (persatuan artis film Indonesia) yang memiliki jatah kursi utusan golongan di MPR. Pada tahun 1970-an, Rhoma memilih mendukung PPP. Selama dua musim pemilu, 1977 dan 1982, dicatat majalah Forum edisi 9 Januari 2000 yang menulis profilnya, Rhoma menyedot jutaan umat mendatangi kampanye PPP, sebelum ia akhirnya menyeberang ke Golkar. Pasca reformasi, artis juga kerap dilibatkan dalam aktivitas politik.

Dijadikan caleg, calon kepala daerah, atau sekedar tampil di panggung kampanye untuk meraup simpati. Mungkin untuk kali pertamanya dalam sejarah republik ini, Pemilihan Presiden 2014 bukan hanya ramai oleh politisi yang saling serang atau saling dukung, tapi juga riuh oleh kalangan artis alias selebriti yang memutuskan memihak. Kaum seleb kini tak hanya berdiri di pinggir, memilih netral atau melihat dari kejauhan. Kali ini mereka terlibat langsung, menyuarakan dengan nyaring pilihannya, sambil membela dan rela bekerja agar capres pilihannya menang. Pasangan Prabowo-Hatta diusung Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, Partai Golkar, dan Partai Demokrat, sedang Jokowi-JK diusung PDIP, Hanura, Partai Nasdem, PKPI, dan PKB. Saat partai-partai terbelah dalam dua kubu, seleb pun demikian. Ada kubu artis pendukung Jokowi-JK dan ada kubu artis pendukung Prabowo-Hatta.

Di kubu Prabowo-Hatta ada Ahmad Dhani dan deretan artis di bawah manajemennya, Raja Dangdut Rhoma Irama, artis-artis yang tergabung dengan PAN seperti Anang dan Raffi Ahmad, serta artis yang juga fungsionaris Golkar Nurul Arifin dan Tantowi Yahya. Pada 3 Juni, Nurul membawa serta artis-artis era 1970-an dan 1980-an ke markas pemenangan Prabowo-Hatta di Rumah Polonia untuk menyatakan dukungan. Artis-artis itu antara lain Yati Octavia, Fitria Elvi Sukesih, Arie Kusmiran, Erie Johan, Ikang Fauzie, Fifi Sumantri, Marini, Aries Kusmiran dan Pangki Suwito.

Dari kubu Jokowi-JK artisnya lebih banyak. Selain Slank, ada Yuni Shara, Joko Anwar, Riri Riza, Olga Lydia, Mira Lesmana, Ringgo Agus Rahman, Glenn Fredly, Roy Marten, Gading Marten, Opie Andaresta, Dira Sugandi, Gita Gutawa, Sherina, dan banyak lagi. Saat mengumumkan konser “Salam 2 Jari” disebut 200 nama artis ikut mendukung.

Pertanyaannya, apa dukungan artis itu berdampak pada hasil pilpres?

Bisa jadi iya. Namun, sejatinya, apa yang terjadi di Indonesia bukan sesuatu yang khas. Di Amerika Serikat, negeri demokratis yang sudah berusia 238 tahun, keterlibatan seleb dalam pilpres menjadi bagian penting yang tak terpisahkan. Apa yang kita saksikan dengan kesibukan Slank turut serta membela Jokowi dan kerelaan Ahmad Dhani mendukung Prabowo sama berartinya dengan dukungan Oprah Winfrey pada Obama tahun 2008.

C.FENOMENA KONSER SALAM 2 JARI dan ARTIS LUAR NEGERI.

Jusuf Kalla mengatakan konser “Salam 2 Jari” sebagai salah satu faktor kemenangan kubunya di Pilpres 9 Juli lalu. Sebagai gambaran, pada Juni 2014. Situasi genting menimpa kubu Jokowi-JK. Elektabilitas Jokowi menurun akibat kampanye hitam yang kian gencar lewat situs online, media sosial, hingga media cetak semisal tabloid Obor Rakyat. Jokowi dituding non-muslim, non-pribumi, capres boneka, antek asing, hingga tudingan pro PKI. Kampanye hitam itu, meski sudah dibantah dengan berbagai cara, nyatanya mempengaruhi pilihan pemilih. Dari survei Indo Barometer, dukungan untuk Prabowo-Hatta pada Juni 2014 naik menjadi 42,6 persen. Sedangkan elektabilitas Jokowi-JK pada Juni 2014 turun menjadi 46,0 persen. Dari sisi capres-cawapres dan para politisi, di ujung masa kampanye pasangan Jokowi-JK berhasil memberi penampilan memukau di debat terakhir. Sementara itu, kicauan politisi PKS Fahri Hamzah yang bilang "sinting" atas usulan 1 Muharram sebagai hari santri serta kesalahan Hatta Rajasa soal Kalpataru di debat capres-cawapres menjadi gol bunuh diri. Di luar dua faktor itu, yang tak kalah pentingnya adalah dua momen yang melibatkan mobilisasi artis: konser "Salam 2 Jari" dan tagar #AkhirnyaMilihJokowi di Twitter. Sukses konser "Salam 2 Jari" mendatangkan seratus ribu orang ke GBK berhasil menyita perhatian orang yang belum memutuskan memilih. Pun begitu dengan tagar #AkhirnyaMilihJokowi Kamis, 3 Juli 2014, lini masa Twitter ramai dipenuhi hashtag atau tagar #AkhirnyaMilihJokowi yang digagas para simpatisan atau pendukung capres nomor urut 2 itu. Tagar #AkhirnyaMilihJokowi dirancang khusus kubu Jokowi. Para artis yang kebanyakan punya follower Twitter bejibun diminta untuk mencuit alasan kenapa Jokowi pilihan terbaik sebagai capres disertai tagar dimaksud. Sutradara Joko Anwar yang awalnya diminta tim sukses untuk mempelopori tagar ini. Joko menghubungi artis-artis lain yang juga berada di kubu Jokowi untuk mencuit hal serupa.

Banyak pesohor negeri ini kemudian mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi melalui tagar tersebut. Sebut saja Sophia Latjuba, Sherina Munaf, Andien, Mira Lesmana, Glenn Fredly, dan Afgansyah Reza.

Lantas, tagar ini demikian populer. Yang mencuit soal alasan kenapa pilih Jokowi bukan hanya artis, tapi juga follower-follower mereka. Tagar tersebut segera menduduki posisi pertama trending topic atau topik terpopuler dunia pada 3 Juli, hari Kamis itu. Yang mencuuit dukungan buat Jokowi bahkan bukan hanya artis dalam negeri, tapi juga artis luar semisal Sting, Jason Mraz, hingga group rock Arkarna dan gitaris Guns N' Roses Bumblefoot. Strategi itu berhasil. Survei Politicawave yang dilakukan sehari sebelum pencoblosan, memperlihatkan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) berlabuh ke Jokowi-JK. "Terdapat 91 persen netizen yang menyatakan tidak jadi golput dan memilih Jokowi-JK dan hanya 9 persen netizen yang menyatakan tidak jadi golput dan memilih Prabowo-Hatta," kata pendiri Politicawave Yose Rizal pada Liputan6.com beberapa waktu lalu.

Pilpres 2014 akhirnya menyatukan yang bergerak sendiri-sendiri itu. Pilihan yang mengerucut pada dua pasangan capres mau tak mau membuat masyarakat terbelah dalam dua kubu."Saat pemilu presiden kemarin situasinya genting.Karena pilihannya cuma dua," kata Hikmat. Golput atau bersikap netral pun bukanlah pilihan yang bijak."Kalau dulu memilih netral atau golput karena merasa pilihannya jelek semua, sekarang tak bisa begitu lagi.Saat ada pilihan yang baik ya harus ikut memilih," imbuhnya. Semua orang, termasuk artis, pada 9 Juli kemarin sudah memilih capres-cawapres pilihan masing-masing. Pilpres 2014 menjadi contoh baik partipasi warga, termasuk artis, berpolitik. Banyak karya-karya fenomenal dan kreatif lahir dari kerelaan untuk berpartisipasi.Kita melihat aksi nyata baik di dunia maya maupun non-maya. Ratusan ribu orang memadati GBK saat konser "Salam 2 Jari" disebut Hikmat sebagai peristiwa bersejarah."Peristiwa di GBK susah diulang," tegasnya."Apa yang terjadi sekarang baru terjadi setelah satu dekade lebih.Terakhir terjadi pas Reformasi 1998."

Itu artinya, setelah keriuhan pilpres 2014, artis-artis ini akan menjadi penjaga moral. "Setelah kemenangan, tiga bulan tarik dukungan. Kami tetap jadi parlemen jalanan," kata Ivanka, personel Slank.

1.Jason Mraz, Arkarna, Sting dukung Jokowi

Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 tahun ini rupanya jadi moment istimewa bagi sejumlah artis manca, meskipun mereka tidak punya 'suara'. Bukan hanya menjadi daya tarik musisi Indonesia, pesta demokrasi ini juga mengundang perhatian sejumlah musisi manca kepada salah satu Capres, Joko Widodo (Jokowi).

Tanpa diduga-duga, dua musisi andal, Sting dan Jason Mraz mem-posting statusnya untuk mendukung Jokowi. Mereka mengajak warga Indonesia untuk mau berpartisipasi pada Pilpres 9 Juli mendatang. Melalui akun twitter @jason_mraz, pelantun tembang ‘lucky’ tersebut mengatakan, “To my friends in Indonesia, this week you are empowered with your vote! Get involved in democracy and be heard! #Jokowi9Juli #yes!,” seperti dilansir Merdeka, Selasa (08/07/2014). Dukungan juga disampaikan musisi legendaris, Sting. Melalui akun Facebook-nya, mantan basist The Police ini juga menyerukan agar warga Indonesia bisa memberikan hak pilihnya untuk mencoblos Jokowi.

“Use your rights – every vote counts. #Jokowi9Juli,” kata Sting dalam akun Facebook. Postingan dua musisi tersebut langsung heboh diperbincangkan di media-media sosial populer Indonesia, seperti Twitter, Facebook, hingga Path. Ternyata tak hanya Jason Mraz dan Sting, band aliran tekno Arkarna pun juga juga tak mau kalah mendukung capres nomor urut 2 tersebut. Band asal Inggris itu juga memberi support pada Jokowi agar menang pada pilpres yang hanya tinggal hitungan hari lagi. Lewat akun twitter resminya, Arkarna mengajak warga Indonesia memilih sosok capres yang bisa membawa masa depan Indonesia menjadi lebih baik, yakni Jokowi. “VOTE JOKOWI NOW FOR A BETTER AND STRONGER FUTURE FOR INDONESIA! EVERY VOTE COUNTS GUYS! #ArkarnaVoteJokowi – retweet!,” kata akun @arkarna, Selasa (08/07/2014).

2.Dikira dibajak

Setelah kicauan itu keluar, ada salah satu follower Twitter Arkarna yang mengira jika akun Arkarna dibajak. Namun, kicauan dari akun @FathyaSyueb langsung dijawab oleh gitaris Arkarna, Matt Hart.“Of course not! This is Matt, our twitter wont stop making noise now lol! ” Band yang pernah manggung di Jakarta dan sempat berduet dengan Jokowi ini juga mengaku handphone-nya sempat lemot setelah berkicau status Jokowi di Twitter. “The amount of support for Jokowi is Incredible! My phone has been paralysed with notifications from the retweets! ????#ArkarnaVoteJokowi.”

Seperti diketahui, sosok Jokowi kerap kali mengundang musisi manca, khususnya beraliran rock untuk manggung di Indonesia, baik saat dia menjabat jadi Walikota Solo maupun Gubernur DKI. Sebut saja Metallica, Lamb of God, Guns N Roses, dan lain-lainnya. Wajar, jika dukungan tersebut disampaikan.

3.Tak hanya Jokowi

Dukungan orang-orang tenar di manca negara tak hanya diterima Jokowi. Capres nomor urut satu, Prabowo Subianto sebelumnya juga mendapatkan dukungan legenda sepakbola Argentina, Diego Armando Maradona. Dalam situs media sosial Youtube, diunggah pernyataan Maradona yang mendukung Prabowo di Pilpres 9 Juli, dalam bahasa latin. “Prabowo, Anda harus menang Pemilu! Karena saya ingin ke Indonesia untuk beri Anda selamat.Oke? Salam dari saya,” ucap Maradona dalam teks bahasa Indonesia di video yang di-upload akun ‘Diego Maradona’ tersebut.

4.Jokowi, Obama dan Efek Oprah Winfrey

Amerika Serikat di tahun 2008. Sebuah fenomena politik baru muncul. Kala itu dalam konvensi capres Partai Demokrat, Hillary Clinton sempat memimpin pertarungan melawan Barack Obama. Siapapun yang akan maju sebagai calon presiden akan menciptakan sejarah baru di Negeri Paman Sam. Ia mungkin jadi perempuan atau kulit hitam pertama yang menjadi orang nomor satu di AS.Namun, Obama punya sesuatu yang tak dimiliki Nyonya Clinton: dukungan dari Oprah Winfrey. Oprah Winfrey yang tak pernah sekalipun kentara mendukung salah satu kandidat Presiden AS, terang-terangan menggadang-gadang Obama. Dukungannya punya arti signifikan. Sejumlah ekonom memperkirakan bahwa dukungan Winfrey itu bernilai lebih dari satu juta orang. Dan tanpa itu, Obama diperkirakan akan kalah melawan Hillary Clinton dalam nominasi capres Partai Demokrat. Gubernur Illinois Rod Blagojevich juga mengklaim bahwa dukungan Oprah begitu signifikan hingga ia mempertimbangkan untuk menawarkan bekas kursi Obama di Senat untuk sang ratu talk show.

Dan Oprah tak sendirian, selebritas lain yang ada di jajaran ‘pasukan Obama’ termasuk di antaranya Kerry Washington, Usher, Chris Rock, Brendan Routh, Kate Walsh, Kal Penn, dan Tate Donovan. Tak hanya sekedar menyuarakan dukungan, para selebritas turun tangan menggalang dana, menelepon warga AS, bahkan tak segan-segan mengetuk rumah penduduk untuk menyampaikan visi dan misi Obama.

Kemudian, Scarlett Johansson, Kelly Hu, Kate Walsh, John Legend, Herbie Hancock, Kareem Abdul Jabbar, Adam Rodriquez, Amber Valetta dan Nick Cannon bersama kelompok musik The Black Eyed Peas membuat video klip bertajuk "Yes We Can" yang sempat merajai YouTube.

“Kami memanggil semua (artis) yang kami tahu dan mereka sanggup meluangkan waktu di tengah kesibukan demi menjadi bagian dari video ini,” kata Fred Goldring, yang memproduksi video itu seperti Liputan6.com kutip dari Time.“Kami masih mendengar tanggapan masyarakat yang bertanya-tanya, apa lagi yang akan kami lakukan. Ini menakjubkan, tak seperti kampanye lain yang pernah saya saksikan. Ini sebuah gerakan.”

Para pesohor yang sebelumnya hanya punya pengaruh kecil dalam pemilu, jarang terang-terangan memberikan dukungan, dan sosoknya hanya muncul di malam penggalangan dana mengambil sikap politik. Mereka yang dulunya hanya bisa mempengaruhi orang-orang untuk membeli bir, sabun, atau mobil merek ‘X’ kini bisa mempengaruhi preferensi politik orang banyak.

Namun, seperti dikutip dari situs Pew Research Centre, berdasarkan survei, mayoritas orang Amerika (69 persen) mengatakan, dukungan oleh selebriti dan tokoh-tokoh terkenal lainnya, termasuk Oprah, tidak akan mempengaruhi keputusan mereka. Meski demikian, 60 persen responden yang sama percaya, dukungan Oprah untuk Obama akan membantu pencalonan si Anak Menteng itu.

5.Merebut Simpati

Tahun 2012, strategi yang sama juga dipakai Obama untuk mempertahankan kursinya di Gedung Putih. Dengan berusaha menggaet dukungan dari 194 pesohor. Anggota kelompok musik The Black Eyed Peas, Will.i.am, aktor George Clooney dan Tom Hanks berhasil mengumpulkan dana maksimal US$61,600 untuk Partai Demokrat dan U$5.000 untuk Obama dalam sekali putaran. Clooney bahkan menyelenggarakan acara pengumpulan dana yang menghasilkan jutaan dolar untuk Obama.

Meski tak seheboh 2008, hal serupa pernah dilakukan pada penghujung 2004. Kala itu, jagad politik negeri Paman Sam yang sudah panas jadi kian mendidih. Beberapa minggu sebelum pemilihan presiden awal November tahun itu rilis film dokumenter berjudul Fahrenheit 9/11. Itu bukan film dokumenter biasa.Melainkan film yang mengkritik habis-habisan Presiden George W. Bush atas kebijakannya pasca serangan 11 September 2001 atau tragedi 9/11.

Di film itu diperlihatkan betapa canggungnya sang presiden di detik-detik awal serangan terjadi hingga waktu terbuang percuma. Atau, di saat angkasa Amerika ditutup untuk aneka penerbangan, ternyata keluarga kaya Arab Saudi dibolehkan keluar Amerika. Atau juga, di masa lalu keluarga Bush dan pejabat pemerintahannya ternyata punya hubungan dengan Taliban dan Presiden Irak Saddam Hussein. Fahrenheit 9/11 dibuat Michael Moore. Ia merilis filmnya di bioskop-bioskop AS tepat sebelum pilpres 2004 dengan satu tujuan agar masyarakat AS tak memilih Presiden Bush, dari Partai Republik, yang mencalonkan diri untuk kedua kalinya, berhadapan dengan John Kerry dari Partai Demokrat.

Sejarah kemudian membuktikan, George W. Bush kembali terpilih untuk masa jabatan kedua. John Kerry kalah. Bush dianggap presiden yang pas untuk memimpin Perang Irak yang baru berlangsung kurang dari setahun waktu itu. Namun, film Moore tak sepenuhnya bisa dibilang gagal. Filmnya meraih USD 119 juta di AS sebuah rekor tersendiri bagi jenis film dokumenter. “Jika tak ada Fahrenheit 9/11,” kata Moore pada majalah Time edisi 27 Desember 2004, “ dengan perang sedang berlangsung, Bush akan menang telak.”

Nyatanya, di tahun 2004 itu, Bush tak menang telak (Bush meraih suara 50,7 persen, sedang Kerry meraih 48,3 persen). Sedikit banyak hal itu atas kontribusi Michael Moore, sutradara yang terang-terangan mengambil posisi sebagai lawan yang hendak menjegal Bush. Itulah momen saat selebriti ikut berperan aktif dalam politik praktis dalam pilpres. Di AS, sudah jamak seleb mendukung capres pilihannya. Sang seleb biasanya diminta sang kandidat ikut menggalang dana kampanye. Namun, yang khusus membuat film lalu merilisnya ke bioskop agar ditonton khalayak luas rasanya cuma pria tambun yang biasa bertopi baseball itu.

6.Jokowi Mirip Obama

Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 yang didukung gerakan masyarakat termasuk para pesohor mengingatkan kembali pada apa yang terjadi di AS pada 2008 lalu.

Majalah terkemuka Amerika Serikat, Forbes melaporkan kemenangan Jokowi di quick count dengan artikel berjudul "As Indonesian Election Day Approaches, Jokowi Draws Obama Comparisons".

Forbes lebih jauh mengkomparasi kemenangan Jokowi pada Pilpres RI 2014 dengan kemenangan Barack Obama pada Pilpres Amerika Serikat 2008. Ketika itu, Obama menghadapi Mc Cain. Sama seperti Barack Obama, Jokowi merupakan sosok perubahan di Indonesia. Obama baru menjadi senator pada 2005 dan menjadi presiden 2008.Sama seperti Jokowi, yang baru menjabat gubernur pada 2012,”tulis Forbes.

D.Pemilu Berbasis Relawan, sebagai PEOPLE POWER, Paradigma Baru Politik Kita?

Dua pasangan Capres/Cawapres pada Pemilu Presiden 2014 sama-sama mengandalkan relawan sebagai mesin politik meraup dukungan. Walau kedua pasangan sama-sama mengandalkan komunitas relawan, namun yang paling gencar adalah relawan pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kala (Jokowi-JK). Tulisan ini membahas fenomena kemunculan komunitas relawan di kancah politik pilpres, khususnya relawan pengusung Jokowi-JK.

1.Riwayat Singkat  Relawan Jokowi-JK

Banyaknya  komunitas relawan yang mengusung Jokowi-JK disebabkan dua faktor, pertama, eksistensi relawan pendukung Jokowi telah ada dan terbukti mampu menggerakkan pemilih pada saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Pada saat itu partai pengusung pasangan Jokowi-Ahok kalah jumlah dibanding partai pengusung Foke-Nara. Maka kemenangan Jokowi-Ahok pada saat Pilgub DKI Jakarta tidak bisa dipisahkan dengan kehadiran komunitas relawan.

Faktor kedua adalah kehadiran komunitas pendukung Jokowi sebagai Capres sudah bergerak bahkan jauh sebelum pemberian mandat kepada Jokowi sebagai Calon Presiden oleh Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri. Tidak berselang lama setelah Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI, dan setelah menyaksikan kepemimpinan dengan gaya blusukannya Jokowi pun meraup simpati masyarakat luas, termasuk masyarakat Indonesia yang di luar negeri. Untuk mengekspresikan simpati ini lalu muncul grup di media sosial, khususnya facebook, yang mendorong Jokowi untuk tampil sebagai calon Presiden.

Gerakan relawan pendukung Jokowi sebagai Calon Presiden diawali oleh Komunitas relawan di media sosial facebook, salah satu yang paling massif adalah komunitas yang menamakan diri sebagai Grup Jokowi Presidenku (JPK) Komunitas relawan ini semakin mengkristal saat Jokowi diancam mosi tidak percaya oleh DPRD DKI Jakarta terkait kebijakan Kartu Jakarta Sehat. Sehingga kemudian muncul gagasan melaksanakan Kongres Relawan se-Dunia di Bandung pada 15 Juni 2013. Tak lama berselang sebagian dari eksponen yang aktif di Grup Jokowi Presidenku menyelenggarkan temu relawan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung tanggal 15 Juni 2013 dengan tajuk kegiatan Kongres Relawan Jokowi Se-Dunia. Selanjutnya, pasca kongres tersebut sebagian dari Peserta Kongres Relawan Jokowi Se-Dunia membentuk komunitas relawan Barisan Rakyat untuk Jokowi Presiden (Bara JP), J2k Center sebagian lagi membentuk Komunitas Relawan Jokowi Presiden RI (JPRI), sebagian lagi bergiat membentuk komunitas relawan lokal tanpa afiliasi dengan komunitas relawan nasional.

Pertumbuhan relawan untuk pasangan Jokowi-JK pada pilpres 2014 semakin semarak setelah deklarasi pasangan tersebut pada 19 Mei 2014. Komunitas relawan yang terdaftar di tim sukses Jokowi-JK mencapai ratusan. Mungkin ada ratusan lagi yang tidak mendaftar.

2.Kejenuhan Politik

Pemilu 2014 adalah pemilu ke empat di era reformasi. Sedangkan Pilpres 2014 adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang ketiga kali.

Pemilu 2014, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden/Wakil Presiden, diselenggarakan ditengah kejenuhan dan sikap skeptis rakyat terhadap politik.  Hal ini adalah buah dari “parade korupsi” yang terus menghiasi pemberitaan media massa sepanjang periode 2009-2014.  Partai dan elit politik kehilangan pamor, bahkan cenderung dipandang sinis oleh publik.

Tokoh-tokoh gerakan reformasi pun tak luput dari jeratan korupsi. Demikian juga partai politik yang semula bercitra dakwah dan sering menampilkan diri sebagai partai yang bersih, tak urung terjerat korupsi yang melibatkan pimpinan tertingginya.

Selain disuguhi “parade korupsi”, keadaan ekonomi rakyat semakin terpuruk. Harga-harga bahan pokok naik turun secara drastis. Bahkan jengkol pun sempat menjadi komodi yang langka. Demikian juga masalah pendidikan,  tiap tahun menuai kontroversi. Serta isu-isu lain yang tak tuntas ditangani oleh pemerintah.

Di tengah sikap skeptis tersebut, Jokowi-JK tampil sebagai figur yang memberi harapan dengan menggerakkan peran relawan.Pasangan ini mengesampingkan peran partai sebagai mesin politik untuk meraup suara pada Pilpres 2014.Hal ini ditunjukkan dengan mengurangi rapat-rapat umum dan pawai sebagaimana terjadi pada pilpres sebelumnya. Disamping itu, jika ada pengerahan massa dilakukan dengan tidak menghadirkan bendera partai politik pengusung pasangan.

Strategi yang mengedapankan fungsi relawan ini ternyata mampu mendobrak kejenuhan dan sikap apatis massa terhadap politik. Ini dibuktikan dengan ramainya even-even kampanye Jokowi-JK yang diselenggarakn oleh komunitas relawan. Termasuk even yang diselenggarkan secara independen  oleh  artis ibu kota dengan tajuk Revolusi Harmoni. Dengan mengedepankan fungsi relawan, maka rakyat dengan berbagai kreatifitas, gagasan dan harapannya dihadirkan sebagai subjek sekaligus pusat kegiatan politik. Partai dengan atribut dan aktipinya justru hanya menjadi aksesoris. Dengan demikian kejenuhan masyarakat terhadap politik serta sikap apriori terhadap partai berhasil didobrak oleh pasangan Jokowi-JK, sehingga mereka mampu meraih kemenangan yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014 yang lalu.

Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Tim Prabowo-Hatta Rajasa. Pasangan ini  kalah start dalam mengedepankan fungsi relawan. Walaupun pada praktiknya pasangan Prabowo-Hatta, juga melibatkan relawan, namun mereka gagal untuk membangun citra bahwa mereka juga didukung oleh komunitas relawan. Pasangan ini tak bisa menyembunyikan fakta bahwa mereka diusung oleh Partai Politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa aktifitas komunitas-komunitas relawan inilah yang aktif mendorong partai, khususnya PDIP, untuk mengusung Jokowi sebagai calon Presiden pada Pemilu 2014. Faktor kedua yang membuat komunitas relawan pengusung Jokowi-JK lebih semarak adalah karena pernyataan Jokowi sendiri beberapa hari setelah diberi mandat oleh Megawati Soekarnoputri, bahwa ia mengandalkan relawan meraih dukungan masyarakat pemilih. Hal ini tentunya bertitik tolak dari pengalaman Jokowi mengandalkan relawan dalam pertarungan menuju Gubernur DKI pada tahun 2012.

3.Komitmen Jokowi-JK Terhadap Relawan

Pasca ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan pemenang Pilpres 2014 maupun pasca penolakan gugatan Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguatkan kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, Jokowi-JK tetap menempatkan relawan sebagai basis dukungan politiknya. Jokowi maupun Jusuf Kalla dalam pernyataan mereka senantiasa mengingatan relawan untuk tidak bubar pasca pilpres dan mengharapkan relawan menjadi kekuatan yang mengawal program kerja pemerintahan yang akan mereka nakhodai kelak.

Komitmen ini dikuatkan pula secara tak langsung oleh pernyatan Jokowi yang mengharapkan agar dalam kabinet Jokowi-JK kelak tidak diisi oleh  personel yang merangkap jabatan sebagai pengurus partai. Pernyataan ini bukan berarti bahwa Jokowi ingin relawan yang mengisi kabinet, melainkan ini berarti bahwa Jokowi-JK tetap masih ingin menghindari kontaminasi partai dalam penyelenggaraan pemerintahannya kelak. Tentu saja hal ini bukan hal yang mudah karena sudah menjadi tradisi lama dalam prakek politik kita.

Sikap ini sudah mulai direaksi oleh beberapa tokoh partai politik pengusung Jokowi-JK. Ketika tidak tercapai konsensus pada saat penyusunan kabinet kelak, maka tidak mustahil terjadi perlawanan dari partai pendukung yang niscaya akan melemahkan legitimasi formal pemerintahan Jokowi-JK.

Saat kehilangan legitimasi formal dari partai pengusung inilah , peran relawan akan dibutuhkan lagi oleh pemerintahan Jokowi-JK. Untuk itu komitmen Jokowi-JK terhadap perlunya kehadiran relawan saat menjalankan pemerintahan , tentu tak bisa dianggap sebagai basa basi politik semata. Jika komitmen ini tetap terjalin dipraktikkan, dimana relawan dan pemerintahan Jokowi-JK sebagai entitas politik yang tak bisa dipisahkan, maka hal ini akan menghadirkan paradigma baru di kancah politik kita.

Kesukarelaan sebagai basis relasi antara pemilih dengan kandidat atau antara konstituen dengan partai akan menggantikan basis relasi transaksional yang selama ini terjadi. Sehingga dengan demikian esensi demokrasi dapat diemban dalam sistim dan budaya politik kita. Mengedepankan fungsi relawan bukan berarti mengeliminir partai sebagai instrumen sah demokrasi, melainkan mengembalikan partai politik pada jati diri dan fungsi yang sebenarnya sebagai koridor kepentingan rakyat dalam sistem demokrasi.

4.Kesiapan Relawan

Jokowi-JK telah melontarkan komitmen sekaligus tantanganya kepada relawan. Persoalannya kemudian adalah apakah komunitas relawan ini sungguh-sungguh

telah siap mengemban tugas  sebagai basis kekuatan politik yang mampu menopang pemerintahan Jokowi-JK?

Untuk menjawab tantangan ini, maka komunitas-komunita relawan yang terbentuk selama proses pilpres harus mengorganisir diri dan meneguhkan basis nilai kerelawanan dalam tubuh relawan, baik dalam konteks komunitas maupun individuu-individu relawan yang terlibat dalam pemenangan Jokowi-JK. Untuk menjawab tangangan Jokowi-Jk tersebut komunitas relawan perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama: komunitas maupun relawan  individu harus benar-benar mengandalkan prinsip kesukarelawanan. Hal ini berarti eksistensi relawan tidak mengandalkan dukungan logistik dari kelompok kepentingan tertentu, baik dari partai maupun pelaku usaha. Jangan sampai  relawan ditunggangi oleh kepentingan kelompok yang ingin menyandarkan diri dan membebani pemerintahan Jokowi-JK. Kedua: relawan yang selama pilpres merupakan basis komunitas yang cair dan tidak memiliki kohesifitas sebagai sebuah kelompok, harus bisa bermetamorfosa sebagai komunitas yang kohesif, khususnya di tingkat lokal. Basis kohesif di tingkat lokal jauh lebih bermakna dari pada organisasi terstruktur di tingkat nasional tetapi menjadi objek politik dagang sapi para avontur politik di Jakarta.

Ketiga: peran serta relawan yang selama pilpres menempatkan Jokowi-JK sebagai sentrifugal partisipasi politik, harus segera beralih dan menempatkan rakyat sebagai sentrifugal partisipasi kerelawanan. Euphoria pesona Jokowi telah berakhir dengan berkahirnya Pemilu dan MK telah menetapkan pemenangnya. Tugas relawan selanjutnya adalah menghadirkan fenomena kepedulian ala Jokowi di tengah rakyat.

Keberhasilan seorang Jokowi untuk menjadi Presiden tidak terlepas dari dukungan yang diberikan dari berbagai kalangan. Mulai dari pedagang, ibu rumah tangga, akademisi, aktifis sosial, olahragawan  sampai artis. Banyak harapan tertumpu kepada  Presiden Jokowi supaya bisa membawa perubahan yang berarti pada Bangsa Indonesia.  Setiap kepemimpinan pasti pernah melalui ujian, begitu halnya Jokowi. Ujian terbesar bagi Jokowi memasuki 100 hari masa kerjanya adalah Konflik KPK dan Polri, yang diisyaratkan oleh banyak orang sebagai Cicak vs Buaya Jilid 3.

5.Relawan Yang Kecewa dengan Jokowi

Selama sepekan Awesometrics berhasil memantau percakapan mengenai pergerakan isu Jokowi serta konflik KPK dan Polri melalui sudut pandang para pendukungnya. Banyak hal yang menarik  ditemukan, mulai dari kekecewaan terhadap Jokowi sampai pada  kritik konstruktif yang dilancarkan oleh para pendukungnya. Buntut kekecewaan terhadap Presiden Jokowi,Awesometrics menemukan#ShameOnYouJokowi cukup banyak dimention. Awesometrics melakukan pemantauan mulai dari tanggal 21 Januari sampai 28 Januari 2015.  Selama periode pemantauan, Awesometrics berhasil menemukan volume mentionshashtagini sebanyak 3.190 mention, dan puncak aktifitas #ShameOnYOuJokowi pada tanggal 23 Januari 2015.

Munculnya #ShameOnYOuJokowi ini sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap KPK dan kritik terhadap kepemimpinan Jokowi. Kritik terhadap Jokowi tidak hanya muncul dari kelompok oposisi namun juga dari kelompok pendukungnya. Hal ini bisa terlihat dari percakapan masing-masing pendukung Presiden Jokowi di Twitter. Seperti halnya @pandji yang melontarkan kritiknya dengan nada sarkasme. Kritiknya ini mendapat anggukan banyak orang melalui retweet. Berikut most retweet status dari @pandji yang berhasil ditangkap oleh Awesometrics.

Sebagai salah satu pendukung loyal Presiden Jokowi, Pandji Pragiwaksono juga menuangkan kritiknya terhadap Jokowi ke  dalam blog pribadi, yang kemudian disebar luaskan melalui Twitter.  Tulisan dengan judul “Menyesal Memilih Jokowi” ini di retweet sebanyak 65 kali selama 7 hari pemantauan, kendati isinya ternyata berbeda dengan sangkaan kita jika melihat judulnya. Selain itu, @pandji juga mengkritisi gaya komunikasi Menkopulhukam yang mengatakan bahwa “rakyat pendukung KPK ga jelas”. Tidak mau kalah dengan Pandji, Glenn Fredly juga menyuarakan kritik terhadap Jokowi di akun twiter pribadinya. Namun, berbeda dengan @pandji, @GlennFredly mengutarakan kritiknya dengan suara yang lantang, menuntut Presiden terpilih untuk menunaikan janji dalam memberantas Korupsi.

Status @GlennFredly tersebut menjadi yang paling banyak di retweet selama sepekan ini, yaitu 464 kali. Aktifitas @GlennFredly di akun sosial medianya mengingatkan masyarakat Indonesia harus tetap mengawal pemerintah Jokowi. Glenn memberikanstatementyang dituangkan di seri tweet-nya, Jokowi dipilih berdasarkan kemauan rakyat, maka rakyat wajib bersuara apabila Presiden mereka dianggap sudah menyimpang. Demokrasi pada dasarnya merupakanpeople power, maka rakyat berhak mengawal pemerintah. Kritik dengan gaya berbeda juga dilontarkan oleh sutradara terkenal Joko Anwar melalui akun twitter pribadinya @jokoanwar.

Melalui most retweet status yang tersedia di dashboard Awesometrics, terlihat pergerakan status @jokoanwar yang lebih bervariasi dalam menyampaikan kritiknya. Mulai dari dukungan terhadap KPK sampai pada bentuk ketegasan Presiden Jokowi yang tidak setuju dengan konflik yang sedang terjadi antara kedua lembaga Negara tersebut. Menariknya dari akun @jokoanwar, dia juga mengkritisi para anti-Jokowi dengan mengatakan bahwa orang  yang ingin membuktikan bahwa memilih Jokowi itu salah, adalah orang gila. Status ini diretweet sebanyak 130 kali, hal ini sedikit banyak membuktikan bahwa para followers-nya @jokoanwar juga mulai jengah dengan isu yang berkembang di media sosial terkait Jokowi, KPK dan Polri.

Ketiga tokoh publik ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, termasuk pengguna media sosial. Pendapat mereka akan menjadi sumber informasi baru bagi para pendukung maupun dan non pendukung yang kerap dijuluki anti-Jokowi.

(sumber http://www.awesometrics.com/)

E.Muncul Ide Partai Baru “Pro Jokowi”, Apa Kata PDIP?

Plt Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, adanya wacana membentuk partai untuk Joko Widodo (Jokowi) membuktikan adanya proyek besar memisahkan Jokowi dengan Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan. Sebab, saat ini dinilainya terlalu dini berbicara tentang parpol baru untuk Pilpres 2019 “Mereka yang mengkritik bahwa PDIP menekan Jokowi merupakan tuduhan yang tidak mendasar. Dikasih 4 kursi menteri pun kami tidak melakukan protes,” kata Hasto di Jakarta, Selasa, 3 Februari 2015.

Hasto menegaskan, PDIP tetap menjadi kekuatan penopang pemerintahan Jokowi-JK. Menurut dia, Jokowi sedang fokus mengurus pemerintahan sehingga tak memikirkan membentuk atau mendorong lahirnya partai baru.“Wacana partai Pro Jokowi hanya mau memperkeruh suasana seolah-seolah PDIP mendikte Jokowi,” kata Hasto. Kemunculan Jokowi serta figur lain seperti Ganjar Pranowo, kata Hasto, adalah bentuk keberhasilan kaderisasi PDIP melalui pilkada. Ditegaskannya, PDIP lah yang mengusung Jokowi di Pilpres 2014 sehingga selayaknya menjadi partai yang mendukung seluruh kebijakan Pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Trisakti Bung Karno. Bagaimana seharusnya? ‎Kader PDIP diakar rumput tak perlu gelisah atas wacana ini. PDIP sangat meyakini Jokowi adalah kader PDIP yang tak sedetik pun memikirkan wacana membentuk partai baru. Jokowi tidak akan goyah dengan adanya kelompok yang menghembuskan Jokowi butuh partai. Jokowi adalah kader PDIP yang menjadi pemimpin nasional yang otomatis milik seluruh bangsa Indonesia. PDIP tidak mengkuatirkan bilamana Jokowi melakukan dialog dengan tokoh-tokoh partai lain, termasuk yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Sudah sepantasnya, Presiden Jokowi dalam kapasitas sebagai pemimpin nasional melakukannya. Ketua DPP PDI Perjuangan nonaktif yang juga Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,

Puan Maharani, mempersilakan kader partainya, Presiden Joko Widodo, jika ingin membuat partai baru. "(Membentuk partai) itu hak politik tiap warga negara," kata Puan di Kompleks Parlemen, Selasa, 3 Februari 2015.Hingga kini, Puan menilai Jokowi adalah kader sekaligus petugas partai. "Kalau ada massa dan nama partainya lalu disahkan pemerintah, ya, boleh-boleh saja. Tapi, sampai saat ini, Pak Jokowi masih kader PDIP dan petugas partai," ujar anak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri itu.
Sebelumnya, organisasi masyarakat pendukung Jokowi saat pemilihan presiden lalu, Pro-Jokowi (Projo), dikabarkan siap menjadi partai baru. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Projo Solo Sugeng Setyadi mengatakan transformasi itu harus seizin Dewan Pembina Projo yang juga Presiden RI, Joko Widodo. "Projo tetap konsisten mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya," ujar Sugeng. Adanya wacana mengubah entitas Projo dari ormas menjadi partai diakui Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Projo Budie Arie Setiadi. Ia mengakui bahwa sejumlah anggota di daerah ingin Projo bermetamorfosis menjadi partai. "Ada banyak cabang yang meminta itu," tutur Budie kepadaTempo, Selasa, 3 Februari 2015.

Menurut Budie, permintaan mereka itu merupakan reaksi dari tekanan partai kepada Joko Widodo dalam menentukan Kepala Polri yang baru. Emosi anggota Projo semakin tinggi ketika calon Kapolri pilihan partai pengusung resmi dijadikan tersangka kasus dugaan kepemilikan rekening gendut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Budie menjelaskan, sampai saat ini, tak ada niat Projo bertransformasi menjadi partai. Namun Budie tak menampik kemungkinan Projo bakal berubah menjadi parpol. "Tak ada yang tak mungkin di Indonesia. Tukang kayu saja bisa jadi presiden, kok," ujarnya. "Soal berubah jadi partai, biarlah Projo mengalir menjemput sejarahnya sendiri."Relawan Jokowi pun angkat bicara terkait gonjang-ganjing perkembangan politik akhir-akhir ini. Mereka adalah relawan-relawan Jokowi semasa Pilpres 2014 lalu. Seperti Rela-RI, Seknas Muda Jokowi, KPP Jokowi, Sekber Partisipasi Indonesia yang kemudian bergabung menamakan diri Gabungan Relawan Indonesia.Relawan-relawan itu bersatu dan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersikap tegas. "Dengan segala kekuasan dan wewenangnya (Jokowi) untuk mengambil tindakan-tindakan tegas," ujar ketua Rela-RI, Joko Setiyanto dalam konfrensi pers di seketariat Rela-RI jalan Kayu Putih Raya No 23, Jakarta Timur, Kamis (5/2/2015).

Mereka mendesak Presiden untuk segera menghentikan perseteruan antara Polri dan KPK. Presiden juga diminta mendorong semua lembaga penegak hukum bekerja sesuai prinsip berdasarkan intergeritas, Etika, dan Moral. "Kami juga meminta politikus dan siapapun untuk tidak memberikan pernyataan yang memperkeruh situasi. Kami juga meminta Kapolri yang bersih dan bebas dari persoalan hukum dan mendorong lembaga KPK untuk bersih dari kepentingan politik," kata Joko. Dalam kesempatan ini, Joko menjelaskan alasan menyatukan kembali relawan Jokowi yang terpecah pasca pilpres lalu. Salah satu alasan adalah untuk menunjukkan bahwa relawan masih setia dukung Jokowi menjalankan nawa cita. "Kami masih mendukung Jokowi jalankan program nawa cita, jika dia salah kita koreksi, ketika dikoreksi masih tidak membenahi maka kami akan mengambil tindakan," tuturnya.

Ia mengatakan meminta Jokowi menjalankan pemerintah sesuai janji kampanye lalu. Jokowi diminta mendahulukan prinsip kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat. "Bukan pada kepentingan golongan atau elite politik tertentu saja,"

Jokowi Hanya Diam Ketika Relawan Tanya soal Dirikan Partai

Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya diam dan mengalihkan pembicaraan, ketika Barisan Relawan Jokowi Presiden (BaraJP) menanyakan apakah Jokowi mempunyai sikap tertentu apabila Relawan Jokowi atau BaraJP mendirikan partai.

"Daripada berutang kepada partai politik (parpol), lebih baik Pak Jokowi berutang kepada rakyat. Karena itulah BaraJP menjadi organisasi masyarakat (ormas) resmi, bila perlu menjadi partai," ungkap Ketua Umum BaraJP Sihol Manullang, di Jakarta Selasa (3/2). Sihol mengatakan hal itu kepada Jokowi di Balaikota, tanggal 7 Agustus 2014. Juga waktu mengundang Jokowi membuka Kongres BaraJP di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, 13-15 Agustus 2014. Meskipun Jokowi tidak menanggapi bahkan mengalihkan pembicaraan, Sihol mengatakan, berutang kepada rakyat lebih bagus ketimbang kepada parpol. Utang kepada rakyat adalah soal masa depan, sedang utang kepada parpol cenderung soal kursi dan jabatan. Ketika berbicara dalam Kongres Bara JP, Jokowi menegaskan relawan jangan membubarkan diri. "Ini baru mulai, kok malah bubar. Kalau saya minta ada satu juta relawan, kita harus siap. Kalau saya minta 500.000, juga siap," jelasnya. Tatkala Jokowi mengundang BaraJP ke Istana Kamis 20 November 2014, kembali ditegaskan supaya relawan tetap mengkonsolidasikan diri, untuk mendukung program pemerintah. Seperti pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM), relawan perlu membantu mensosialisasikan kepada masyarakat.

Begitu membaca judul ini mungkin ada yang bertanya mengapa berharap demikian. Apa alasannya sehingga diharapkan tidak ada partai baru yang didirikan para relawan/pendukung Jokowi. Berikut ini ada beberapa alasan.

Alasan pertama:

kebanyakan relawan bukan orang-orang yang terbiasa berorganisasi politik. Apakah mereka bisa berpolitik? Mungkin hanya sebagian kecil saja dari para relawan yang terbiasa berpolitik. Dengan semangat besar, mungkin saja mereka bisa dengan cepat belajar berpolitik. Sehingga hal ini bukan masalah bagi mereka.Lalu, apakah mereka terbiasa berorganisasi? Mungkin juga hanya sebagian kecil relawan telah terbiasa berorganisasi. Barangkali, relawan yang terbiasa berorganisasi ini yang bisa menjadi motor penggerak organisasi partai baru.

Namun, apakah sebaran mereka cukup merata di Indonesia. Jangan-jangan terkonsentrasi di beberapa wilayah saja. Di Solo, sudah terdengar berita kelompok Projo (Pro Jokowi) yang matang dalam organisai mereka. Mungkin saja mereka termasuk sedikit kelompok relawan Jokowi yang siap bertransformasi menjadi partai politik.

Nah yang mungkin belum disadari oleh kebanyakan relawan adalah berorganisasi politik itu berbeda dari berorganisasi untuk tujuan sosial. Untuk tujuan sosial, berorganisasi relatif lebih stabil. Gejolak internal kurang begitu keras. Tetapi, organisasi politik lebih dinamis dan lebih bergejolak. Apalagi kalau sudah terjadi intrik-intrik yang memanas. Ketua Umum DPP Projo atau organisasi masyarakat pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Budi Arie Setiadi mengungkapkan bahwa saat ini terdapat wacana untuk membentuk partai politik baru yang sudah mulai disuarakan para pemilih Jokowi.

Dan menurutnya, jika partai baru tersebut terbentuk, maka tidak dapat dihindarkan akan terjadi eksodus atau pindah secara besar-besaran yang dilakukan sejumlah politisi ke partai pendukung Jokowi. "Ini suara dari DPC Projo di Solo. Ya mereka meminta presiden untuk membentuk partai baru. Dan saya yakin kalau ini terjadi maka akan ada eksodus besar-besaran," ujar Budi Arie Setiadi usai diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (7/2/2015).

Budi menilai wajar para pendukung Jokowi tersebut bersikap demikian. Hal ini lantaran, sebagai pihak yang sejak awal mendukung Gubernur DKI Jakarta itu menjadi presiden, masyarakat Solo marah melihat sikap yang ditunjukan sejumlah parpol terhadap Jokowi."Ya mungkin kan melihat orang Solo mereka sangat menyayangi presidenya. Sehingga kalau presidenya diginikan marah juga. Ya kita kan menghormati aspirasi teman-teman di daerah," tutur dia. Namun, wacana pembentukan partai baru ini seperti tidak akan terjadi dalam waktu dekat."Ya tergantung rakyat dong. Kita tidak ada arahan setelah dinamika rakyat. Ini masih jauh, membuat partai itu tidak gampang, bukan membuat martabak, membuat partai itu tanggung jawabnya berat tanya saja yang sudh bikin Parti NasDem," pungkas Budi.

Sebelumnya Pelaksana Tugas (Plt) Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa Jokowi tetap bagian PDIP. Dia juga menegaskan PDIP yang mengusung Jokowi pada Pilpres 2014 lalu, tetap menjadi kekuatan penopang pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)."Mereka yang mengkritik bahwa PDIP menekan Jokowi, merupakan tuduhan yang tidak mendasar. Dikasih 4 kursi menteri pun kami tidak melakukan protes," kata Hasto.

"Pak Jokowisedang fokus mengurus pemerintahan. Tak memikirkan membentuk atau mendorong lahirnya partai baru. Wacana partai Pro Jokowi hanya mau memperkeruh suasana seolah-seolah PDIP mendikte Jokowi," imbuh dia

F.6 Pernyataan Bersama Relawan untuk 100 Hari Jokowi-JK

Sejumlah organisasi relawan yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Partisipasi Indonesia menyampaikan 6 hal.

"Pertama, mereka tetap solid mendukung penuh Presiden Jokowi. Adanya berita mengenai relawan yang menarik dukungan dan menyalahkan Presiden akhir-akhir ini tidak merepresentasikan kami," demikain keterangan tertulis dari Sekretariat Bersama Partisipasi Indonesia, Kamis (29/1/2015). Mereka mengaku tidak mengenal nama-nama organisasi dan tokoh relawanyang menarik dukungan itu semasa kamanye pemenangan Pilpres 2014, kecuali Relawan 'Salam Dua Jari'. Sampai sekarang ini, mereka tetap percaya Presiden Joko Widodo memegang teguh janjinya, walau belum semua janjinya terpenuhi karena pemerintahan baru berjalan 100 hari.

Kedua mereka menyatakan, keberhasilan Presiden Jokowi tidak bisa dinilai hanya dalam 100 hari. Justru dalam 100 hari pertama ini pemerintah masih sibuk melakukan persiapan dan membenahi pemerintahan, yang merupakan warisan buruk dari pemerintahan sebelumnya.


"Selain itu, Kabinet Kerja tidak memiliki program 100 hari melainkan program 'quick wins'. Namun, tidak ada salahnya mengevaluasi jalannya pemerintahan 100 hari pertama. Tetapi, kami harap evaluasi 100 hari dilakukan secara objektif dan mengupas berbagai aspek, tidak hanya pada masalah pemilihan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) dan penyelesaian konflik antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," sebut keterangan tersebut.

Ketiga, khusus dalam kasus pemilihan Kapolri, Sekber Partisipan Indonesia mengapresiasi dan mendukung penuh langkah-langkah yang diambil Presiden. Presiden telah menjalankan prosedur dan ketentuan dengan benar dan bijak. "Kami menilai Presiden Jokowi dengan bijak menunda pelantikan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sampai masalah hukum yang menimpanya selesai. Presiden juga telah membentuk Tim Independen yang terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibel untuk penyelesaian masalah Polri melawan KPK, termasuk mengevaluasi pencalonan Komjen Budi Gunawan." Mereka menilai, Jokowi dengan bijak menahan diri untuk tidak mengintervensi proses hukum yang menimpa Komjen Budi Gunawan maupun pimpinan KPK, karena sadar Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Sikap Jokowi menurut mereka bukan berarti tidak tegas atau tidak mendukung pemberantasan korupsi. Jokowi adalah orang bersih dan komitmen beliau dalam pemberantasan korupsi tak diragukan lagi, namun pemberantasan korupsi itu didasarkan pada rule of law. "Selain itu, kami mendukung langkah Presiden untuk menguatkan KPK agar semakin efektif dalam memberantas korupsi dan menguatkan polisi sebagai institusi penegak hukum dan keamanan masyarakat." Kata para relawan Jokowi.

Keempat, mereka juga mendukung sepenuhnya apabila Jokowi hendak mengevaluasi kinerja kabinet demi terwujudnya nawacita. Kinerja pembantu presiden sangat penting bagai suksesnya program-program pemerintah. Selain itu, menyatakan, untuk mewujudkan nawacita harus didukung oleh anggota kabinet dengan bekerja keras dan berkemampuan tinggi. "Kami memohon Presiden, Wakil Presiden dan para anggota Kabinet Kerja tetap fokus melayani rakyat demi terwujudnya Nawacita tanpa terpengaruh tekanan-tekanan politik," sambung pernyataan itu.

Kelima, mereka mendukung penuh sikap mandiri Jokowi yang dengan  santun dan rendah hati menolak tekanan dan intervensi dari siapapun. Mereka percaya Jokowi selalu bersikap tegas dan mandiri, dengan cara-cara halus dan santun yang menjadi ciri khas beliau. "Kami tahu, tegas tidak berarti sok kuasa dan unjuk kekuatan. Kami selalu siap berada di belakang Presiden jika ada kekuatan manapun yang berusaha menekan Presiden dengan berbagai cara agar Presiden melenceng dari nawacita."

Ke enam, mereka mendukung pemikiran Jokowi untuk menguatkan partisipasi publik dalam menjalankan pembangunan nasional. Pemerintah saat ini sangat terbuka terhadap masyarakat sipil dan membuka ruang partisipasi publik lebih yang luas. Dengan partisipasi masyarakat sipil yang lebih kuat, mereka yakin, pencapaian nawacita akan lebih mudah. Ruang partisipasi publik perlu dimanfaatkan untuk mempercepat terwujudnya nawacita, bukan untuk menekan pemerintah agar mengikuti agenda-agenda di luar nawacita. "Demikian pernyataan ini kami buat sebagai dukungan kepada Presiden dalam menjalankan amanat rakyat. Jangan biarkan Presiden berjalan sendirian, terutama di saat menghadapi badai yang menerpa!" Sekretariat Bersama Partisipasi Indonesia terdiri dari Projo, Seknas Jokowi, DutaJokowi, Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB), Pusat Informasi Relawan (PIR), Jaringan Nasional Indonesia Baru (JNIB), dan Jokowi Mania. (Rmn), J2K Centre( J2K Centre ).

Alasan yang juga mungkin belum disadari banyak relawan Jokowi adalah kalau partai mereka siap berdiri dan dilegalkan secara resmi kemudian diresmikan, pada kenyataannya baru tahun 2019 bisa aktif dalam kegiatan politik nasional untuk tujuan pencalonan kembali Jokowi sebagai Presiden RI. Sementara sampai 2019, partai baru itu belum bisa berbuat apa-apa dalam kancah perpolitikan di DPR. Kecuali tentu saja menjadi pressure group yang mendukung Jokowi dan menekan lawan politik. Tetapi, akhirnya kalau situasinya seperti ini menjadi runyam bukan?! Hal seperti ini jauh karakter Jokowi. Lagipula, dukungan masyarakat pendukung Jokowi bisa melalui dukungan dalam wujud lain, selain pembentukan partai. Menjadi pressure group tanpa harus membentuk partai. Atau, sebagaimana gagasan yang bermunculan, bisa saja para relawan Jokowi membentuk organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan memilih topik tertentu sebagai misi perjuangan mereka.

Alasan kedua:

Sejarah dan perkembangan Partai Demokrat (PD) seyogianya menjadi pelajaran untuk tidak mendirikan partai demi mendukung seseorang tokoh. PD sengaja didirikan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar ada kendaraan yang membawanya memasuki dunia politik dan mengikuti Pilpres. Jokowi saat ini sudah menjadi Presiden, jadi tidak perlu memiliki kendaraan sendiri untuk mengikuti Pilpres.

Dalam pendiriannya, PD banyak merekrut tokoh-tokoh politik dari partai-partai lain dan tokoh-tokoh nonpartai. SBY memiliki clout (power dan pengaruh) terhadap kelompok militer dan sebagian kalangan. Sedangkan Jokowi memiliki clout terhadap kelompok pengusaha dan para relawan. Tetapi, bedanya adalah kaum militer yang sudah terjun ke politik karena sudah pensiun yang berarti sudah senior, sementara clout Jokowi pada pengusaha bukan pada pengusaha senior—karena keterikatan emosional mereka dengan partai-partai lama. Mungkin kebanyakan para relawan yang siap membantu pendirian partainya Jokowi adalah kalangan muda, di bawah 45 tahun. Kelompok dalam kepengurusan partai baru bakal sangat dinamis yang mungkin bagus dan kompak di awal tetapi rawan konflik setelah partai berjalan. Apalagi kalau sampai menampung “kutu loncat” dari partai lain. Konflik semakin besar kemungkinannya terjadi.

Secara umum, kaderisasi partai-partai yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat umum masih minim keberhasilannya dibandingkan usia partai-partainya. Ini dapat berdampak pada partai baru pendukung Jokowi. Mereka yang jadi pengurus di sini tak punya referensi nyata dari tokoh-tokoh partai yang patut ditimba ilmu mereka dalam berpolitik. Malah sebaliknya, mereka akan meniru sisi buruk senior mereka dalam berpartai. Karena itulah cara berpolitik elit yang sekarang bisa jadi merupakan referensi mereka. Sejarah berdirinya PD sangat erat dengan penokohan (pengidolaan) SBY. Sehingga ketika SBY turun jabatan terlihat sekali jurang antara SBY dan tokoh-tokoh lain di dalam PD. Jurang atau jarak yang jauh antara SBY dan tokoh terdekat di bawahnya membuat PD kesulitan mencari figur pengganti menjadi Ketua Umum yang bermasalah sampai SBY sendiri turun menjadi Ketua Umum.

Apakah Jokowi akan membiarkan partai baru itu berdiri tetapi belakangan akan mengalami nasib serupa? Begitu masa jabatannya sebagai Presiden di masa kedua selesai (diandaikan dia terpilih lagi di periode kedua) maka masyarakat pun tidak punya calon lain yang dianggap pantas meneruskan estafet kepemimpinan. Kecuali satu, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Tetapi, penunjukannya sebagai orang kedua dalam partai baru bakal menimbulkan gonjang-ganjing yang amat besar, yaitu berupa tekanan keras dari partai-partai yang ada. Mereka tak ingin Jokoti berduet dengan BTP. Dan kalau sampai tanda-tanda ini muncul, maka jangan-jangan upaya-upaya penggagalan seperti halnya penggagalan terhadap KPK yang men-tersangka-kan Komjen BG bakal terulang. Mungkin tidak sulit membayangkan bagaimana serunya upaya menggagalkan duet ini.

Alasan ketiga:

Semestinya para relawan atau pendukung Jokowi menyadari motivasi dalam mendirikan partai politik atau motivasi dalam berpolitik. Seperti novel Animal Farm bercerita, sebuah rezim baru memimpin menggantikan rezim lama dan terlihat lebih bersih dari rezim lama. Tetapi selang beberapa waktu, rezim baru ini pun ternyata sama saja dengan rezim yang mereka gantikan.

Sebagian orang berpolitik karena hendak mencari nafkah. Sedangkan sebagian lainnya berpolitik karena benar-benar ingin memperjuangkan kemajuan bangsa. Nah seberapa banyak mereka yang berpolitik untuk mencari nafkah dan seberapa banyak yang berpolitik untuk berjuang? Pada awalnya, tidak terlihat siapa yang bermotif untuk cari nafkah dan siapa yang bermotif untuk berjuang. Waktu setahun cukuplah untuk mengetahui pada akhirnya siapa bermotif apa. Dan kalau timbul kekecewaan pada aktivis yang bermotif berjuang lalu memutuskan mundur, sayang bukan?! Waktu satu tahun (atau malah lebih) disia-siakan di organisasi partai.

Alasan keempat:

Pendirian partai untuk mendukung Jokowi saat ini terlihat lebih karena sikap reaktif sebagian orang, bukan karena perencanaan matang. Pendirian partai karena keputusan reaktif bakal menimbulkan kekecewaan. Tidak perlu menunggu 2019 untuk merasakan kekecewaan itu. Walaupun mungkin buat sebagian aktivis partai baru , akan merasa kecewa setelah musim Pilpres 2019 berakhir.

Alasan kelima:

berjuang untuk kemajuan bangsa tidak harus melalui partai politik. Judul sebuah artikel di sebuah harian Ibukota di suatu hari di bulan Januari, “Politik Yes, Parpol No?” sebuah pernyataan: Politik Yes, Parpol No. Masyarakat yang tak berpartai bisa tetap berpolitik dengan menyuarakan diluar pemilu dan pilpres, masyarakat bisa menyalurkan suara mereka melalui media cetak, media elektronik, dan media sosial. Mobilisasi untuk terjun ke jalan sebagai unjuk rasa terbukti bisa dilakukan, tanpa bantuan partai. Mobilisasi untuk pemilihan di suatu wilayah atau bahkan secara nasional terbukti bisadilakukan.sebagian masyarakat punya pilihan lain untuk Presiden mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun