Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Praktisi rantai suplai dan pengadaan industri hulu migas Indonesia_______________________________________ One of Best Perwira Ksatriya (Agent of Change) Subholding Gas 2023____________________________________________ Praktisi Mengajar Kemendikbudristek 2022____________________________________________ Juara 3 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Umum Tingkat Nasional SKK Migas 2021___________________________________________ Pembicara pengembangan diri, karier, rantai suplai hulu migas, TKDN, di berbagai forum dan kampus_________________________________________ *semua tulisan adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Berhenti Menulis di Kompasiana Meski (Mungkin) Tulisan Kalian Dianggap Picisan

16 Agustus 2021   20:19 Diperbarui: 16 Agustus 2021   20:54 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: lektur.id

Saya mau ketawa dulu sebelum  menuliskan panjang lebar tentang hal serius ini "Hahaha,"  karena saya dititipi pesan untuk santai dalam merespon hehehe.

Mungkin bisa dianggap humor setelah saya menulis kata "Hahaha" oleh para pembaca kompasiana.

Oh ya tulisan ini saya dedikasikan untuk semua kompasianer dan siapa pun yang melihat fenomena kritik dan humor bisa jadi arena perisakan secara virtual secara tidak kasat mata, bahkan mengarah kepada tindakan "merendahkan." 

Pernahkah kita merasa direndahkan hanya karena satu kalimat dan satu ekspresi dari rekan ataupun kolega kita?

Pernahkah kita merasa sakit hati hanya karena salah kaprah atas komentar seseorang di media sosial?

Atau mungkin kita benar-benar pernah dirisak oleh lingkungan kita secara fisik dan psikis sehingga menimbulkan trauma dalam diri kita?

Hal ekstrem bahkan ada sejumlah orang bahkan artis di Korea Selatan yang bunuh diri karena menanggung beban akibat risakan secara virtual oleh para pembencinya, padahal hal tersebut bagi sebagian orang hanya berbentuk "komentar pedas."

Lalu bagaimana dengan platform rumah besar kita bersama yaitu Kompasiana?

Ehm rona-ronanya mulai bermunculan berbagai artikel yang diklaim "humor" dan "kritik", namun terkadang secara implisit menyerang pribadi atau tulisan seseorang dengan alasan idealisme dan kepakaran.

Bedakan Kritik dan Risakan

Ilustrasi. Sumber: youtube.com/Theta Omega TV
Ilustrasi. Sumber: youtube.com/Theta Omega TV

Mungkin banyak yang tahu di Kompasiana akhir-akhir ini lagi hangat menjadi pembahasan berbagai artikel saling sindir ataupun kritik terhadap berbagai hal baik terkait kualitas tulisan, K-reward yang tak kunjung kelihatan hilalnya, gaya penulisan, bahkan mungkin lebih parah saling menyindir pribadi masing-masing Kompasianer.

Saya melihat kritik sah-sah saja jika disampaikan berfokus pada perilaku bukan pribadi seseorang termasuk kualitas tulisan, namun kita juga harus sadar bahwa kritik yang disampaikan dalam uraian artikel bukanlah ditujukan untuk merendahkan derajat seseorang, menghina pribadi dan karyanya, mencaci maki, dan lain sebagainya.

Please jangan, jangan karena merasa tinggi, senior, lebih dahulu menjadi kompasiener, dedengkot, penghuni tetap Kompasiana sehingga kita menjadi hilang arah tak dapat menyampaikan kritik secara proporsional.

Kritik secara berulang, terus menerus, terhadap hal yang tidak dapat dikontrol dan justru tidak menyalahi aturan, namun karena berbeda dengan idealisme pribadi, lalu hilang fokus sampai bernada merendahkan, bahkan meski dibungkus dalih humor, tentu tak elok dan bijak dipraktikkan.

Saya membayangkan jika karena kritik yang tak tepat penempatan dan pendekatannya justru memupuskan semangat orang lain untuk menulis kembali, padahal orang tersebut memiliki potensi dan keunikan sendiri tetapi karena risakan dan kritik yang tidak proporsional akhirnya mereka keluar dan berhenti menulis.

Sungguh orang yang mengkritik tanpa penempatan dan pendekatan yang benar tersebut zalim dan sombong, tak peduli siapa pun dan gelar apa pun yang disandangnya.

Kompasiana adalah Tempat Belajar Berjamaah Bukan Les Privat

Ilsutrasi. Sumber: kompasiana.com
Ilsutrasi. Sumber: kompasiana.com

Jika sebagian pihak mengatakan kompasianaa adalah tempat tulisan yang dalam, berat, eksklusif untuk para dedengkot, dengan sumber dan rujukan sahih, aduh punten sepertinya Anda salah alamat.

Saya kutip penjelasan tentang kompasiana dari laman kompasiana sendiri.

Kompasiana adalah sebuah platform blog dan publikasi online yang dikembangkan oleh Kompas Cyber Media sejak 22 Oktober 2008. Setiap konten (artikel, foto, komentar) dibuat dan ditayangkan langsung oleh Pengguna Internet yang telah memiliki Akun Kompasiana (disebut Kompasianer).

Di tahun pertama kehadirannya, Kompasiana dibangun sebagai blog jejaring internal untuk jurnalis dan karyawan Kompas Gramedia. Memasuki tahun 2009, produk ini bertransformasi menjadi platform blog untuk semua orang. Nama Kompasiana sendiri diambil dari nama kolom yang diisi oleh Pendiri Harian Kompas, PK Ojong.

Dulu mungkin sebelum bertransformasi Kompasiana ditujukan untuk para jurnalis dan karyawan Kompas Gramedia yang notabene punya kemampuan jurnalisme sehingga jika tulisan tersebut tidak "dalam" menurut perspektif umum jurnalisme serta terkesan "shallow/dangkal" mengabaikan kaidah jurnalisme bisa saja diprotes dan dikritik secara terbuka, terus menerus jadi guyonan pun tak mengapa lha wong para jurnalis yang menulis.

Tetapi sekarang Kompasiana telah  berubah menjadi platform blog bagi semua orang dari berbagai latar belakang strata sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Mayoritas dari mereka justru bukan berasal dari dunia jurnalisme; mereka adalah orang-orang yang punya ketertarikan pada dunia tulis menulis; mereka adalah orang-orang yang diminta menulis oleh dosennya demi nilai kuliah daring; mereka adalah ibu rumah tangga yang mengusir kebosanan selama di rumah;  mereka adalah orang-orang yang ingin menyampaikan buah pemikirannya secara tertulis; mereka adalah orang-orang yang mencari cuan mengumpulkan poin-poin K-Reward untuk mendanai sekolah atau menambah uang jajannya.

Jadi menjadi ambigu ketika kita memaksakan standar kualitas jurnalisme dan isu tertentu sesuai isi kepala kita sembari menyenggol-nyenggol para penulis lainnya dengan nada humor yang mungkin tidak lucu bagi sebagian penulis. Ingat Kompasiana ini tempat belajar berjamaah bukan tempat eksklusif sejumput orang layaknya les privat.

Bukan ini bukan perkara kritik mengkritiknya tetapi caranya. Mengapa harus menyinggung tulisan tentang anime yang ramai pembacanya padahal tidak ada satupun aturan yang dia langgar. Mengapa pula harus menyatakan kompasiana seperti terdegradasi kualitasnya hanya karena dipenuhi tips and trick dan kiat-kiat lainnya padahal bernilai manfaat dibandingkan hanya ujaran kebencian yang dibungkus humor atau apalah itu namanya.

Kesannya hanya repetisi, kualitas rendah dan dangkal? Oh belum tentu Ferguso!

Rumah besar ini adalah media para penulis amatiran untuk belajar bertransformasi dan berkembang. Pun jika tulisan yang dianggap picisan tersebut menjadi Artikel Utama.

Please Anda jangan iri...jangan jangan iri..jangan iri dengki! (sambil bernyanyi)

Hak prerogratif admin Kompasiana menyematkan titel tersebut pada artikel-artikel tertentu yang terpilih, karena admin K pasti punya alasannya sendiri entah karena tulisannya bermanfaat, mudah dibaca, mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sekali lagi Kompasiana bukan platform untuk jurnalis kelas kakap, karena pastilah penulis kelas kakap dengan kajian yang mendalam mungkin menulisa di berbagai kanal yang utama dan media-media arus utama.

Jikapun kita tidak setuju ya silakan keluar membuat platform sendiri diluar Kompasiana dimana standar idealisme kita bisa kita paksakan.

Benar saya setuju tidak ada yang sempurna termasuk admin K dan saya sendiri pastinya, mungkin terkadang kita melihat suatu tulisan yang bernas tetapi hanya menjadi pilihan alih-alih tulisan yang acak kadut menjadi artikel utama, tetapi sekali lagi ada nilai yang tak tertangkap mata dan pikiran kita mungkin dalam artikel-artikel tersebut sehingga pantas menjadi artikel utama.

Jika pun Anda tidak senang ya sila membuat tulisan yang lebih baik terus berusaha agar dapat menyandang artikel utama entah itu tulisan yang dalam dan berat pembahasannya atau ya sekadar berbagai informasi yang mungkin receh tapi bermanfaat bagi pembacanya.

Satu lagi yang ingin saya bahas terkait jumlah view. Saya bingung sebenarnya harus menyalahkan siapa jika view artikel seseorang tinggi entah karena kontroversi yang penulis tuangkan dalam tulisan atau karena tulisan tersebut bernilai manfaat.

Ah saya masih mengingat momen-momen rekan-rekan kompasianer saya mengucapkan terima kasih karena tips and trik yang saya sampaikan bermanfaat bahkan dipraktikan dalm kehidupan sehari-harinya. Ah saya juga senang artikel saya yang membahas politik dan tema kekinian menjadi inspirasi bagi lainnya untuk menulis. Alhamdulillah bahkan ada rekan saya di media sosial yang terkadang menuliskan pesan kapan saya menulis artikel baru untuk dia baca dan bertukar pikiran terhadap tema yang saya tuliskan.

Sila jika ada yang menganggap pernyataan saya selanjutnya ini berlebihan, tapi benar merendahkan karya orang lain adalah bentuk pengkerdilan proses buah dari kesombongan.

Pengakhiran saya ingin menyampaikan pesan kepada seluruh kompasianer untuk jangan berhenti menulis, tuliskan apa yang kalian suka, tuliskan apa yang ada di pikiranmu, jangan fokus kepada sebagian oknum yang hanya berdelik dibalik pamor kualitas tulisan, senioritas, tingginya angka keterbacaan dan lain sebagainya, tetapi ingat kita di rumah besar Kompasiana ini tidak anti untuk mengkritik dan dikritik jika untuk kebaikan dengan cara yang tepat bukan merendahkan pastinya.

Selamat menulis!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun