Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Life Hack Artikel Utama FEATURED

5 Hal yang Perlu Kita Pelajari dari Jepang dalam Menghadapi Bencana Gempa

15 Februari 2021   07:29 Diperbarui: 17 Maret 2022   21:40 3015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi beberapa temapat di Jepang setelah dilanda gempa bumi berskala 7.3 magnitude pada Sabtu malam (13/02/2021) waktu setempat. Sumber: Associated Press

Sekali lagi Jepang membuktikan dirinya sebagai bangsa yang tangguh dan siap untuk menghadapi berbagai bencana alam terutama gempa bumi. Ketika dilanda gempa bumi berkekuatan 7.3 Magnitudo di daerah Fukushima dan terasa sampai Tokyo pada sabtu tengah malam (13/02/2021) waktu setempat, dilaporkan oleh NHK dan juga dalam siaran pers Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga tidak ada sama sekali korban jiwa jatuh, hanya ratusan warga yang luka-luka akibat tertimpa material bangunan dan terjatuh. Mengingat skala gempa tentu tidak adanya korban jiwa adalah sebuah keistimewaan.

Lebih jauh kerusakan fisik bangunan atau fasilitas umum yang sangat parah hampir tidak ditemukan, hanya di beberapa lokasi disiarkan media setempat terjadi longsor di jalan raya serta sejumlah rumah warga yang mengalami kerusakan dan listrik sempat padam selama setidaknya 2,5 jam.

Kondisi beberapa temapat di Jepang setelah dilanda gempa bumi berskala 7.3 magnitude pada Sabtu malam (13/02/2021) waktu setempat. Sumber: Associated Press
Kondisi beberapa temapat di Jepang setelah dilanda gempa bumi berskala 7.3 magnitude pada Sabtu malam (13/02/2021) waktu setempat. Sumber: Associated Press
Kerusakan yang paling mengkhawatirkan tentu adalah kerusakan PLTN yang berada di Fukushima seperti pada 2011 lalu. Namun, kali ini fasilitas pembangkit nuklir tersebut aman dan beroperasi seperti biasa, meski skala gempa bumi cukup besar dan diduga kuat adalah lanjutan dari gempa bumi dengan tsunami pada 2011 lalu.

Fakta tidak adanya korban jiwa ini perlu menjadi pembelajaran bagi Indonesia yang sama-sama berada di area rawan bencana terutama gempa bumi, dan dikelilingi jalur api (ring of fire).

Setidaknya ada 5 hal yang Indonesia perlu pelajari dari Jepang dalam menghadapi bencana alam terutama gempa bumi, yaitu

Pertama adalah Kesiapsiagaan, Kesadaran dan Disiplin Masyarakat yang Tinggi

Pelatihan simulasi gempa di salah satu sekolah di Jepang (Sumber: geografic.com)
Pelatihan simulasi gempa di salah satu sekolah di Jepang (Sumber: geografic.com)
Tidak dipungkiri masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang disiplin dan taat pada aturan, tak terkecuali dalam hal kesiapsiagaan terhadap bencana alam khususnya gempa bumi dan tsunami.

Masyarakat Jepang telah diajari sejak dini untuk menghadapi berbagai jenis bencana alam terutama gempa bumi yang melanda Jepang setidaknya 5000 kali per tahunnya. 

Simulasi berbagai bencana alam, semisal gempa dan tsunami bahkan masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah di Jepang dan rutin dilakukan tiap tahunnya. Hal ini juga yang membuat rakyat Jepang sangat paham bagaimana merespon gempa bumi jika sewaktu-waktu terjadi.

Mereka sangat fasih untuk melindungi diri mereka ketika gempa terjadi, bagaimana menyelamatkan diri dari reruntuhan gedung jika gempa terjadi, bagaimana mencari rute dan tempat evakuasi, serta bagaimana untuk bertahan hidup ketika gempa bumi terjadi.

Bandingkan dengan yang ada di Indonesia, sangat sedikit sekolah-sekolah yang melakukan simulasi bencana alam terutama gempa bumi khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah rawan gempa.

Di sisi lain, kepedulian dan ketertiban warga kita masih kalah jauh dengan masyarakat Jepang, entah karena kurangnya kepedulian atau pun bantuan dan dukungan pemerintah terhadap kesiapaigaan bencana alam khususnya gempa bumi. 

Silahkan cek saja di sekolah atau tempat kerja kita masing-masing apakah rutin atau pernah dilakukan simulasi gempa bumi setidaknya setahun sekali?

Alih-alih melindungi kepala atau pun bersembunyi di bawah meja ketika terjadi gempa berlangsung, kita justru kocar kacir berlari ke sana ke mari menyelamatkan diri masing-masing di tengah kondisi sempoyongan, padahal hal tersebut justru membahayakan karena berpotensi jatuh dan tertimpa reruntuhan.

Kedua adalah Early Warning System yang Cepat dan Terintegrasi

Peringatan gempa di Jepang (Sumber: jpninfo.com)
Peringatan gempa di Jepang (Sumber: jpninfo.com)

Ketika gempa bumi terjadi di Jepang early warning system Jepang langsung diaktifkan.

Pesan peringatan pun diberikan kepada seluruh warga Jepang dan non Jepang yang ada di wilayah yang berpotensi terdampak gempa. 

Pesan peringatan akan dikirimkan melalui seluruh jaringan seluler di Jepang secara cepat, sehingga masyarakat dapat menyiapkan diri akan potensi gempa yang melanda. Asalkan tersambung dengan koneksi seluler di Jepang, maka semua akan mendapatkan peringatan dini dari otoritas setempat.

Tidak hanya itu, stasiun-stasiun TV di Jepang pun akan kompak menyiarkan peringatan gempa terutama gempa-gempa berskala besar yang berpotensi menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.

Berita tentang peringatan gempa di salah satu stasiun TV di Jepang (Sumber: Twitter @rumireports)
Berita tentang peringatan gempa di salah satu stasiun TV di Jepang (Sumber: Twitter @rumireports)
Setelah gempa terjadi pun seluruh pihak terkait semisal kepolisian, tim pemadam kebakaran, perbaikan jalan dan sebagainya langsung segera mengecek dan mendata seluruh kerusakan yang ditimbulkan dan berusaha untuk memperbaiki kerusakan yang timbul.

Lihat saja ketika gempa terjadi pada sabtu malam, pada dini hari dan pagi harinya disiarkan oleh media-media setempat para petugas perbaikan jalan terlihat menerjunkan ekskavator dan juga alat berat lainnya untuk membuka jalan yang tertimbun longsor. 

Sementara para petugas lainnya berkeliling mengecek kerusakan dan korban luka-luka yang tersebar di seluruh penjuru wilayah terdampak. Bahkan bantuan medis serta logistik yang diperlukan langsung dibagikan keesokan hari setelah gempa.

Bandingkan dengan Indonesia, meski sekarang BMKG secara berkala dan real time menyiarkan informasi terkait gempa bumi serta potensi tsunami yang timbul, namun sirine dan juga informasi peringatan sering telat sampai kepada masyarakat, akibatnya banyak korban jiwa berjatuhan.

Gempa bumi di Palu, Majene, Lombok, Banten dan berbagai daerah lainnya membuktikan bagaimana kurang cepatnya early warning system kita.

Belum lagi jika kita melihat bagaimana kesiapsiagaan bencana belum masuk dalam kurikulum kita, simulasi gempa bumi dan tsunami masih sangat jarang dipraktikan di sekolah-sekolah kita, bahkan bantuan medis dan logistik pun kerap terlambat datang dan tidak jarang bahkan dikorupsi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Ketiga adalah Bangunan yang Dirancang Tahan Gempa

House in Toyonaka, by FujiwaraMuro Architects (Sumber: wallpaper.com via properti.kompas.com)
House in Toyonaka, by FujiwaraMuro Architects (Sumber: wallpaper.com via properti.kompas.com)
Sebuah fakta yang perlu diketahui bagi kita semua bahwa korban paling banyak berjatuhan ketika gempa bumi terjadi karena tertimpa reruntuhan gedung yang tidak kuat menahan guncangan gempa bumi.

Informasi tentang ini pernah saya tulis di artikel tentang Urgensi Bangunan Tahan Gempa di Indonesia.

Meski sudah ada aturan, namun di Indonesia pelaksanaan dan juga pengawasan pun sangat minim dilakukan oleh pihak-pihak terkait, tak pelak banyak gedung-gedung terutama rumah penduduk yang dibangun serta dirancang di are rawan gempa bumi tidak dapat menahan guncangan gempa bumi meski hanya berskala kecil. 

Belum lagi jika kita melihat bahwa bentuk rumah-rumah warga sekarang didominasi dengan beton-beton yang kaku tanpa sturktur yang dapat menolerir guncangan gempa.

Bandingkan dengan Jepang yang hampir seluruh rumah penduduknya dibuat dan dirancang dengan apik, sehingga tahan terhadap guncangan gempa bahkan dengan skala yang cukup besar. 

Material rumah pun banyak didominasi dengan kayu atau pun kertas yang cukup aman dari guncangan gempa. Struktur rumah pun dibuat sedemikian rupa agar kokoh meski gempa melanda.

Praktik ini ternyata tidak baru-baru saja ada di masyarakat Jepang, sejak zaman dahulu rumah-rumah di Jepang memang sudah dibuat dan dibangun dengan mempertimbangkan aspek ancaman gempa.

Keempat, Respon Pemerintah yang Kompak dan Tanggap

Keesokan hari setelah gempa pada sabtu lalu, petugas langsung memperbaiki jalan tol yang tertimbun longsoran (Sumber: Kyodo News)
Keesokan hari setelah gempa pada sabtu lalu, petugas langsung memperbaiki jalan tol yang tertimbun longsoran (Sumber: Kyodo News)

Siapa yang tidak mengenal Jepang dengan ketepatan waktunya serta kegigihan dan mentalnya yang sekuat baja. Hal ini juga ternyata tercermin dari para petugas dan penyelenggara negara di Negeri Sakura ini.

Pemerintah Jepang sudah memiliki protokol tetap (protap) dan juga prosedur yang baku dalam merespon bencana alam terutama gempa dan tsunami jika terjadi. 

Mereka sangat paham bahwa Jepang adalah negara yang dikelilingi gunung berapi dengan potensi bencana yang sangat tinggi.

Lihat saja ketika gempa bumi dan tsunami terjadi pada 2011, pemerintah mereka berhasil menerjunkan para petugas terkait serta membangun tempat pengungsian dengan suplai logistik serta medis yang mencukupi meski di tengah kendala akses serta gempa susulan yang mengancam.

Pun ketika fasilitas nuklir di Fukushima mengalami kebocoran, pemerintah dengan sigap mengakomodir penduduk sekitar untuk segera mengungsi ke tempat aman yang telah disediakan oleh pemerintah.

Shelter yang dibangun untuk pengungsian korban gempa pada sabtu lalu (Sumber: AFP/Getty Images)
Shelter yang dibangun untuk pengungsian korban gempa pada sabtu lalu (Sumber: AFP/Getty Images)
Bandingkan dengan Indonesia, yang setiap terjadi bencana alam bantuan dari pemerintah selalu telat datang, bahkan tempat pengungsian serta bantuan untuk pembangunan rumah kembali seperti di Lombok dan Palu hingga saat ini, meski sudah bertahun-tahun terjadi masih saja belum mampu dituntaskan.

Koordinasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya pun kerap menjadi sorotan, entah karena ego politis atau memang ketidaksiapan dari masing-masing pihak mereka lebih sering saling menyalahkan dan berselisih, sementara masyarakat sudah kepalang kecewa dengan tingkah laku mereka.

Terakhir adalah Media Massa Jepang yang Konsisten Menebar Nilai Optimisme

Seorang petugas stasiun membersihkan sisa-sia air akibat gempa bumi sabtu lalu (Sumber: Kyodo News)
Seorang petugas stasiun membersihkan sisa-sia air akibat gempa bumi sabtu lalu (Sumber: Kyodo News)
Sah-sah saja menyiarkan berita secara faktual dengan narasi yang menyedihkan dan menggugah hati masyarakat, namun apakah hal tersebut baik jika dilakukan berlarut-larut?

Hal yang berbeda dilakukan oleh media massa Jepang ketika bencana alam semisal gempa bumi dan tsunami terjadi, alih-alih terus memberitakan kedukaan dan juga nestapa, mereka kompak fokus memberitakan bagaimana para petugas serta masyarakat bahu membahu untuk memulihkan keadaan. 

Media massa Jepang terkenal dengan semangat optimismenya, mereka bukan anti terhadap informais yang penuh melodrama atau pun kedukaan, tetapi mereka paham bahwa masyarakat perlu diberikan suntikan semangat optimism agar mental mereka bangkit dan kembali positif di tengah bencana yang mereka hadapi.

Saya yang memiliki teman dan pernah berkunjung langsung ke Jepang melihat sendiri bagaimana masyarakat di sana terlatih untuk terus bangkit dan memiliki mental yang kuat.

Pada 2011 ketika kami sedang mengajar dalam sebuah program pertukaran di kota Izmir, Turki tiba-tiba saja tersiar berita di bahwa telah terjadi gempa bumi dan tsunami yang memporak-prandakan Jepang saat itu.

Kami para peserta pertukaran langsung saja menghampiri rekan-rekan kami yang asli Jepang yaitu Fumihiro, Mai dan Hanae. Tidak ada tangisan atau pun ratapan yang kami dapati, justru respon yang tegar dan tenang yang terlihat dari wajah-wajah mereka. 

Meski kami tahu, khususnya untuk Fumihiro yang memiliki banyak anggota keluarga besarnya yang tinggal di wilayah terdampak gempa dan tsunami dan sampai saat itu belum dapat dihubungi.

Pun ketika berkunjung langsung ke Jepang saya kerap menemukan bahwa media massa di sana sangat sering membuat program-program yang inspiratif dan membangkitkan rasa optimisme alih-alih terjebak pada kesedihan yang tak berkesudahan.

Akhirnya, semoga keempat hal tadi dapat menjadi masukan dan pembahasan kita bersama dalam menghadapi berbagai macam bencana alam yang mengancam di negeri kita khususnya gempa bumi sehingga korban jiwa dapat ditekan dan kerusakan serta pemulihan dapat segera dilaksanakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Life Hack Selengkapnya
Lihat Life Hack Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun