Pak Jokowi dalam pidato Peluncuran Laporan Ombudsman RI Tahun 2020 hari ini (08/02/2021) menghimbau masyarakat untuk berperan aktif menyampaikan kritik dan masukan terhadap kinerja pemerintahannya, guna menjadi bahan perbaikan di masa mendatang.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, ataun potensi maladministrasi, dan pelayanan publik harus terus meningkatkan upaya perbaikan perbaikan," ungkap Jokowi.
Himbauan ini tentu menjadi sinyal positif bagi masyarakat yang mungkin dilanda kegamangan dan ketakutan ketika akan memberi kritik kepada pemerintah pemerintah contohnya saja seperti Kwik Kian Gie yang beberapa hari lalu mencuit tentang ketakutannya atas serangan-serangan pendengung pendukung pemerintah (artikel tentang cuitan Kwik Kian Gie)
Semoga Seirama di Lapangan
Mungkin saja secara pribadi Pak Jokowi tidak anti-kritik, namun melihat di lapangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususunya kepolisian dan para pendengung adalah hal yang berbeda.
Beberapa contoh semisal Muhammad Hidayat Simanjuntak yang pernah melaporkan Kaesang Pangarep atas tuduhan menyebarkan kebencian. Respon kepolisian pun dingin dengan menyebut laporan adalah mengada-ada, celakanya justru Hidayat yang akhirnya ditahan pihak kepolisian atas unggahan videonya terhadap Kapolda Metor Jaya kala itu yang seolah memprovokasi massa 411.
Belum lagi pentolan aksi 212 yang dituduh makar yaitu Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Alvin, Eko, Rachmawati dan Sri Bintang Pamungkas karena menggelar aksi di depan istana Merdeka pada 2 Desember 2016
Ada lagi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mohammad Hisbun Payu yang ditangkap oleh Polda Jateng atas kritiknya di media sosial terhadap Jokowi. Masih banyak lainnya ada Ananda Badudu, Ravio Patra Asri, Dandhy Laksono, bahkan ada seorang guru honorer di Brebes, serta eks TNI Ruslon Buton yang ditangkap atas kritikannya terhadap pemerintah Jokowi. Bahkan yang menyajikan data dari berbagai sumber yang sahih pun masih diciduk seperti kasus Fasiol Abod Batis yang mengkritisi pemerintah atas konflik agraria yang terjadi di Indonesia.
Banyaknya tindakan represif aparat ini tentu tidak sejalan dengan himbauan Jokowi tadi untuk memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah.
Jika kita membandingkan dengan apa yang terjadi dengan SBY ketika menjabat sebagai presiden tentu sangat kentara perbedaannya.
Sangat sepi sekali di lapangan selama dua periode pemerintahan SBY, para pengkritik ditangkapi, meski kala itu SBY dikritik habis-habisan oleh berbagai pihak bahkan pernah seekor kerbau digantungi nama SBY tidak ada penangkapan oleh para aparat penegak hukum.
Namun, tidak dipungkiri memang ada beberapa kali para penghina personal presiden dibawa ke muka persidangan karena serangan personal yang sangat berlebihan seperti mengatakan "SBY Anj*ng, SBY Bab*," namun tidak serepresif sekarang hanya karena cuitan kritis dan kritik yang proporsional orang-orangpun bisa dibawa ke muka persidangan bahkan dipidanakan dengan dalih UU ITE.
Bahkan pernah di zaman SBY, dalam wawancara dengan Tempo, SBY dan Ibu Ani Yudhoyono hanya tertawa dan mengatakan mereka tidak perlu dibawa ke persidangan meski foto-foto SBY dibakar sekalipun, SBY tidak ingin ada orang yang dipenjara hanya karena menghina dirinya.
Pendengung Pun Membabi Buta
Tidak hanya banyaknya dugaan represif para aparat terhadap pengkritik pemerintah Jokowi yang menjadi sorotan publik, tetapi juga para pendengung (buzzer) yang menyerang melalui media sosial bahkantidak segan meretas dan mengobrak-abrik akun-akun yang mengkritik pemerintah, contohnya baru-baru ini yang terjadi pada Susi Pudjiastuti.Â
Peristiwa sama juga pernah terjadi pada komika Bintang Emon yang mengkritik pemerintah atas penyerangan penyidik KPK, Novel Baswedan.
Selain itu juga peretasan terjadi pada para aktivis pengkritik RUU Omnibus Law yang kala itu hangat diperbincangkan.
Pola para pendengung ini pun tidak konstruktif ketika menghadapi kritikan terhadap pemerintah sekarang, mereka cenderung menyerang personal dengan basis data dan sumber yang minim dan secara destruktif menjatuhkan para pengkritik bahkan meretas dan mengobrak-abrik akun yang bersangkutan.
Sampai saat ini memang masih banyak jadi diskusi hangat publik tentang siapa yang membiayai para pendengung ini, apakah dari unsur pemerintahan ataukah ada tokoh-tokoh politik yang berperan. Namun, yang jelas pola mereka sudah sangat terbaca oleh publik, tindak tanduk mereka pun semakin meresahkan, tapi lagi-lagi aparat dan pemerintah seperti membiarkan. Padahal jika terus dibiarkan tumbuh mereka dapat merusaka tatanan demokrasi Indonesia yang selama ini susah payah dibangun.
Tidak ada lagi checks and balances yang membangun. Tidak ada lagi masukan dan kritik yang menjadi alternatif. Yang ada hanyalah diskusi berat sebelah dengan narasi yang mengglorifikasi.
Ya, Pak Jokowi harus sadar bahwa menghimbau masyarakat untuk memberikan kritik dan masukan untuk pemerintahan hendaknya juga diiringi dengan perlindungan dan jaminan atas kebebasan bersuara, bukan hanya mengajak tetapi juga memastikan para pengkritisi yang konstruktif dilindungi untuk menjadi penjaga iklim demokrasi yang lebih baik ke depan.
Jangan ada lagi tindakan represif kepada para pemberi masukan, jangan ada lagi pengkritik dirisak pendengung habis-habisan, karena sejatinya Pak Jokowi adalah Presiden untuk seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya sejumlah golongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H