Sangat penting dalam setiap keadaan genting ataupun kritis untuk tidak panik dan melakukan kegiatan berdasarkan perasaan dan asumsi semata.
Di masa resesi ekonomi ini banyak pihak yang merasakan dampaknya secara langsung maupun tidak langsung.
Ada beberapa orang yang harus diistirahatkan di rumah kehilangan pekerjaan utamanya. Ada juga kehilangan pendapatannya karena karena kurangnya pengunjung toko dan usahanya bahkan sampai menutup usahanya.
Jika kita tidak bersabar dan menggunakan akal sehat bisa jadi kepanikan bisa melanda kita dan membuat kita melakukan tindakan-tindak yang diluar nalar dan dapat merugikan kita dan orang lain. Semisal kita menjadi lebih emosional dan bisa berdampak tidak baik bagi orang terdekat kita.
Bagi sebagian pihak juga mungkin mereka akan melakukan panic buying dengan membeli barang-barang kebutuhan dalam partai besar untuk ditumpuk dan ditimbun.
Dampaknya, menyebabkan kelangkaan barang-barang tertentu hanya karena menganggap akan terjadi kondisi seperti kriris moneter tahun 1998 di mana harga-harga meroket seiring inflasi yang mencapai ribuan persen sehingga Kedua Buat Skala Prioritas.
Padahal kondisi saat ini tidak semengerikan seperti krisis moneter 1998 dan Indonesia masih dalam kategori cukup tangguh menghadapi resesi ekonomi ini dibandingkan negara-negara G-20 lainnya yang menderita sampai belasan bahkan puluhan persen negatifnya.
Kata yang lebih tepat untuk menyikapi keadaan saat ini adalah waspada dengan cara mengoptimalkan sumber daya yang kita miliki untuk dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin berdasarkan prioritas kebutuhan kita.
Di masa sulit sekarang yang bisa saja mengurangi penghasilan atau bahkan meningkatkan harga kebutuhan kita harus berpikir dengan orientasi jangka panjang.
Dalam masa prihatin saat ini mengenyampingkan kebutuhan tersier bahkan sekunder perlu kita pikirkan. Namun terkadang kita masih sulit untuk memisahkan mana yang menjadi kebutuhan dasar atau primer, sekunder dan tersier atau mewah.