Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden, Menteri, Gubernur, dan Masyarakat Tidak Kompak, Pantesan Pandemi Belum Mereda

13 September 2020   11:04 Diperbarui: 13 September 2020   11:11 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Kompas TV

Gubernur Anies Baswedan ramai-ramai disentil oleh para menteri terkait penerapan kembali PSBB untuk DKI Jakarta terhitung 14 September 2020 besok.

Tak tanggung-tanggung tiga menteri dan satu wakil menteri mengkritik kebijakan Anies Baswedan ini. Dimulai dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, dan Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar.

Melansir Republika.co.id mereka mengungkapkan kritik mereka tersebut bertepatan dengan acara sesi Plenary Rapat Nasional Kamar Dagang Indonesia (KADIN) pada kamis 10 September 2020 kemarin.

Rata-rata kritikan mereka terkait imbas yang akan dirasakan oleh dunia usaha dan perekonomian Indonesia serta koordinasi dengan pemerintah pusat yang kurang dari Gubernur Anies Baswedan.

Sementara itu di lapangan, pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat yang mengakibatkan bertumbuh suburnya kasus baru terutama di DKI Jakarta semakin banyak terjadi.

Tidak kompaknya pemerintah pusat, pemerintah daerah serta masyarakat ini menjadi salah satu akselerator kasus baru dan menjadi penghambat melandainya kurva pertumbuhan Covid-19 di Indonesia.

Jokowi dan para jajaran kabinet. Sumber: tempo.co.id
Jokowi dan para jajaran kabinet. Sumber: tempo.co.id
Miskoordinasi adalah Masalah Besar Penanganan Pandemi

Secara pribadi saya menilai kesalahan koordinasi bukan hanya milik pejabat daerah namun lebih dari itu adalah pemerintah pusat baik Jokowi, jajaran menteri serta pejabat dibawahnya. 

Imbas dari miskoordinasi tersebut tentu tidak kecil sedari pandemi awal mulai terjadi bahkan jauh sebelumnya di masa jabatan sebelumnya kisruh antarmenteri sering terjadi.

Tidak hanya itu dagelan dan simpang siur informasi di dalam kabinet Jokowi sering terjadi bahkan sampai dengan pemerintah daerah. Contohnya saja ketika Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan serta Pemerintah DKI Jakarta yang berbeda persepsi tentang standar kesehatan pada angkutan daring seperti Gojek dan Grab.

Di awal pandemi ketidakseragaman dan ketidaktegasan pemerintah berakibat lambannya penanganan pandemi Covid-19 ini sehingga laju perkembangan kasus positif alih-alih turun sekarang masih menunjukkan tren naik yang tidak berkesudahan, beribu-ribu telah menjadi korbannya bahkan ratusan tenaga kesehatan harus meregang nyawa karena terpapar covid-19 ini.

Belum lagi narasi yang membingungkan istilah new normal dan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) yang justru seakan menjadi akselerator bertumbuhnya kasus positif di negeri ini.

Benar kita semua paham tentang risiko perekonomian yang semakin mencekik masyarakat di tengah dilemma risiko kesehatan yang mungkin terjadi. Namun, jika saja pemerintah tegas dan sigap membuat informasi dan narasi secara kompak maka pemerintah daerah dan masyarakat tentu tidak bingung dan mengawang-awang. 

Jika saja semua dalam satu koridor yang tegas dan satu suara tentu kesimpangsiuran dapat dihindarkan dan berantakannya penanganan covid-19 serta korban dapat ditekan.

Entah pemerintah DKI Jakarta melalui, Anies Baswedan jengah dengan ketidaktegasan pemerintah pusat atau memang mereka terlalu tergesa-gesa sehingga berjalan sendiri tanpa kulo nuwun dengan pemerintah pusat tentu pernyataan PSBB ulang di DKI Jakarta membuat terkejut banyak pihak.

Saya memahami perspektif urgensi rem darurat ini oleh Anies Baswedan, karena terbukti adaptasi kebiasaan baru justru tidak dijalankan secara optimal oleh masyarakat dan justru menjadi akselerator bertumbuhnya kasus penularan Covid-19 di wilayah DKI Jakarta.

Di lain sisi saya juga memahami bagaimana kabinet Jokowi merasa kecele dengan pernyataan Anies, meski di aturan yang ada Anies tidak perlu meminta izin kepada pemerintah pusat, namun DKI Jakarta sebagai sentral bisnis dan ekonomi Indonesia pasti akan terdampak langsung dengan kebijakan ini. 

Bursa saham Indonesia saja langsung tergerus karena pernyataan Anies, belum lagi para pelaku usaha yang rencana dan perencanaan keuangannya berantakan karena kebijakan mendadak ini. Para investor bisa berpikir ulang untuk menginvestasikan uangnya ke Indonesia.

Akan menjadi simalakama dan debat tidak berkesudahan ketika kita melihat nyawa dan kesehatan kita terancam , di lain sisi ekonomi menjadi di ujung tanduk untuk dipertaruhkan. 

Jikapun jalan tengahnya adalah adaptasi kebiasaan baru harusnya ketegasan pemerintah harus ditunjukkan secara tegas koordinasi secara langsung dan tidak berlapis serta simpang siur.

Anies dan Jokowi. Sumber: kumparan.com
Anies dan Jokowi. Sumber: kumparan.com
Tegas, Terukur, dan Terkoordinasi Agar Semua Kompak Mengikuti

Saya masih mengingat bagaimana Jokowi dalam wawancara dengan Najwa Shihab mengatakan bahwa beliau optimis Juli atau Agustus 2020 ini terjadi penurunan kasus baru covid-19 bahkan dalam sesi wawancara tersebut Najwa menanyakan semisal kebijakan 

Adaptasi Kebijakan Baru ini nantinya tidak efektif menurunkan sesuai target pemerintah apa yang harus dilakukan, Jokowi sampai ingin melibatkan militer dan kepolisian untuk menertibkan pelanggaran, namun faktanya di lapangan tidaklah demikian saya menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat sudah abai dengan protokol kesehatan duduk berdekat-dekatan di pusat keramaian, menanggalkan masker sesuka hati, tidak mencuci tangan, dan lain sebagainya. 

Apakah ada tindakan tegas dari kepolisian dan militer? Sepertinya banyak kecolongan dan pembiaran yang dilakukan. Entah karena sudah jemu dan bingung dengan kebijakan yang dicanangkan atau karena komando pun tidak didapatkan secara jelas dari pimpinan yang pasti adaptasi kebiasaan baru sekarang tak ubahnya seperti keadaan lama yang normal.

Saya membayangkan mengapa pemerintah misalnya tidak menginstruksikan siaran seragam seperti kampanye ruang guru di setiap stasiun televisi dan media massa lainnya di Indonesia pada jam-jam utama (primetime) menyiarkan dokumentasi ataupun liputan yang menjelaskan secara akurat dan faktual mengenai bahaya pelanggaran protokol kesehatan serta cerita pengalaman oleh para penyintasnya, disisipi juga informasi yang bisa jadi membuat psikologis masyarakat untuk jera bersikap abai dan menganggap pandemi adala sekadar gurauan.

Di linimasa media sosial pun harusnya dapat dipenuhi dengan himbauan untuk terus menerapkan protokol kesehatan meski ditengah adaptasi kebiasaan baru, alih-alih memberikan uang kepada influencer untuk membela kebijakan pemerintah mengapa tidak mereka dibayar untuk menghimbau tentang penegakan protokol kesehatan dan edukasi bahayanya pandemi ini jika terus terjadi.

Bisa juga misalnya pemerintah mengadakan kegiatan kreatif seperti kuis ataupun perlombaan virtual yang bertujuan untuk memberikan edukasi ke masyarakat tentang bahaya pelanggaran protokol kesehatan. Tidak perlu mahal tetapi dapat menyampaikan pesannya secara efektif.

Presiden dan jajaran harusnya juga membuat aturan yang jelas satu payung dan tidak membingungkan. Di Korea Selatan setiap daerah tidak bisa sembarangan membuat aturan tertentu namun perlu pertimbangan dari pusat untuk penanganan pandemi, hal ini didukung juga karena teknologi informasi yang sudah sangat canggih diterapkan di Negeri Ginseng tersebut. 

Selain itu juga semua informasi terkait penanganan Covid-19 dan data-data pendukungan bisa disampaikan secara terbuka tidak ditutup-tutupi hanya karena taruhan reputasi nama. Berbeda dengan di negeri kita yang hanya menyampaikan berita baiknya saja dan tidak terbuka namun abai dengan risiko setelahnya.

Pemerintah juga kiranya perlu membuat sanksi yang tegas bagi para punggawa di unsur pemerintahan yang kerap tidak seragam dan simpang siur dalam penanganan Covid-19, jika perlu minta pihak terkait meminta maaf secara terbuka agar mendapatkan sanksi sosial yang jelas jangan seperti saat ini terus berulang seperti tidak memiliki rasa malu. 

Di negeri Jepang misalnya jika ada pejabat yang merasa kebusukan atau kebohongannya terbongkar akan sukarela mundur dari jabatannya dan menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka.

Sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan pun harus memberikan efek jera namun tetap memperhatikan protokol kesehatan. Aksi kreatif dengan membersihkan jalanan, disiarkan namanya di media massa, membayar denda, pencabutan izin usaha untuk pelaku bisnis dan sebagainya perlu menjadi alternatif bagi pemerintah baik pusat dan daerah. 

Namun ingat sanksi yang justru dapat menimbulkan kluster baru penyebaran virus seperti memasukkan para pelanggar ke dalam peti mati yang sama berulang ulang yang bisa jadi menyebarkan virus ataupun juga menyuruh mereka bersama-sama berkumpul di dalam mobil ambulans yang tertutup adalah sebuah bentuk kebodohan alih-alih memberi efek jera justru menimbulkan korban jiwa.

Terakhir adalah pemerintah harus paham bahwa menurunkan ataupun melandaikan kurva kasus baru covid-19 ini butuh kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat sehingga narasi saling koreksi, miskoordinasi, simpang siur informasi dan lain sebagainya wajib hukumnya diminimalisasi bahkan jika perlu dihilangkan. 

Bagaimana caranya? Tentu perlu komando yang tegas, terukur, dan terkoordinasi serta juga kolaborasi yang matang dari semua pihak. 

Tidak perlu ada lagi ego sektoral ataupun narasi siapa yang paling berjasa dan paling pintar karena ini adalah pertarungan bersama bukan saya atau dia apalagi mereka. Ini adalah PERTARUNGAN KITA. Presiden sebagai pimpinan tertinggi wajib untuk mulai membangun dan memupuk semangat ini serta mengakhiri miskoordinasi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun