Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Optimisme 75 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

16 Agustus 2020   08:29 Diperbarui: 16 Agustus 2020   08:28 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi HUT RI Ke-75. Sumber: Freepik

Gemah ripah loh jinawi (kekayaan alam yang berlimpah) dan toto tentrem karto raharjo (keadaan yang tenteram), ataupun ungkapan kolam susu, dalam lirik lagu Koes Plus yang melegenda itu, tentunya dapat menggambarkan betapa kaya dan luasnya negeri kita ini. Berbagai kekayaan bumi terhampar luas di penjuru negeri dengan bentang pesisir terpanjang kedua di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau serta keberagaman bahasa daerah dan budaya yang sangat kaya, ditambah dengan biodiversitas baik perairan maupun daratan yang sangat melimpah. 

Dengan fakta itu saja kita sudah sepatutnya bangga menjadi Indonesia, menjadi bangsa dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dengan populasi muslim terbesar di dunia dengan keberagaman luar biasa, tetapi dengan satu visi dalam sebuah perjanjian agung yang kita namakan Pancasila dengan moto bhinneka tunggal ika.

Tidak hanya itu, negeri ini juga sungguh diisi oleh manusia-manusia tangguh yang bangga memegang teguh rasa nasionalismenya. Di ujung Sumatra sana di Serambi Mekah kita akan temui saudara-saudara yang bermental baja tak patah arang sekalipun diterjang Tsunami. Di sisi timur di perbatasan Merauke sana, kita akan bersyukur memiliki saudara-saudara tanah Papua yang dengan bangga menjadi Indonesia walau di tengah keterbatasan dan ketidakadilan yang mereka alami. 

Di tengah ibu kota Jakarta berduyun-duyun orang mengadu nasib demi sesuap nasi, tetapi tetap bisa tersenyum di tengah terjangan ibu kota. Di luar sana di Hongkong, timur Tengah, dan di seluruh penjuru dunia, para diaspora, para TKI, dan semua pemegang paspor hijau berlambang garuda tetap bangga menamakan dirinya bagian bangsa Indonesia.

Negeri ini juga kaya akan prestasi dan manusia bertalenta. Berbagai prestasi tingkat dunia berhasil ditorehkan oleh anak bangsa kita. Di bidang olahraga, pendidikan, kesehatan,  

Namun, di tengah gelimang prestasi dan ketangguhan negeri, kita ini masih banyak ironi kehidupan yang mengemuka, belum lagi tantangan serta masalah kebangsaan yang semakin kompleks yang perlu ditangani ketika pandemi Covid-19 ini terjadi di hampir seluruh dunia dengan kasus positif mencapai lebih dari 20 juta jiwa.

Jurang kemiskinan semakin menganga, indikator ekonomi terjun semakin dalam, harga-harga kebutuhan semakin meroket, kebebasan berpendapat sering diberangus, kesehatan masyarakat semakin terancam, korupsi semakin merajalela dan lain sebagainya.

Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraannya di gedung DPR (14/08/2020)  mengajak masyarakat Indonesia untuk dapat "membajak" momentum krisis yang sedang terjadi untuk melakukan lompatan-lompatan besar sehingga Indonesia bisa menjadi negara maju pada 25 tahun mendatang.

Indonesia yang menurutnya telah masuk menjadi Upper Midde Income Country harus mampu menjadikan momen krisis ini sebagai momen untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara maju lain dari berbagai aspek dan sisi. Meski kondisi ekonomi saat ini terkontraksi setidaknya 5,32% di kuartal kedua 2020, hal ini dianggap masih lebih baik dibandingkan negara-negara maju lainnya yang sampai belasan persen.

Untuk menyongsong lompatan-lompatan tadi ada tiga hal yang perlu menjadi topik dan pembahasan kita bersama yaitu:

Pertama adalah bagaimana kembali meng-Indonesiakan Indonesia.

Meng-Indonesikan Indonesia adalah mengembalikan muruah semangat utama bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Di tengah era globalisasi dan modernitas kehidupan kita saat ini.

Budaya dan hal-hal lain yang berbau asing tidak selalu positif dan dapat diadopsi di Indonesia. Disadari maupun tidak hal tersebut dapat menjadi penghalang bangsa kita untuk berkembang dan maju. Contoh kecilnya saja adalah betapa banyak dari kita yang sangat bangga mengenakan merek luar dibandingkan mereka lokal yang notabene tidak kalah kualitas dengan merek luar negeri tersebut. Bahkan harus kita ketahui banyak juga dari merek luar tersebut diproduksi oleh industri dalam negeri kita. 

Moto cintailah produk dalam negeri nampaknya penting di tengah kondisi saat ini. Dengan membeli produk dalam negeri kita membantu untuk roda perekonomian kita berputar kembali dan pada akhirnya dapat mendorong indikator ekonomi kita ke arah yang lebih positif. Hal ini sejalan dengan semangat masyarakat kita yang suka bergotong royong

Contoh lainnya adalah kemampuan berbahasa Indonesia kita yang semakin menurun. Ya, memang benar bahwa bahasa komunikasi internasional seperti bahasa Inggris menjadi sebuah kewajiban untuk bersaing di tengah zaman yang semakin tanpa batas saat ini. Namun, memahamai dan bertutur dengan bahasa ibu secara benar adalah wujud kita untuk melestarikan akar berbangsa kita. 

Tidak perlu jauh melihat kurangnya perhatian terhadap bahasa ibu kita, istilah berbahasa Indonesia yang sering salah kita temukan seperti penulisan "atlit" yang seharusnya "atlet", ataupun "apotik" yang seharusnya "apotek", atau mungkin lebih sering menggunakan kata "snack" untuk penganan, ataupun mungkin berapa banyak anak-anak usia dini yang lebih fasih bertutur dengan bahasa asing lalu bingung dan canggung berbahasa Indonesia dikarenakan didikan orang tua yang terlalu mengistimewakan bahasa asing.

Belum lagi isu sosial yang semakin menjauhkan kita dari nilai pancasila seperti konflik di antara kita karena suku, rasa, agama, pilihan politik dan lain sebagainya. ALih-alih memegang nilai persatuan Indonesia kita semakin terjebak pada sekat-sekat status dan pilihan lalu lupa atas cita-cita besar bangsa ini.

Kedua adalah bagaiman mengubah pola pikir masyarakat menjadi pola pikir positif, optimis, dan solutif. 

Di zaman yang semakin cepat dan ekspos media massa yang besar, saat ini kita cenderung digiring menjadi bangsa yang masih sering pada pola "blamer", bukan "problem solver".

Lebih jauhnya hal tersebut sering dicontohkan oleh para pemimpin kita yang kehilangan rasa malu untuk meminta maaf ataupun mengakui kekurangannya dan mencari kambing hitam atas segala permasalahan bangsa. 

Kita semakin hari semakin sering menjadi orang-orang yang menyalahkan pihak tertentu atas berbagai macam masalah yang terjadi dan lupa akan andil kita untuk menyelesaikan masalah tersebut ataupun setidaknya memberikan saran dan solusi penyelesaian. Meski kita harus paham bahwa koreksi dan kritik yang membangun perlu juga menjadi penyeimbang bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Kita layaknya perlu belajar semangat orang Korea Selatan, ketika 1997 di mana atas permintaan pemerintahnya seluruh masyarakat Korea dari berbagai kalangan dengan suka rela mengumpulkan emas simpanan mereka dalam rangka untuk membantu pemerintahnya membayar hutang negaranya kepada IMF tanpa saling menyalahkan atau berkomentar fokus berduka atau membuat suasana semakin memburuk. 

Dan hasilnya luar biasa, hanya dalam sebulan terkumpul tiga miliar dolar Amerika. Bukan berarti kita memblokade atau menumbuhkan kembali semangat "kediaman" pers atau memberedel kebebasan bersuara.

Di sisi lain, pendidikan untuk berlaku positif dan adil dapat kita ambil pelajaran dalam sebuah acara lomba memasak dari negara tetangga kita Australia. Jika di antara kita pernah menonton acara Master Chef Australia, kita akan temukan bagaimana di antara budaya dan mental yang ditunjukkan oleh para peserta sangat positif. Mereka dapat saling memberikan dukungan dan memberi komentar positif antar-sesama mereka meskipun di tengah kompetisi yang sangat ketat. 

Hal ini menjadi cerminan bagaimana pendidikan di negara tersebut mengajari kita akan makna menghargai, toleransi, dan bersaing secara sehat. Sungguh miris ketika kita temukan menjelang pilkada ataupun sesama anggota kabinet menteri kita saling menjelekkan hanya demi mengamankan posisi mereka atau demi meraih dukungan publik. Belum lagi ketika kita melihat tontonan di negeri kita yang menyajikan tontonan dengan kualitas rendah dan jauh dari nuansa edukasi dan muruah nilai-nilai jurnalisme.

Ketiga adalah investasi dalam pemberdayaan pemuda. 

Mengapa pemuda begitu penting bagi Indonesia? Dengan jumlah mencapai 62,6 juta orang, artinya hampir dari seperempat penduduk Indonesia tak lain isinya adalah pemuda. Karena itu, dalam pembicaraan mengenai daya saing dan masa depan bangsa, pemuda adalah subjek utama yang harus diperhatikan kesiapannya. Pada rentang 2015-2035, Indonesia diproyeksikan mengalami bonus demografi. Pada rentang tahun ini jumlah penduduk usia kerja produktif (15-64 tahun) akan mencapai 70%. 

Sisanya 30% adalah penduduk tidak produktif. Investasi dan grand plan yang mumpuni dan komprehensif pelru dirumuskan dan dieksekusi secara matang dan mumpuni. Berbagi program investasi baik dari segi pendidikan dan kesehatan serta pemberdayaan pemuda. 

Namu, fakta yang ironis bagi Indonesia yang termasuk dari sejumlah negara di dunia yang memiliki kementerian khusus yang menangani masalah kepemudaan yaitu Kementerian Pemuda dan Olahraga di Indonesia, justru pemuda Indonesia masih belum banyak diberdayakan dan mendapatkan porsi yang besar untuk berperan dalam memajukan bangsa ini.

Contohnya saja adalah komposisi di berbagai lembaga pemerintahan di Indonesia yang cenderung diisi oleh kalangan senior. Belum lagi banyaknya para diaspora Indonesia dari kalangan muda yang mengomentari betapa sulitnya mereka untuk mencoba berperan lebih besar kembali ke tanah air. 

Sebagai catatan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi bonus demografi keberadaan pemuda tersebut, karena kemungkinan di masa mendatang, hanya dua jika dikelola dan diberdayakan dengan baik maka mereka akan menjadi window of opportunity (jendela kesempatan). 

Sebaliknya, jika kita lalai dan tidak mengelolanya dengan baik maka mereka akan menjadi window of disaster (jendela bencana), di mana sebagian besar pemuda akan diproyeksikan menjadi pengangguran terbuka ataupun terdidik serta angka produktivitas yang rendah sehingga menjadi beban sosial dan ekonomi bagi Indonesia.

Ketiga hal di atas layaknya dapat menjadi pertimbangan dan diskusi kita bersama untuk dapat "membajak" momen krisis di tengah pandemi yang kita hadapi. Kita sebagai bangsa Indonesia harus tetap memupuk semangat optimisme dalam setiap pribadi kita. Karena, kita harus paham bahwa bangsa ini dibangun atas jerih payah dan perjuangan pendahulu serta masing-masing kita.

Berpikirlah apa yang bisa saya lakukan untuk bangsa, bukan permasalahan bangsa apa yang harus terus saya ributkan tanpa memberikan saran ataupun solusi penyelesaian.

75 tahun bangsa ini telah berdiri menjadi kokoh karena optimisme warganya untuk memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan. Jangan menyerah pada keadaan jadikan dia sebagai batu lompatan untuk melangkah ke depan. Bersama kita pasti bisa mendukung kemajuan Indonesia.

Dirgahayu Indonesia!

Dirgahayu bangsaku!

Dirgahayu negeriku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun