Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Praktisi rantai suplai dan pengadaan industri hulu migas Indonesia_______________________________________ One of Best Perwira Ksatriya (Agent of Change) Subholding Gas 2023____________________________________________ Praktisi Mengajar Kemendikbudristek 2022____________________________________________ Juara 3 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Umum Tingkat Nasional SKK Migas 2021___________________________________________ Pembicara pengembangan diri, karier, rantai suplai hulu migas, TKDN, di berbagai forum dan kampus_________________________________________ *semua tulisan adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

2 Alternatif Pembelajaran di Tengah Sulitnya Kuota, Gawai, dan/atau Sinyal

15 Agustus 2020   11:33 Diperbarui: 16 Agustus 2020   07:21 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Sumber: cnnindonesia.com dari Antara Foto oleh Adeng Bustomi

Menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75, pemerintah melalui Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID-19, Erik Tohir mengungkapkan bahwa mereka sedang mengkaji untuk pemberian subsidi pulsa untuk kuota para peserta didik dan tenaga pendidik di seantero Indonesia. 

Hal yang tentu kita perlu apresiasi dan sikapi positif karena meski cukup terlambat setidaknya negara mulai memikirkan solusi dalam metode pembelajaran jarak jauh.

Namun, masalah sebenarnya tidak berhenti hanya sampai disitu, bagaimana dengan perangkat utamanya yaitu gawai? Masih sangat banyak kita temukan di media massa anak-anak yang tidak memiliki gawai untuk mendukung proses pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi ini karena keterbatasan biaya. 

Bahkan ada yang harus bekerja jadi buruh bangunan hanya sekedar untuk membeli gawai tersebut ada juga yang rela menjual ayamnya untuk mendapatkan gawai yang sesuai untuk mendukung pembelajaran daring.

Di lain sisi bisa saja anak-anak memiliki kuota dan gawai, namun terkendala sinyal karena rumah yang berlokasi jauh dari keramainan dan jangkauan sinyal, sehingga menjadi percuma. Jika pun ada mereka harus menaiki bukit-bukit, berjalan berjam-jam dan lain sebagainya. Berisiko dan sangat melelahkan.

Kita ketahui bersama bahwa pembelajaran jarak jauh ini memang dilematis, karena ketidaksiapan serta juga disparitas pemerataan kualitas dan fasilitas pendidikan di seluruh Indonesia.

Benar pemerintah harus hadir dan turut bertanggungjawab dalam mengelola masalah pendidikan ini karena ini amanat dan undang-undang, namun kita dan unsur masyarakat lainnya organisasi, perangkat desa, aktivis pendidikan, orang tua dan lain sebagainya harus juga berperan aktif untuk mencarikan solusi.

Dua alternatif dan pemikiran ini bisa menjadi opsi yang bisa diterapkan di tengah kesulitan kuota, gawai dan sinyal.

Solusi pertama adalah dukungan optimal dari lingkungan terdekat.

Sempat heboh di lini masa bagaimana suatu desa memakai uang kas desa serta sumbangan warga yang memiliki kelebihan harta untuk dipakai membelikan kuota wifi gratis yang bisa dipakai oleh seluruh anak di desa itu khususnya untuk pembelajaran jarak jauh melalui sistem daring.

Ini suatu ide yang cerdas dan membuktikan sebenarnya masyarakat kita adalah masyarakat yang memiliki kesetiakawan sosial yang tinggi. Bentuk subsidi silang dari warga yang beprunya serta dibantu dana desa ini bisa menjadi model bagi kita untuk menerapkannya di lingkungan terdekat kita.

Di kampung halaman saya di Kabupaten OKU Selatan saya juga melihat contoh lain yang inspiratif lainnya. Salah seorang rekan saya membagikan unggahan di Facebook bagaimana ibunya yang merupakan seorang pendidik membuka kelas sederhana di rumahnya lalu mengatur jarak serta menerapkan protokol kesehatan kepada anak-anak sekolah dasar yang kesulitan kuota, gawai ataupun sinyal.

Para pemuda ataupun orang tua yang memiliki pengetahuan dan ilmu juga sangat bisa diandalkan untuk membantu seperti ibu rekan saya tadi dan jika ketiadaan tempat menjadi kendala mungkin tempat balai desa ataupun taman bisa menjadi solusinya.

Selain itu juga sangat penting kehadiran orang tua guna membantu peserta didik, memang kita bukan professional di dalam dunia kependidikan bahkan mungkin berujung kemarahan ketika sedang mengajari anak kita sendiri. Tetapi dengan latihan dan kesepakatan yang baik dengan anak setidakny kita dapat menyampaikan pesan bahwa kita hadir untuk mendukung pendidikan mereka.

Ya, adagium "it takes a village to raise a child" sepertinya sangat tepat untuk menggambarkan naras solusi di atas. Kita butuh kerjasama lingkungan sekitar kita untuk mendukung tumbuh kembang anak-anak kita.

Solusi kedua adalah pemberian insentif atau kredit khusus untuk tenaga pendidik. 

Maksudnya adalah pemerintah memberikan insentif khusus kepada tenaga pendidik yang bersedia memberikan pengajaran secara privat dengan mendatangi rumahnya kepada muridnya yang kesulitan dalam mendapatkan kuota, gawai ataupun sinyal. Tentu pola pengajaran ini perlu didukung dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Tenaga pendidik tersebut diberikan semisal insentif berupa sejumlah uang untuk setiap kedatangan, dananya bisa di ambil dari Dana BOS pada setiap sekolah ataupun sumber dan lainnya yang memungkinkan. Bagi tenaga pendidik yang telah menjadi PNS misalnya dia bisa diberikan program akselerasi atau promosi yang dipercepat untuk kenaikan pangkat.

Sistem ini perlu diawasi secara ketat oleh pemangku kepentingan guna mengurangi risiko paparan baik dari guru ke murid atau sebaliknya, serta juga mekanisme dan merit point yang jelas.

Kedua alternatif diatas tentu membutuhkan prosedur dan mekanisme yang apik apalagi ketika berhadapan pada penerapan standar atau protokol kesehatan selama pandemi. Namun, hal tersebut tentu tidak menghalangi kenyataan bahwa hal tersebut mungkin untuk diterapkan dengan tetap memprioritaskan kesehatan. 

Evaluasi serta juga dukungan pemangku kepentingan sangat penting dalam proses perencanaan sampai dengan eksekusi di lapangan karena kuota, gawai, dan sinyal tidak harus menghentikan kita untuk terus belajar dan melakukan proses pembelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun