Linimasa sangat ramai menanggapi komentar Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan pada Selasa (14/4/20) yang terkesan menggampangkan angka kematian karena pandemi COVID-19. Luhut berkomentar atas kebijakan Pembatasan Bersakala Besar (PSBB) yang mulai dilakukan pemerintah yang dinilainya sudah "tepat dan aman" dalam menanggulangi COVID-19 di Indonesia.
Selanjutnya Luhut berkomentar, "Kenapa jumlah meninggal sampai hari ini---maaf sekali lagi---enggak sampai 500 orang padahal penduduk Indonesia, kan, 270 juta jiwa?"
Ada diksi yang kurang tepat dan narasi yang kurang elok disampaikan oleh seorang Menteri Koordinator ini. Apakah nyawa korban yang tidak sampai 500 (sekarang sudah melampaui 500 ) dianggap hanya sebatas angka? Bagaimana jika salah satu di antara 500 orang tersebut adalah keluarga Pak Luhut misalnya? Apakah akan berbeda pernyataannya?
Lebih mengherankan lagi adalah Pak Luhut menyatakan bahwa pengetesan terhadap COVID-19 di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Negeri Pamansam, Amerika Serikat. Padahal jika kita melihat faktanya AS setidaknya sudah melakukan tes  kepada 3 juta penduduknya per 15 April 2020 kemarin, atau sekitar 9.455 orang per 1 juta penduduk.
Jika dibandingkan dengan angka pengetesan yang ada di Indonesia yang baru 36.432 orang atau 132 orang per 1 juta penduduk, angka tersebut sungguh jauh dibawah AS. Jadi jika Pak Luhut mengatakan angka pengetesan di Indonesia jauh lebih baik dibanding AS ini adalah kesalahan informasi dan kurangnya data yang memalukan untuk seorang pejabat publik teras istana yang harusnya lebih jeli dan teliti dalam menyampaikan komentarnya ke ruang publik apalagi di masa kritis seperti ini.
Lebih jauh, sangat tidak elok menganggap enteng jumlah 500 korban COVID-19 ini, karena jika melihat sebaran kasus positif yang sudah bercokol di seluruh 34 provinsi Indonesia dengan Case Fatality Rate (CFR) Indonesia yang masih sangat tinggi yaitu sekitar 8.99% (16/4/20) dimana 5.516 orang terkonfirmasi positif dan  496 orang terkonfirmasi meninggal dunia.
Bahkan angka yang dirilis pemerintah tadi saja sebenarnya banyak diragukan oleh berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri. Sebut saja Centre of Mathematical Modelling of Infectious Diseases (CMMID) yang merupakan sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Inggris ini menerbitkan sebuah studi beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia yang baru dilaporkan hanya 2% dari kasus yang sebenarnya terjadi di Indonesia.
Belum lagi pihak Australia menduga bahwa Indonesia melakukan under reporting terhadap pasien kasus COVID-19 yang dikutip oleh Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Achmad Hafisz Tohir  pada 7 April 2020. Lebih jauh Ridwan Kamil selaku Gubernur Jawa Barat dalam conference call-nya dengan Wakil Presiden, Maaruf Amin, menyatakan dia meyakini korban yang sebenarnya terjadi di lapangan adalah berlipat-lipat dibanding data yang dirilis gugus tugas.
Hal yang paling mengkhawatirkan sekarang adalah banyak ahli dan lembaga penelitian di dunia menyatakan bahwa Indonesia dapat menjadi sebuah episentrum baru penyebaran COVID-19 jika penanganan pandemi ini tidak dilakukan secara optimal. Merujuk pernyataan Senior Advisor on Gender and Youth to the WHO, DG Diah Saminarsih dalam diskusi daring Hari Kesehatan Dunia 2020: Aksi Nyata Masyarakat Sipil di Masa Pandemi menyatakan bahwa Indonesia jika tidak secara optimal menangani kasus pandemi COVID-19 maka diperkirakan dapat menjadi episentrum baru yang terutama di kawasan Asia Tenggara dan ujungnya Asia Tenggara dapat menjadi episentrum baru dunia.
Jika meurunut ke belakang, Pak Luhut sepertinya bukan kali ini saja mengeluarkan pernyataan yang blunder dan kurang sensitif pada masa pandemi global COVID-19 ini. Sedari awal pernyataan yang menyatakan bahwa virus COVID-19 yang dapat melemah pada cuaca panas yang ada di Indonesia yang pada akhirnya dibantah secara terang benderang oleh Organisasi Kesehatan Dunia Organisasi (WHO) dalam akun Twitter-nya yang mengatakan tidak ada bukti spesifik yang menjelaskan sinar matahari membunuh coronavirus jenis baru atau COVID-19.
Di lain sisi, perbedaan kebijakannya selaku Plt. Menteri Perhubungan terkait dibolehkannya ojek online mengangkut penumpang dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta serta Kementerian Kesehatan, lalu baru-baru ini komentar terkait jumlah korban 500 jiwa membuktikan bahwa sebagai Menteri Koordinator harusnya Pak Luhut dapat melakukan pertimbangan matang dan berbasis data sahih untuk mengeluarkan berbagai komentar selain juga harus mawas diri bahwa sebagai pejabat teras istana semua pernyataannya menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari citra pemerintah. Karena, mengemukanya komentar-komentar dari Pak Menko ini justru dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap kemampuan dan ketegasan pemerintah dalam menanggulangi pandemi COVID-19 ini.Â
Selain itu juga sikap Pak Luhut yang terkesan menggampangkan pandemi COVID-19 ini justru akan membuat sebagian masyarakat menggampangkan juga potensi bahaya dari pandemi global ini, bahkan pada akhirnya mereka  bisa saja mendapatkan informasi yang tidak akurat dari perilaku Pak Luhut ini yang justru pada akhirnya dapat membahayakan juga bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H