Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Negeri yang Teraniaya

17 September 2019   05:51 Diperbarui: 17 September 2019   05:56 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersebutlah sebuah negeri yang dahulunya kaya, makmur, aman dan sentosa

Tidak heran setiap hari embun tebal yang menyegarkan menyeruak dari hutan hijau tropis nan kaya
Burung-burung bersahutan dengan penuh suka cita
Penduduknya pun mengawali harinya riang gembira
Sebuah definisi hakiki dari Zamrud Khatulistiwa

Konon dahulu penguasa negeri itu adalah seorang yang alim lagi bijaksana
Punggawanya pun amanah dan selalu menunaikan janjinya
Rakyatnya pun patuh dan tunduk atas perintah dan bimbingan penguasanya

Di zaman itu
Kau mungkin bingung membedakan siapa penguasa dan siapa rakyat jelata
Mereka sama-sama terlihat bahagia dan sejahtera
Sejumput senyum kerap menghiasi paras-paras bahagia mereka
Merona memancarkan cahaya cinta

Namun....

Semua itu hanyalah masa lalu yang melegenda

Sekarang negeri itu sakit, tercekik asap dan jerebu hasil ketamakan para oportunis yang menghalalkan segala cara demi meraih tujuannya

Hutan-hutan menghitam terpanggang bersama para penghuninya
Bahkan negeri tetangga pun dibuat resah oleh kumpul asap yang sangat sulit dibendung pergerakannya

Celakanya penguasanya seakan lupa dengan amanah dan janji-janji perjuangannya
Lebih jauh negeri itupun seolah tak berdaya atas kekuatan busuk para penguasanya
Pimpinan mereka layaknya boneka yang hanya dapat berbicara jika tuan-nya memencet tombol di belakangnya
Mereka takut dan bingung ketika dihadapkan pada dilema politik yang mengancam langgengnya kekuasaan mereka
Mereka lemah ketika dihadapkan pada pilihan antara kuasa dan kepentingan rakyatnya

Seolah tidak cukup, rakyat dipaksa menjadi saksi ketika pada dini hari menyaksikan penguasa dan punggawanya bersekongkol untuk semakin membuka keran ketamakan di negeri yang sedang merana

Tidak hanya itu, rakyat sekarang dengan mudahnya diadu domba
Dipecahbelah hanya karena berbeda
Disulut emosi karena informasi yang salah dan mengada-ada
Dihantam kesulitan berbagai rupa

Ya
Kehancuran mungkin mulai nyata, namun cinta dan pengharapan pada Tuhan kekal adanya
Pantang untuk berputus asa
Pantang untuk tidak memperjuangkannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun