Satu bulan menjelang pelantikan DPR RI periode 2019-2024, banyak pihak yang pesimis tentang kinerja yang akan mereka capai di masa mendatang. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pola kinerja DPR RI sebelumnya periode 2015-2019 yang dinilia beberapa pihak buruk bahkan sangat buruk.Â
Melansir siaran pers Indonesia Corruption Watch (ICW) per tanggal 7 April 2019 sangat jelas terlihat tingkat produktivitas dari para anggota DPR RI periode 2015-2019.
Kinerja Buruk DPR 2014-2019
Pada tahun 2014-2015 dari target 40 Prolegnas yang menjadi prioritas hanya 3 UU yang disahkan. Lalu pada 2016 dari target yang ngoyo 51 prolegnas prioritas hanya 11 UU yang disahkan, bahkan pada 2017 dan 2018 jumlahnya menurun menjadi masing-masing 6 UU saja yang disahkan padahal Prolegnas Prioritas pada tahun tersebut masing-masing ditargetkan 51 Prolegnas Prioritas pada 2017 dan 50 Prolegnas Prioritas pada 2018.Â
Bahkan lebih bombastis pada tahun 2019 target Prolegnas Prioritas nampaknya belum ada satupun UU yang disahkan oleh para legislator terhormat senayan tersebut. Semakin tragis ketika kita melihat bahwa 1,62 triliun dana legislasi terbuang demi sidang-sidang dan program terkait yang kurang produktif.
Selain minimnya jumlah UU yang disahkan, substansi UU yang disahkan pun mendapatkan banyak kritik dari berbagai pihak yang paling jelas adalah kritik terhadap subtansi atas revisi UU MD3 pada 2018 lalu.Â
Pasal yang menjadi sorotan adalah pasal 73 yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, DPR berhak memanggil setiap orang dna pihak tersebut diwajibkan untuk memenuhi panggilan tersebut, jika tidak maka DPR berhak dapat melakukan pemanggilan paksa.Â
Untungnya Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan bunyi pemanggilan paksa tersebut karena dinilai secara jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Tingkat kehadiran yang rendah ini sebenarny menjadi sebuah pertanyaan ketika DPR memliki tata tertib sendiri tentang penjelasan kuorum dalam sidang. Bagaimana dengan produk-produk hasil sidang tersebut ketika kuorum saja tidak dapat terpenuhi.
Lebih lanjut masih menurut Lucius, bahwa DPR dinilai tidak teralu kritis terhadap Pemerintah. Meskipun DPR pernah menggunakan hak angket namun kesimpulan dan rekomendasinya ditolak atau tidak diindahkan oleh lembaga yang diberi rekomendasi.