Lebih jauh kualitas keterampilan SDM di Indonesia perlu dengan segera untuk ditingkatkan khususnya pada area softskill. Kemampuan komunikasi dan interpersonnel skills SDM Indonesia dinilai masih kurang dibandingkan dengan negara-negara lain. SDM Indonesia dikenal tipikal pasif dan pemalu dalam dunia kerja.Â
Di dunia kerja jarang kita temukan orang-orang kita yang cakap berkomunikasi dan menyampaikan pendapatnya apalagi kemampuan untuk bernegosiasi dan berkomunikasi dengan pihak lain. Keengganan juga mungkin muncul dari budaya kita yang justru membicarakan dengan nada negatif terhadap mereka yang kontributif dan aktif dalam lingkungan kerja.Â
Banyak dari kita juga yang tidak percaya diri jika hal tersbeut berkaitan dengan penggunaan bahasa inggris. Kita melihat bahwa dibandingkan dengan orang-orang India, Malaysia, bahkan Filipina kemampuan bahasa inggris kita masih sangat tertinggal. Mungkin juga karena bahasa inggris disana sudah dijadikan bahasa kedua bagi negaranya dan histori pernah dijajah inggris cukup banyak berpengaruh terhadap penggunaan bahasa inggris disana.
Kita perlu apresiasi bahwa pemerintahan yang sekarang mulai memokuskan pengembangan SDM. Dengan tagline SDM Unggul, Indonesia Maju menurut Menkeu, Sri Mulyani Indrawati pemerintah akan memfokuskan programnya pada sektor pendidikan, kesehatan, jaringan pengaman sosial, hingga pelatihan kerja.Â
Di sisi lain, Kepala Bapennas mengatakan sesuai arahan presiden "Kuncinya sebagaimana arahan presiden adalah sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, yang terdidik, terampil, berkarakter, sehat dan produktif. inovasi dan penguasaan IPTEK menjadi suatu strategi dalam setiap program prioritas." Pemerintah ingin mengembangkan kualitas SDM di Indonesia dari semua aspek bahkan dari lahir. Pos-pos anggaran dioptimumkan untuk memastikan kualitas SDM terjamin dari mereka lahir sampai dengan selepas perguruan tinggi.
Belajar dari India Sampai Sandiaga Uno
Kita sepertinya perlu mencontoh India sebagai super power penyuplai CEO kelas dunia. Sebut saja Sundar Pichai (Google), Indra Nooyi (PepsiCo,) Sanjay Kumar Jha (CEO Global Foundries), Shantanu Narayen (CEO Adobe), Nikesh Arora (CEO Softbank Internet and Media Inc), Francisco D'Souza (CEO Cognizant), Dinesh Paliwal (CEO Harman International), Sanjay Mehrota (CEO SanDisk), dan Rajeev Suri (CEO Nokia). Bahkan jumlah CEO yang memiliki keturunan India ataupun berasal dari India mengalahkan jumlah dari Tiongkok yang memiliki populasi terbesar dan tersebar di seluruh dunia.
Bagaimana di Indonesia kita sepertinya belum mendengar nama-nama Indonesia yang benar-benar menjadi pimpinan perusahaan kaliber dunia yang dikenal luas. Walau kita patut berbangga beberapa nama seperti Nadiem Makarim Pendiri Superapp Gojek, Sri Mulyani Indrawati yang menjadi pimpinan Bank Dunia, Iwan Sunito yang menjadi Raja Properti di Australia, Yogi Ahmad Erlangga Sang Matematikawan Pemecah Persamaan Helmholtz, BJ Habibie Sang Mr. Crack dalam dunia aviasi dunia, dan lain sebagainya.Â
Khusus untuk dunia seni dan budaya, banyak pekerja seni serta kita yang sudah mulai mendunia sebut saja seperti Livi Zheng, Joe Taslim, dan Joey Alexander. Belum lagi prestasi anak bangsa kita yang terkenal menjadi super power untuk kompetisi paduan suara serta penampilan seni budaya lainnya.
Namun, apakah nama-nama itu cukup untuk menempatkan Indonesia sebagai negara yang mengelola SDM-nya secara baik. Apakah para tokoh itu benar-benar mendapatkan bantuan pemerintah dalam pendidikan dan pengelolaan keterampilannya? Ataukah murni sebagian besar itu adalah kerja keras mereka? Atau bahkan dukungan pemerintah sangat minim selama ini?
Apa yang membedakan Indonesia dan India yang sukses mengorbitkan banyak CEO kelas dunia? Menurut berbagai sumber secara umum, diaspora ataupun orang India secara umum disebut lebih bersahabat, terbiasa dengan keberagaman, mudah beradaptasi, dan sangat percaya diri. Selain itu juga orang-orang India memiliki mentalitas yang kuat dan tahan banting.Â