Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Setelah Pembacaan Putusan Mahkamah Konstitusi, Lalu Apa?

1 Juli 2019   13:44 Diperbarui: 1 Juli 2019   14:41 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak pernah sepertinya pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) semenarik dan mendapatkan atensi seperti pada 27 Juni 2019. Meskipun gugatan atas hasil Pilpres serupa pernah terjadi pada 2014. Sepertinya materi pembahasan dan tensi politik yang tinggi pada tahun inilah yang menjadi penyebab tingginya atensi masyarakat terhadap putusan MK.

Putusan MK yang menolak seluruh gugatan pihak Prabowo Sandi dan secara otomatis memberikan izin kepada KPU untuk mengokohkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai pemenang pemilihan presiden-wakil presiden periode 2019-2024. Di lain sisi, kita melihat masing-masing pihak sudah memberika keterangan terhadap putusan MK. Poin utama yang disampaikan dari pihak Jokowi-Ma'ruf adalah semua pihak harus menerima hasil putusan MK tersebut dan putusan tersebut adalah bersifat final dan mengikat sebuah pihak. Sedangkan di sisi lain Prabowo Sandi di Kertanegara menyatakan menghormati hasil putusan MK, meskipun diliputi dengan kekecewaan.

Jika kita melihat dan mengkaji lebih dalam dari seluruh gugatan yang diajukan oleh kubu Prabowo-Sandi, tidak ada satupun yang diterima oleh MK. Alat bukti dan pembuktian yang tidak sah bahkan tidak validlah yang menjadi alasan dewan hakim MK menolak seluruh gugatan kubu Prabowo Sandi. 

Dengan segala hormat dan tidak mengecilkan kehormatan lembaga MK serta fakta dan proses pembuktian di dalamnya, kita tentu melihat bahwa tidak ada satu pun pernyataan MK yang menyatakan bahwa benar tidak ada sama sekali kecurangan terjadi. Hal ini tentu sejalan jika kita melihat fakta di persidangan. Benar kita harus apresiasi semua pihak terkait terutama dewan hakim MK yang bekerja keras dalam waktu yang singkat membuat sebuah putusan yang menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan, lalu ada pertanyaan pamungkas yang pasti akan sering ditanyakan yaitu apa yang harus kita lakukan ke depan.

Pertama, sebagai warga negara yang tunduk pada konstitusi di Indonesia kita harus menerima putusan MK. Putusan MK adalah putusan final dan mengikat sesuai dengan Undang-undang nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Maksud dari final dan mengikat adalah putusan tersebut efektif berlaku ketika dibacakan dan berlaku bagi seluruh pihak termasuk masyarakat Indonesia (mengikat) dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan (final). Namun, kita juga harus memahami bahwa selama persidangan kita tidak dapat memungkiri banyak permasalahan selama pemilu berlangsung. Dari data ganda di DPT yang akhirnya tebrukti harus diperbaiki KPU sampai dengan banyaknya tindakan kecurangan serta maladminsitrasi di berbagai tempat pemungutan suara.

Kedua, semua fakta persidangan perlu dijadikan bahan pembelajaran dan perbaikan. Untuk KPU perlu dengan segera terus memodernisasi dan memperbaiki baik dari segi prosedural, teknikal, teknologi yang dipakai, bahkan dengan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pemilu. Tidak perlu lagi hajatan bangsa ini direcoki dan dibebani oleh masalah-masalah terkait ketidaksiapan, ketidakrapian, dan ketidaktelitian KPU. Perlu diketahui juga masalah besar seperti DPT sebenarnya tidak hanya bersumber dari KPU tetapi juga dari Kementerian Dalam Negeri sebagi yang mengatur administrasi dan catatan kependudukan Indonesia.

Selain itu juga jadwal pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang serentak nampaknya tidak tepat dilakukan di Indonesia yang memiliki sistem kompleksitas pemilu yang sangat tinggi. Bahkan, kita ketahui bersama banyak para petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang gugur selepas menunaikan tugasnya di masing-masing TPS. Lebih jauh, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga banyak disoroti karena lambannya penanganan terhadap pengaduan kecurangan maupun penyimpangan pemilu.

Ketiga dan terakhir, kita perlu memiliki rasa toleransi dengan pihak yang berseberangan dan memahami arti oposisi. Tidak ada satupun kalimat Mahkamah Konstitusi yang secara menyakinkan bahwa proses pemilu saat ini berjalan mulus tanpa ada masalah. Sedari awal penetapan DPT saja sudah bermasalah, KPU bersama Kemendagri harus berjibakua memperbaiki jutaan DPT yang bermasalah. Namun, lucunya pendukung fanatik 01 banyak juga yang jemawa dengan nada mengejek bahwa kubu 02 terlalu mendramatisir fakta-fakta yang terjadi di lapangan. 

Banyak pendukung 01 yang dengan serampangan mengatakan bahwa kubu 02 hanya berhalusinasi atas semua gugatan yang diajukan. Padahal kita harus tahu bahwa mengajukan gugatan ke MK adalah hak konsitusional mereka. Banyak yang mengklaim bahwa mereka paling toleran, namun untuk sekedar menghormati hak konstitusional orang lain saja masih jauh dari panggang. Bagi kubu 01 tidak perlulah untuk berlebihan menyombongkan kemenangan pilihannya. Bagi pendukung 02 tidak perlu terlalu baper akan ucapan dan selebrasi kemenangan 01.

Jika kemudian 02 menjadi kubu opisisi. Itu merupakan sebuah keuntungan bagi bangsa kita. Karena sesungguhnya baik pihak opisisi maupun pemerintah berkuasa adalah mulia asalkan jujur, adil, dan berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat semata. Bayangkan jika tidak ada oposisi dalam kehidupan bernegara kita, maka akan terjadi kekuasaan absolut yang bisa berujung pada nihilnya value checks and balances antar cabang kekuasaan. Seperti ungkapan Lord Acton, Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely. 

Kita semua tentu tidak ingin jika kita dikembalikan pada era dimana kekuasaan sepertinya didominasi oleh satu golongan saja, sehingga tidak ada saling koreksi dan saling mengingatkan antar-cabang kekuasaan. Kondisi seperti itu akan membuka keran akan kolusi, korupsi, dan nepotisme akan semakin subur dan marak terjadi di negara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun