Mohon tunggu...
Adrian Susanto
Adrian Susanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku menulis, aku ada

pekerjaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tak Semua Anak di Sekolah Swasta Berasal dari Keluarga Mampu

28 Juli 2020   09:24 Diperbarui: 2 Juni 2021   20:06 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang ibu ingin agar anaknya mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Maklum, dia adalah seorang janda, yang telah ditinggal mati suami sekitar 5 tahun lalu. Seorang diri dia harus mengurus 4 orang anaknya. 

Kini keempat anaknya masih sekolah. Yang tertua masih duduk di bangku SLTA, sedangkan yang bungsu baru tahun kemarin masuk SD. Karena itulah, dia pergi ke RT untuk mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Dia merasa "surat sakti" itu dapat sedikit meringankan beban hidupnya.

Ketika ketua RT tahu bahwa anak-anaknya sekolah di sekolah swasta, ketua RT menolak untuk memberikan SKTM. Alasan ketua RT adalah bahwa yang sekolah di sekolah swasta adalah orang mampu. Beda dengan yang sekolah di sekolah negeri. 

Logikanya kurang lebih begini: sekolah negeri gratis, sedangkan swasta bayar. Karena bayar uang sekolah, berarti mampu, sedangkan tidak bayar berarti tidak mampu.

Baca juga :Simak 7 Hal Ini Sebelum Anda Memilih Sekolah Swasta Terbaik untuk Ananda Tercinta

Dengan perasaan sedih, ibu itu pulang kembali ke rumah. Dengan terpaksa dia menguburkan mimpinya akan KIP bagi anak-anaknya. Mau tak mau dia harus bekerja lebih keras lagi agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan. Dia tak mau anak-anaknya putus sekolah.

Kisah di atas sungguh menyedihkan sekaligus memprihatinkan. Menyedihkan karena ketidak-adilan berperan bagi tumbuh suburnya kemiskinan, dan yang menyebabkan ketidak-adilan itu justru berasal dari aparat yang seharusnya berperan dalam mengentaskan orang miskin.

Dari kisah di atas terlihat ada kekeliruan cara berpikir. Ada pendapat bahwa yang bersekolah di sekolah swasta berarti mampu secara ekonomi, padahal belumlah tentu demikian. Ada banyak faktor kenapa orang bersekolah di sekolah swasta, termasuk anak-anak ibu tadi.

Tentu kita ingat persoalan yang selalu muncul di awal tahun ajaran, saat dimulai penerimaan siswa baru. Selalu terjadi keributan. 

Akar keributan adalah tidak dapatnya kesempatan untuk diterima di sekolah negeri. Hal ini dapat dimaklumi karena kapasitas kelas terbatas. Karena itulah, yang tidak dapat di negeri, terpaksa masuk sekolah swasta. 

Baca juga : Derita Sekolah Swasta di Tengah Himpitan Ekonomi Keluarga

Kita seharusnya respek terhadap mereka ini yang tetap memilih untuk tetap bersekolah ketimbang putus sekolah, sekalipun tahu dia harus bayar.

Banyak orangtua mengirimkan anaknya sekolah di swasta karena ada jaminan soal kedisiplinan. Ibu dalam kisah di atas termasuk salah satu di antaranya. 

Sebagai orangtua tunggal, dia membutuhkan hal ini, yang sulit didapat di sekolah negeri. Kalau di sekolah negeri sering terjadi anak bolos apalagi guru jarang masuk. Karena tahu akan disiplin inilah, ibu ini merasa tak khawatir ketika dia harus bekerja dari pagi hingga sore.

Sering sekolah negeri dikaitkan dengan mayoritas pemeluk agama (islam).

Di banyak tempat, banyak sekolah negeri tidak menyediakan pelajaran agama siswa, malah "memaksa" siswa ikut pelajaran agama islam. Demikian pula dengan ibu tadi. 

Baca juga : Tantangan Sekolah Swasta dalam Penerimaan Peserta Didik Baru

Demi pendidikan iman anak-anaknya, dia terpaksa memasukkan mereka ke sekolah swasta. Tapi bukan lantas berarti dia mampu. Secara ekonomi dia sungguh tidak mampu.

Demikianlah 3 alasan kenapa orangtua memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Sama sekali tidak ada kaitan langsung antara sekolah swasta dengan kemampuan finansial. 

Ada banyak anak dari keluarga tak mampu bersekolah di swasta, demikian pula ada banyak anak dari keluarga mampu yang bersekolah di negeri. Karena itu, kurang pas jika jenis sekolah (swasta -- negeri) dijadikan tolok ukur untuk menilai kemampuan ekonomi keluarga, seperti yang dilakukan pak RT dalam kisah di atas.

Terkait dengan KIP, yang menjadi mimpi ibu tadi, menjadi pertanyaan adalah apakah program KIP itu untuk anak yang sekolah di negeri saja atau terbuka juga untuk anak yang sekolah di swasta? 

Menurut kami, seharusnya program KIP itu diprioritaskan bagi anak-anak dari keluarga tak mampu yang bersekolah di sekolah swasta. Artinya, yang bersekolah di swasta didahulukan daripada yang bersekolah di negeri. 

Alasannya, mereka yang sekolah di negeri sudah mendapatkan fasilitas sekolah gratis. Jika sudah gratis, uang dari KIP itu untuk apa? Lebih baik untuk yang di swasta, sehingga uang KIP itu dapat digunakan untuk membayar uang sekolah.

Secara sederhana program KIP itu ditujukan kepada anak dari keluarga tidak mampu agar mereka tidak putus sekolah. Anak dari keluarga tak mampu itu bisa berada di sekolah negeri bisa juga di swasta. 

Untuk itu, prioritasnya adalah yang bersekolah di swasta, karena uang KIP itu dapat dipakai untuk membayar uang sekolah. Dengan demikian, program KIP ini secara tidak langsung membantu juga sekolah-sekolah swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun