Mohon tunggu...
adrian su
adrian su Mohon Tunggu... -

Saat ini tinggal di Tanjung Balai - Karimun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Kepala Daerah Berdemo: Pantaskah?

27 Maret 2012   15:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penentangan terhadap rencana kenaikan harga BBM menimbulkan aksi protes dari banyak kalangan. Kalau yang protes itu mahasiswa atau aktivis, itu hal biasa. Menjadi tidak biasa jika yang melakukan aksi demo dengan turut berorasi menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM adalah para kepala/wakil kepala daerah.

Namun inilah yang terjadi kali ini. Ada beberapa kepala/wakil kepala daerah dengan terang-terangan menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Kita tahu walikota Malang, wakil bupati Bone dan Surabaya. Mereka satu suara dengan para pendemo lainnya: kenaikan itu menyengsarakan rakyat.

Para pimpinan daerah (gubernur, bupati dan walikota) adalah bawahan menteri dalam negeri (mendagri). Sementara mendagri sendiri adalah anak buahnya presiden. Jadi, dapat dikatakan bahwa para pimpinan daerah merupakan perpanjangan tangan presiden. Mereka menjadi corong kebijakan presiden di daerahnya masing-masing. Karena itu muncul pertanyaan, apakah tindakan mereka bisa dibenarkan? Pantaskah (soal etis) mereka berdemo menentang kebijakan pemerintah, yang adalah atasannya sendiri?

Kepala Daerah: Abdi Rakyat atau Abdi Penguasa

Yang perlu diperhatikan pertama adalah sosok pimpinan daerah itu. Mereka menjadi kepala/wakil kepada daerah itu karena jabatan. Kepala-daerahan itu melekat pada diri seseorang karena jabatannya. Jabatan itu, untuk di negara kita, selalu diidentikkan dengan beberapa atribut atau lambang. Misalnya dengan mobil dinas, seragam dinas, atau simbol-simbol lainnya. Di saat orang menanggalkan atribut dan lambang tadi, dia langsung merasa dirinya sama dengan warga biasa. Ketika orang tidak mengenakan lambang atau atribut sebagai simbol jabatan, yang berarti menanggalkan jabatannya, orang menyatu dengan rakyat biasa

Sekedar contoh perbandingan. Dulu orang sangat menghargai dan menghormati polisi/tentara. Rasa hormat itu muncul karena lebih pada rasa takut. Ketakutan menimbulkan rasa benci dan dendam. Sehingga jika ada oknum polisi/tentara berbuat salah, muncul niat rakyat untuk menghajar mereka. Tapi biasanya terlebih dahulu rakyat akan menanggalkan seragam dan atribut lain yang melekat pada tubuh oknum itu. Artinya, yang dihajar oleh rakyat bukan oknum polisi/tentara, tapi pribadi orang itu.

Karena itu, sama halnya dengan para pimpinan daerah. Jika mereka melakukan aksi protes dengan turun ke jalan dan turut berorasi, dengan tidak memakai atribut dan lambang jabatannya, mereka tidak bisa disalahkan. Dengan melepaskan atribut dan lambang jabatannya, berarti mereka sudah menyatu dengan rakyat. Mereka adalah rakyat biasa.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah para pimpinan daerah adalah abdi rakyat. Sekalipun mereka adalah bawahan tak langsung dari presiden sebagai penguasa, mereka adalah abdi rakyat, bukan abdi penguasa. Sebagai abdi rakyat, mereka dituntut untuk mengabdi kepada rakyat. Rencana kenaikan BBM ini jelas akan membuat rakyat menjerit. Karena itu, solidaritas dan menyuarakan suara rakyat adalah bentuk konkret pengabdian mereka pada rakyat.

Mungkin ada yang berkata bahwa yang mereka lakukan itu sangat tidak pantas karena mereka digaji oleh pemerintah. Ada dua hal untuk menyikapi ini. Pertama, di era reformasi saat ini kepala dan wakil kepala daerah langsung dipilih oleh rakyat. Karena itu, tanggung jawab moral mereka pertama kali terarah kepada rakyat, bukan penguasa. Kedua, sekalipun digaji oleh pemerintah, tapi uang itu bersumber dari rakyat. Jadi, bisa dikatakan bahwa mereka menerima gaji dari rakyat. Pemerintah hanya menyalurkan saja.

Selain dua hal di atas, perlu diperhatikan juga adalah bahwa para kepala/wakil kepala daerah adalah manusia. Mereka bukan robot yang dengan sangat mudah disetir oleh pemegang remotte control. Ancaman mendagri terhadap kepala/wakil kepala daerah yang ikutan demo merupakan bentuk penyetiran. Mendagri seakan-akan melihat bawahannya sebagai robot yang dapat dikendalikan seenaknya saja.

Sebagai manusia kepala/wakil kepala daerah punya hati nurani. Hati nurani ini yang menuntun orang untuk bertindak sesuai dengan dirinya, bukan di luar dirinya. Dengan kata lain, hati nurani ini menunjukkan aspek kebebasan dalam diri manusia. Hati nurani juga yang menimbulkan rasa empati dengan penderitaan orang lain. Robot atau mayat hidup tidak punya kebebasan dan rasa empati terhadap penderitaan orang lain. Ikut berdemo dan menyuarakan penderitaan rakyat adalah wujud kebebasan dan empati para pimpinan daerah itu.

Penutup

Dari uraian di atas, dapatlah kita menjawab pertanyaan di atas. Pertama, apa yang dilakukan oleh kepala/wakil kepala daerah yang menentang rencana kenaikan harga BBM tidak bisa dikatakan salah secara moral. Mungkin dari peraturan pemerintahan apa yang dilakukan mereka adalah salah. Tapi perlu disadari bahwa kemanusiaan harus diletakkan di atas aturan manapun.

Kedua, kita bisa katakan bahwa aksi para pimpinan daerah itu pantas. Justru dalam aksinya itu mereka menunjukkan dimensi kemanusiaannya yang bermartabat luhur. Kemanusiaan yang bermartabat itu terlihat bukan dalam homo homini lupus, melainkan homo homini socius.

Tanjung Balai, 27 Maret 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun