Mohon tunggu...
Inovasi

Buku Mitos Jurnalisme

10 Juni 2016   07:20 Diperbarui: 10 Juni 2016   08:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa asing, rata-rata bahasa Inggris, bisa dihindari dan diganti dengan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing bisa atau diperbolehkan dipergunakan dalam tulisan media dengan beberapa alasan. Antara lain tidak ada terjemahan bahasa Indonesia yang tepat dari bahasa asing tersebut. Hanya saja dalam konteks penggunaan ini harus diterjemahkan atau dalam tanda kurung dengan sejelas mungkin sehingga makna yang akan disampaikan media dipahami pembaca.

  • Narasumber tunggal dan tidak kompeten

Salah satu indikator jurnalisme prasangka adalah narasumber tunggal atau tanpa cover (all) both sides. Dengan narasumber tunggal jurnalisme kehilangan keberimbangannya. Narasumber adalah elemen terpenting dari sebuah karya jurnalisme. Ketika narasumber tunggal, ia kian jauh dari kebenaran. Sedangkan jika narasumber tidak kompeten bukan saja menjauh dari kebenaran tetapi menjurus ke arah kesalahan dan kesesatan

  • Penuh prasangka dan tidak ada verifikasi fakta 

Kejujuran yang utama dari sebuah karya jurnalistik sedangkan verifikasi fakta, yang menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah jantung jurnalisme. Jika kejujuran dan verifikasi fakta sudah hilang dari sebuah karya jurnalistik, bisa dipastikan berita itu tidak memiliki orientasi dan bertujuan untuk kebenaran.

  • Nilai kesejatian pers

Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

  • Objetivitas versus subjektivitas media

Secara historis, pers ideal yang menjadi pilar keempat demokrasi yang objektif, netral dan nonpartisipan tak pernah terjadi di negeri ini. Ia pernah dijadikan alat melawan penjajah sebelum Indonesia merdeka, menjadi alat partai politik ketika demokrasi liberal, tangan kekuasaan pada masa Orde Baru, dan kooptasi pemilik modal di era reformasi. Dengan kata lain, pers di negeri ini selalu berpihak dalam wujud apa saja. Dengan kondisi tersebut, wartawan tidak memiliki independensi untuk menentukan kebijakan media, sehingga ada jarak antara berita sebagai produk jurnalistik dengan profesionalismenya.

Dalam buku ini juga terdapat lampiran 1 berupa Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Deklarasi Prinsip-Prinsip Federasi Internasional Wartawan (IFJ), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Lampiran 2 berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lampiran 3 berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Lampiran 4 berupa Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Resensi buku ini ditulis oleh Anastasia Della Resti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun