Tanggal 14 Mei yang lalu, KPU secara resmi menetapkan 560 caleg terpilih dalam Pemilu legislatif bulan April yang lalu. Sebanyak 97 perempuan terpilih. Dibandingkan hasil pemilu 2009, jumlah perempuan di DPR ini hanya turun satu persen saja. Lalu apa makna dan penjelasan dari kemandekan jumlah keterwakilan perempuan ini. Padahal gerakan keterwakilan perempuan mengharapkan peningkatan jumlah perempuan dibandingkan pemilu sebelumnya. Tulisan ini akan menjelaskan masalah dalam sistem pemilu 2014 dan kendala rekrutmen yang dihadapi oleh caleg perempuan dalam memenangkan kursi DPR.
Sistem pemilu yang tidak ramah
Sejak agenda kuota keterwakilan perempuan diluncurkan pada tahun 2003 lalu, perempuan di partai politik dan kelompok masyarakat sipil menginginkan adanya system pemilu yang ramah dan memudahkan bagi keterpilihan perempuan di pemilu. Sistem proporsional terwakili tertutup dengan penempatan 30 persen perempuan dalam daftar kandidat di setiap dapil adalah sistem yang diyakini ramah oleh gerakan perempuan. Meski secara perlahan perempuan mampu mendorong agenda kuota 30 persen hingga akhir tahun 2008, tetapi gerakan perempuan harus merasakan kekecewaan dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem proporsional terwakili tertutup tersebut. Dan sejak pemilu 2009, Indonesia menerapkan system proporsional terwakili terbuka, dimana sistem ini mendorong kompetisi bebas antar caleg untuk memenangkan kursi parlemen. Penentuan pemenang dari setiap partai pun berdasarkan suara terbanyak, bukan ditentukan partai seperti yang diinginkan oleh kelompok perempuan. Padahal menurut mereka, salah satu kelemahan sistem terbuka ini, keterpilihan perempuan akan rendah berdasarkan pengalaman di banyak negara karena keterbatasan akses politik dan dukungan finansial caleg perempuan. Aturan kuota perempuan semakin diperkuat dan kepatuhan semakin baik berdasarkan pengakuan KPU bahwa semua partai politik mampu memenuhi 30 persen dalam setiap daftar kandidat di setiap dapil. Apakah benar aturan tersebut dapat meningkatkan jumlah perempuan? Tentu tidak.
Kekhawatiran di atas terbukti dalam pengalaman empiris para caleg perempuan di pemilu 2009 dan pemilu sekarang. Setiap caleg berusaha sekeras mungkin dalam memenangkan suaranya di dapil dengan menggunakan berbagai cara, termasuk politik uang kepada pemilih dan panitia pemilu. Karena kompetisi yang bebas ini dan lemahnya kontrol institusi partai dalam mengatur keterpilihan calon, para caleg mengandalkan kekuatan tim pribadi untuk memobilisasi dukungan pemilih. Seusai pemilu 2014, para caleg perempuan tangguh dan incumbent seperti Eva Sundari dan Nurul Arifin berkomentar keras terhadap maraknya politik uang dan politik sikut-sikutan sesama caleg dari satu partai. Namun bagaimana dengan para caleg perempuan lainnya? Sebagian besar caleg perempuan berada dalam posisi yang lemah dan sulit untuk memenangkan kursi parlemen karena mereka memiliki keterbatasan kemampuan finansial dalam kampanye dan keterbatasan dalam memperoleh akses yang memadai dalam menjangkau sumber dukungan pemilih. Bahkan berita caleg yang mengalami tekanan berat atas kekalahannya melakukan tindakan diluar dugaan, seperti bunuh diri yang dilakukan caleg perempuan di Kota Banjar di pemilu April lalu. Jumlah perempuan yang terpilih meningkat dalam pemilu 2009, namun pemenang kursi tersebut adalah para caleg perempuan yang berasal dari kalangan dinasti dan keluarga para pengurus partai. Hal yang sama juga terjadi pada pemilu 2014 ini. Artinya sistem proporsional terwakili tertutup dengan berbagai dukungan kepatuhan terhadap kuota 30 persen membuktikan bahwa jumlah perempuan tidak mengalami kenaikan.
Rekrutmen caleg: demi kursi atau afirmasi
Salah satu kendala yang krusial dalam peningkatan jumlah keterwakilan perempuan adalah bagaimana partai menentukan siapa dan dimana para kandidat perempuan ditempatkan untuk memenangkan suara pemilih. Logika sederhana dalam pemilu adalah partai berharap pada pada caleg yang memiliki potensi kemenangan yang besar di setiap dapil. Dalam kerangka berpikir itu sebenarnya partai harus mengakomodir pentingnya kuota perempuan di daftar kandidat setiap dapil dan meminta para caleg perempuan tersebut untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Tetapi apa yang terjadi. Para caleg yang terpilih adalah para incumbent, artis dan mantan atlit, keluarga pejabat di nasional dan lokal, serta keluarga dinasti politik di tingkat lokal dimana mereka memiliki popularitas dan dukungan finansial yang memadai. Padahal para caleg yang populer ini direkrut dalam waktu yang instan dan bukan kader partai yang memang disiapkan dalam memenangkan pemilu. Sementara para caleg perempuan yang berasal dari pengurus partai di daerah dan aktivis masyarakat sipil yang lemah dalam elektabilitas dan finansial tidak mampu mendapat dukungan pemilih secara maksimal. Maka, hasil pemilu 2009 dan 2014 membuktikan bahwa partai politik masih memikirkan jumlah dukungan pemilih yang besar, tetapi mengabaikan dukungan keterpilihan caleg perempuan. Dalam konteks rekrutmen, partai politik masih belum memikirkan secara serius bagaimana membangun rekrutmen caleg yang mampu menampung dua gagasan yang berbeda: memenangkan kursi dan mengafirmasi kelompok perempuan.
Reformasi aturan kuota internal partai
Membaca hasil pemilu 2014 ini, agenda penting yang harus dilakukan oleh partai politik adalah reformasi aturan internal partai terkait dengan kuota perempuan. Saya mengapresiasi kepatuhan semua partai politik dalam menjalankan ketentuan aturan 30 persen caleg perempuan. Namun demikian, apabila jumlah keterwakilan perempuan tersebut harus meningkat, kepatuhan tersebut harus diiringi dengan sebuah mekanisme internal partai politik yang mendorong keterpilihan perempuan lebih mudah. Salah satu mekanisme yang penting dilakukan adalah reformasi proses rekrutmen caleg yang telah disinggung di atas. Partai politik dapat merumuskan kembali model rekrutmen caleg yang dapat mengimbangi kebutuhan untuk pemenuhan suara terbanyak dan mengatur keterpilihan caleg perempuan. Partai politik dapat meminta setiap caleg yang minat untuk berkompetisi dalam Pemilu 2019 untuk melakukan persiapan dini secara serius. Partai juga melakukan pemantauan secara reguler demi menjamin keterpilihan caleg di dapil tersebut. Artinya reformasi mekanisme rekrutmen caleg ini memiliki tujuan untuk menghasilkan para caleg yang memiliki kesiapan dukungan politik yang memadai sebelum terjun dalam ajang pemilu 2019. Tentu reformasi aturan tersebut dapat mereduksi bagaimana politik uang bekerja dan menjaga ikatan sosial antara pemilih dan politisi.
Oleh karena itu, agenda reformasi aturan kuota internal partai ini tidak hanya ingin mendesakkan peningkatan jumlah perempuan di pemilu yang akan datang, tetapi agenda ini memiliki urgensi dalam membangun rekrutmen caleg yang profesional dengan batasan-batasan yang jelas dan terukur. Ke depan rekrutmen caleg di setiap parpol memang diharapkan mampu menghasilkan kualitas anggota dewan yang mumpuni dalam kapasitas dan akseptabilitas, bukan yang tercermin dari apa yang terjadi belakangan ini. Dalam konteks keterwakilan perempuan, agenda ini tentu dapat membuka ruang partisipasi yang lebar bagi perempuan di partai politik untuk membuktikan diri bahwa mereka adalah kader partai yang memiliki peluang yang sama dengan para kandidat yang populer dan memiliki sumber finansial yang memadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H