Sungguh sesuatu hal yang sangat menyejukkan ketika saya melihat headline sebuah surat kabar bergambar capres/cawapres saling cipika-cipiki. Mereka begitu dekat, begitu akrab. Begitu damai.
Seperti halnya semut. Ada banyak orang sering mengamati tingkah laku binatang peliharaannya. Kalau saya, sering mengamati tingkah laku semut. Dari yang berjalan di lantai rumah, meja makan hingga halaman rumah. Tidak membunuhnya dengan ‘kapur ajaib’ atau disiram air.
Konon semut punya 12.000 spesies. Entah jenis apa ya yang sering saya amati. Dari yang kecil warna kecoklatan atau semut hitam yang lebih besar. Saya percaya, memang ada bagian pekerjaan di antara mereka. Ada semut pekerja, semut pejantan dan ratu semut. Nampaknya hanya semut pekerja-lah yang saya amati. Semut pejantan dan ratu semut tinggal di sarang.
Semut sangat tahu di mana letak makanan. Satu ekor semut tahu, maka tak lama lagi berbondong-bondong semut lain yang siap mengangkat remah-remahan biskuit menuju sarangnya. Porsi makanan terbanyak untuk sang ratu, kayaknya nih! Informasinya ya dengan ‘cipika-cipiki’ itu.
Demikian halnya dengan ‘kue kekuasaan’. Di mana ada kursi, berbondong-bondong politisi ingin menduduki. Dengan cara koalisi. Atau bagaimana cara lainnya.
Lanjut ke semut. Sekali waktu jika deretan semut sudah banyak, maka saya iseng memilah barisan dengan berbagai “ancaman” seperti tetesan air. Mereka kemudian mencari jalan alternatif lain. Jika seekor semut saya tekan lembut dengan jari, maka sederetan semut akan berhenti beraktifitas sejenak untuk melihat nasib sesamanya. Jika sampai setengah mati, mereka akan mengangkut temannya terlebih dahulu ke kandang dan menomerduakan makanan yang ditemukannya tadi.
Bagaimana halnya dengan posisi? Selalu saja akan ada yang menggoyang. Bukankah baru mau akan koalisi saja sudah loncat sana-sini, pindah dukungan. Ada yang terang-terangan menolak capres/cawapres sesuai keputusan partai tapi tidak mau pindah partai. “Kalau diberhentikan, saya siap!” alias menolak mengundurkan diri.
Mengapa? Memecat kader potensial, parpol nanti akan rugi sendiri. Kadernya berhenti sendiri, iya kalau diberi posisi oleh capres/cawapres yang didukungnya, lhah kalau enggak? Ah! Jelas lebih aman dan kuat berdiri di dua kaki toh? Pilih nomer 1 atau 2, Golkar tetap dapat kursi empuk.
Hmm…Saya belum pernah melihat seekor semut yang membangkang lalu menolak masuk sarang dan pindah ke sarang lainnya, tuh! Sarangnya ya itu-itu saja. Jenis/koloninya ya sama. Kalau sarang rusak, ya buat lagi dengan gotong royong. Sampai pada tujuannya, mereka baru istirahat masuk sarang semua.
Siapapun nanti yang akan jadi pres/wapres, akan tetap ada “ancaman” internal atau eksternal. Kalau mau seperti jaman Soeharto atau SBY, maka akan ada porsi posisi menteri lebih banyak dan lebih penting. Akan ada yang bekerja sesuai garis dan kepentingan parpol. Akan ada yang terus kusak-kusuk demi uang proyek. Akan ada yang menolak mundur ketika jadi tersangka.
Beda dengan semut. Semut mengusung makanan dengan alur dan jalur yang jelas. Tujuannya jelas. Semua dibagi rata. Tidak akan ada yang menelikung dan makan sendiri makanan yang diusungnya hingga habis di tengah jalan.
Berikut secuplik ayat suci yang mendasari pemikiran saya : "Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makananannya pada waktu panen..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H