Mohon tunggu...
Adolfus Arung
Adolfus Arung Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang penghayal

Masih bujang dan mungkin tetap bujang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Hari di Kelasku

14 Maret 2021   00:57 Diperbarui: 14 Maret 2021   01:13 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu, ruang kelasku nampak lesuh. Teman gadisku, Intan dengan lesungnya menoleh sedih sembari mengipasi mukanya dengan selembar kertas. Sesekali ia memandang ke pojokan kelas yang memang disana tak ada apa-apa.

Kucoba mengikuti arah tatapannya tetapi tetap saja tak memunculkan arti apa-apa.

Kemudian kupandang lagi gadis di kelasku, Ija Namanya. Seorang gadis yang juga lengkap dengan lesung dan dengan lekukan wajah penuh nilai. Senyumnya yang setiap hari terpancar kini seperti dihantam badai tak dikenal. Murung, seperti burung yang tak lagi melihat sarangnya.

Kucoba memahami apa yang dirasakannya. Berbagai bentuk metode penilaian untuk memastikan apa yang sedang dia rasakan kugunakan. Lagi-lagi rasanya tak tertangkap radar penilaianku.

Beralih kepada sosok paling imut di kelasku, Alfred namanya. Alfred seorang bujangan kelas kakap yang memiliki pesona melebihi pesona siapapun dimuka bumi ini. Keimutannya tak dapat diukur dengan alat ukur manapun, melebihi maksimal ( tapi bo'ong). Hari ini wajah imutnya ternodai dengan sesuatu yang lagi-lagi tak bisa kupahami. Dia seperti linglung tak mengerti apa-apa. Ia sesekali memandang wajah si intan gadis pujaannya. Sejauh yang kupaham, pandanganya kepada intan kala itu bukanlah pandangan cinta. Lebih kepada pandangan manusia yang tak mengerti apa-apa.

Semakin bingung aku menarik kesimpulan dari premis-premis itu.

Berlanjut kepada si Fahmi. Pria dengan postur tinggi namun kurus. Manis senyumnya, tajam tatapnya tapi sayang dagingnya tak ada. Hanya tulang yang terpampang. Rambutnya kriting plus tak diurus.

Ketika aku melihatnya, wajahnya seperti tikus yang ketakutan dikejar kucing dan kemudian bersembunyi dibelakang ekor sang kucing. Ingin kutanya tapi kupikir dia tidak mungkin mampu menjawab apa yang dirasakannya saat itu. Tidak beda seperti yang lainnya.

Aku semakin penasaran, tibalah saatnya si Wulan yang kupandang. Matanya yang hitam pekat, dengan manisnya menambah gairahku untuk memandang. Lekuka tubuhnya terpampang nyata di depan mataku ketika ia melintas di depanku.

Namun, ada yang aneh dengan Wulan yang hari ini. Bibirnya yang dibalut lipstik dirusak dengan caranya tersenyum, tanpa rasa. Garis mukanya pun tak ceria, nampak seperti seorang kekasih ditinggal saat hasrat mencintainya mencapai klimaks.

Aku bingung lagi, ada apa dengan dia? Adakah hatinya sedang susah? Belenggu apakah yang sedang terjadi?

Tak puas kupandang si Wulan, kembali ku tengok sepasang kekasih di kelasku Candra dengan Yasi. Sepasang kekasih yang terlahir dengan warna kulit dan jenis rambut yang bertolak belakang, tapi kasih dan cinta memadukan perbedaan sehingga membuatnya indah dan menarik.

Sekilas, mereka yang sedang memadu rasa terlihat seperti sedang bermusuhan. Si Yasi, gadis Malaka yang biasanya tersenyum manis ketika berada disebelah kekasihnya hari ini terlihat seperti seorang yang kehilangan sesuatu. Si Yasi yang biasanya kegirangan dengan candaan romantis dari sang kekasih, hari ini seperti menepis hal-hal itu.

Hemm.... Ada apa ini mengapa semuanya seperti ini. Adakah yang pernah tau mengapa mereka demikian?

Tak jauh beda dengan yang lainnya. April si gadis Oinlasi dengan testa selebar tangan dan rambut keriting namun seperti madu saat senyum (madu, manis dan menyehatkan), hari ini kehilangan semua julukan yang kutanamkan padanya. Mata, yang biasanya mengarah pada si Maulana sang Pujaan hati, tiba-tiba hari ini menunduk menatap garis-garis yang dibuatnya di halaman akhir buku. Awalnya kukira dia mencoba bermain sajak, eh nyatanya hanya bermain tinta tanpa menghasilkan keindahan apapun.

Ini pertanyaan besar bagiku, masalah apa yang membuat orang-orang di kelasku tak lagi seperti semula?

Pukul 13.00 bunyi lonceng tanda bahwa pelajaran hari ini selesai. Aku pun terbangun dari tidurku melihat guru dan teman-temanku bersiap untuk pulang. Tapi, mengapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun