Baru-baru ini dunia wisata Indonesia dikejutkan kejadian turis dari Singapura di gigit seekor Komodo (Komodo Variensis). Kejadian jauh dari Jakarta, di Kampung Komodo, berkat akses internet begitu cepat bergema. Bahkan tidak mustahil bergaung ke dunia wisata internasional.
Muncul komentar, “wah ngeri ya bisa sampai di gigit”. Komentar yang saling sambung menyambung berdampak ketakutan. Bagi yang berminat ke sana mikir panjang lagi. “ah jangan-jangan gue disantap komodo”.
Musibah kah?
Pastinya jika pihak Taman Nasional Komodo (TNK) tidak segera merespon, sedikit banyak akan mencoreng image pariwisata setempat. Seakan-akan sangat berbahaya. Padahal sedang menggebu-gebunya promosi ke Labuanbajo. Apalagi mulai terlihat angka kenaikan turis lokal berkunjung kesana. Sebelumnya lebih banyak turis asing.
Merunut berita yang di terima. Seorang turis tadi yang adalah fotografer, suatu hari didampingi ranger (guide) setempat berjalan di sekitar Kampung Komodo. Kampung Komodo ini adalah salah satu pulau termasuk wilayah TNK yang dihuni sekitar 1000 warga. Di pulau ini juga hidup sejumlah Komodo. Selain bisa kita lihat di Pulau Rinca dan Pulau Komodo.
Hidup bersama Komodo bagi warga Kampung Komodo adalah hal yang biasa. Melihat latar belakang ada ikatan batin antara warga dengan Komodo. Bukan tidak menyadari bahayanya Komodo sebagai binatang liar, tapi warga tidak menganggap Komodo sebagai ancaman apalagi musuh.
Turis tadi, yang di dampingi ranger setempat, melihat ada kambing di buntuti seekor Komodo lalu di gigit. Biasanya korban tidak langsung meninggal. Butuh 3 hari sekitar 60 bakteri di air liur Komodo membuat korbannya lemas. Selama proses pelemasan tadi si komodo dengan sabar mengikuti kemana korbannya melangkah. Tiba saatnya korban tidak berdaya, maka saatnya si komodo makan besar.
Keesokannya, 2 hari kemudian versi lain, si turis seorang diri tanpa didampingi ranger mencari kambing tadi. Ia sudah paham pasti yang menyantap bukan satu dua komodo. Momen inilah yang ditunggu si turis tadi.
Saat asyik, fokus, melakukan pemotretan, si turis tadi tidak waspada di sekelilingnya. Rupanya ada satu komodo yang “naksir” dengan gerak-gerik turis lalu kaki-nya di gigit. Maka terjadilah!
Untungnya si turis tadi masih bisa berteriak dan didengar warga. Segera dilakukan pertolongan pertama. Tindakan selanjutnya dibawa ke rumah sakit Siloam di Labuanbajo. Jika menggunakan speed boat butuh kurang lebih 1.5 jam dari Kampung Komodo ke Siloam.
Dari kejadian ini pasti bikin merinding. Jika tidak segera ditolong pasti si turis tadi akan “lewat” dengan proses menyakitkan. Bakteri racun yang bekerja dalam tubuhnya pasti akan menyiksa tubuhnya.
Pertanyaannya, “kog bisa ya? Maksudnya si turis tadi di gigit komodo?”. Ya bisa saja. Kasus digigit Komodo memang memungkinkan terjadi. Tapi faktanya masih bisa dihitung pake jari. Tapi sejauh ini jarang terjadi karena ada aturan yang diterapkan dan harus dipatuhi setiap pengunjung.
Masalahnya ya itu tadi. Pertama, saat kejadian si turis tidak didampingi ranger. Mungkin dianggap tidak perlu dan merasa aman-aman saja. Tokh hari sebelumnya sudah didampingi. Nah ini satu kesalahan.
Aturan di TNK semua turis harus didampingi ranger. Ranger yang berpengalaman, paham betul watak dan karakter Komodo. Ranger nomor satu akan bertindak jika tiba-tiba menghadapi perilaku agresif komodo. Ia tahu dan paham bagaimana harus bertindak. Intinya, ranger bertanggungjawab jangan ada “kejadian”.
Karena aktivitas si turis tadi termasuk Ilegal, maka konsekuensi biaya pengobatan ya ditanggung sendiri. Tidak memiliki tiket masuk resmi otomatis proses administrasi dan pengobatan menjadi tanggung jawab si turis.
Kesalahan kedua, si turis tadi tidaklah waspada saat kejadian. Sebagai fotografer yang sama-sama menyukai outdoor (landscape), saya paham betul bagaimana excited-nya seorang fotografer jika mendapat obyek yang disukainya. Itu juga terjadi pada diri saya saat menemukan obyek foto menarik yang saya suka, tidak hanya di TNK.
Jika si turis tadi Cuma hobi, mendapat obyek saat komodo dengan liar menyantap santapannya, merupakan obyek eksklusif. Pasti hasilnya akan mendapat apresiasi sesama rekan fotografer dan publik. Jika ia fotografer profesional, yang biasa menjual hasil fotonya, sudah terbayang sekian dollar masuk ke kantongnya.
Akibatnya ia kurang waspada jarak aman dengan komodo. Ia juga kurang waspada dengan kehadiran komodo lain yang mendekat ke arahnya. Salah satu yang bikin Komodo agresif jika yang dilihatnya banyak pergerakan.
Dua kali saya trekking di pulau Rinca. Yang terakhir mengalami kejadian yang sempat bikin jantung berdegup kencang. Didampingi seorang ranger, di salah satu spot trekking tiba-tiba sang ranger minta kami menghentikan langkahnya. Benar saja. Berjarak kurang lebih 10 meter, dari semak-semak, seekor komodo yang panjangnya sekitar 3 meter, mengendus dan berjalan pelan ke arah kami.
Menegangkan! walau tidak tahu harus menyingkir kemana jika instruksi itu muncul. Untung lah akhirnya si Komodo membelok-kan langkahnya, tidak jadi meneruskan ke arah kami. Lega....!!
Pengalaman menegangkan ini, membuat saya bisa membayangkan seperti kondisi si turis saat digigit Komodo. Ceroboh, tidak waspada, kira-kira begitulah yang ingin saya katakan. Terlalu fokus ke kamera, berburu obyek, akibatnya ya begitulah.
Wah jadi ikut memvonis ya. Tapi begitulah. Jika si turis tadi tetap waspada, hati-hati, dan di dampingi ranger, pasti tidak sampai kejadian.
Jadi... dari kejadian ini bisa mengambil kesimpulan, apakah kejadian ini musibah atau....?
Pengalaman Lain
Terlepas dari kejadian si turis tadi, saya jadi teringat penuturan seorang ranger yang mendampingi saya. Suatu saat ia membawa rombongan 5 orang semuanya wanita. Mengambil trekking pendek sekitar 1 jam di Pulau Rinca. Saat registrasi pertanyaan standar dan harus dilakukan sang petugas, adakah yang sedang menstruasi. Dijawab, tidak ada.
Saat di base camp barulah rombongan kecil tadi di “sidang”. Ditanya sekali lagi siapa di antara mereka yang ternyata sedang menstruasi. Barulah ada yang mengaku. Salah satu anggotan rombongan ternyata baru saja “dapet”. Saat ditanya tadi ia terpaksa berbohong. Jika berkata jujur pasti tidak boleh ikut trekking. Ngga mau rugi, udah jauh-jauh datang, biaya besar, masa ngga bisa trekking. Begitu alasannya.
Iya... tapi jangan lupa. Komodo mampu mengendus bau darah dari jarak 10 kilometer. Ini tidak main-main. Bukan Cuma teori. Yang dipertaruhkan adalah keamanan diri masing-masing. Siapa sangka jika tiba-tiba Komodo ber-perilaku agresif. Sangat mungkin tiba-tiba Komodo berlari menyerang calon mangsanya. Ini yang juga harus di waspadai.
Karenanya salah satu “syarat” jika ingin melihat komodo entah di pulau Rinca atau Pulau Komodo, terutama bagi wanita, perkira-kan jadwal menstruasi. Jangan sampai setelah tiba malah “dapet”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H