Sejak berkenalan dengan mbah Lindu, saya selalu sempatkan mampir. Meski tempat terbatas, saya selalu memilih menyantap disana. Makan di tempat terasa lebih nikmat ketimbang bawa pulang. Penyajiannya menggunakan pincuk daun pisang tanpa di lapis piring atau sejenisnya. Asyik khan. Benar-benar tradisional. Saking cocok di lidah biasanya nambah atau minimal satu setengah porsi. Tidak pernah berubah pilihan menu, gudeg, telur, tahu, krecek, sambel.tidak pernah menikmati ayam kampung meski katanya nikmat. Tidak mikir-kan lagi harga karena menurut saya sudah cukup murah. Kisarannya sekitar 15 ribu-an.
Lebih dari itu melihat penampilan bu Lindu, saya jadi baper, terbawa perasaan. Saya teringat dengan nenek almarhum. Sayang, saya tidak lama bersama nenek. Usia 8 tahun nenek sudah di panggil menghadap Sang Pencipta. Terkenang, sempat merasakan bagaimana perhatian dan rasa sayang nenek terhadap saya. Saat bu Lindu meracik pesanan dan menyerahkan saya, persis yang dilakukan nenek saat menyiapkan entah makan pagi atau siang ke saya. Saya masih ingat itu. Tidak jarang nenek memasak langsung untuk saya. Persis seperti bu Lindu dari A-Z menyiapkan semuanya untuk pelanggan. Oalaaaaa......kayak beginilah kalau udah baper.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H