Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berguru kepada (Gudeg Tempo Doeloe) Mbah Lindu

26 Maret 2017   20:22 Diperbarui: 27 Maret 2017   10:00 3157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi pribadi. Ciri khas jika kita menyantap di tempat, tidak menggunakan piring melainkan daun pisang. Khas Gudeg tradisional

Koleksi pribadi. Pelanggan Gudeg Mbah Lindu sudah maklum kondisinya. Dengan sabar menanti pesanannya.
Koleksi pribadi. Pelanggan Gudeg Mbah Lindu sudah maklum kondisinya. Dengan sabar menanti pesanannya.
Konsisten, fokus. Membuat dan berjualan Gudeg sejak jaman Belanda. Berarti sudah puluhan tahun, melewati sekian generasi, terus dan secara konsisten berkutat dengan Gudeg. Sepantasnya mengatakan ....wooouwwww.... sebagai wujud kagum kepada mbah Lindu. Mbah Lindu adalah Gudeg. Gudeg adalah mbah Lindu. Kira-kira begitulah gambaran betapa Gudeg telah menyatu dengan dirinya.

Mungkin juga puluhan tahun ada kesempatan untuk membuat dan menjual panganan lain yang lebih menguntungkan. Tetapi rupanya pilihan tetap pada Gudeg. Dalam istilah manajemen modern, konsisten, fokus... fokus... fokus....sebagai salah satu kunci sukses bisnis modern. Meskin yakin mbah Lindu ngga akrab dengan istilah begitu.

Konsisten lain yang di terapkan mbah Lindu adalah proses memasak yang masih menggunakan kayu bakar. Yakin bisa aja menggunakan teknologi kompor modern agar tidak repot dan lebih efisien. Tapi demi mempertahankan rasa yang khas tetap menggunakan cara tempo doeloe.

Mbah Lindu masih mempertahakan tangan “sakti”nya dalam meracik bumbu dan mengolah gudeg. Tidak berubah. Dari dulu sampai sakarang masih ia lakukan sendiri. Padahal jika mau bisa saja menggunakan tangan yang lain yang sudah ia didik dan latih.

Bekerja...bekerja...bekerja... Di usia senja wajar jika bu Lindu sudah memasuki masa pensiun sebagai pembuat dan penjual gudeg. Logika, yakin dokter juga akan menyarankan untuk meng-istirahatkan fisiknya sambil menikmati hasil jerih payah sekian puluh tahun. Menyerahkan kepada anaknya atau pegawai yang di percayakannya.

Tapi, penuturan anak bungsu yang selalu mendampingi-nya, mbah Lindu tidak mau di bantu. Semua dilakukan sendiri. Mulai dari memasak, meracik, sampai menjual. Tutup jam 10, pulang sampai di rumah masih kerja meracik dan masak sampai sore. Itulah waktu istirahatnya sampai jelang subuh dini hari menuju lapaknya di Sosrwijayan. Ngga mau diam saja di rumah. Malah badan bisa sakit jika ngga kerja.

Sederhana. Menilik usianya Bu Lindu layak mendapat title, “penjual Gudeg Tertua di Yogya”. Menurut saya lebih dari itu. Usia dan pengalaman puluhan tahun sangat pantas di sebut “pakar gudeg”. Jarang mendengar khan “pakar gudeg”? Tidak perlu seperti sekarang, bu Lindu pun sudah pantas menjadi trainee untuk jenis makanan khas tradisonal seperti Gudeg, Lumayan bisa menambah penghasilan. Tapi...apa yang bisa dilihat sampai sekarang. Penampilan bu Lindu tetap sederhana.

Melihat pelanggannya tidak sedikit, banyak yang cocok, dengan racikannya, kenapa tidak membuat frenchisse aja? Melihat pengalaman dan hasil racikannnya, aneh jika tidak ada pe-bisnis makanan tidak menganjurkan bu Lindu untuk mengembangkan usahanya melalui frenchisse tadi salah satunya.

Tidak perlu lagi jualan di Pos Kamling. Ganti menjadi warung yang lebih modern dan nyaman. Pelanggan pasti akan mencarinya dimana pun lokasi membuka warung. Pelanggan tidak perlu berdiri antri jika lagi ramai..

Tapi apa yang kita lihat jika datang langsung kesana? Saya pribadi memiliki kekaguman, angkat topi, dengan kesederhanaan mbah Lindu.Tidak tergoda masuk dalam pusaran bisnis modern meski sah-sah saja jika akan melakukan itu..

Koleksi pribadi. Ciri khas jika kita menyantap di tempat, tidak menggunakan piring melainkan daun pisang. Khas Gudeg tradisional
Koleksi pribadi. Ciri khas jika kita menyantap di tempat, tidak menggunakan piring melainkan daun pisang. Khas Gudeg tradisional
 Baper

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun