Yeaaa...setelah tahu pembedaan itu, sebagai penggemar Gudeg lidah harus terlatih peka dengan rasa gudeg modern dan tradisional. Sejujurnya lidah ini lebih akrab dengan gudeg tempo doeloe. Salah satunya adalah Gudeg mbah Lindu.
Setelah puas menikmati suasana pagi jalan Malioboro, pasangan saya mengajak menuju jalan Sosrowijayan, Gedong Tengen. Tidak jauh dari Malioboro. Dari jauh di sebelah kiri jalan terlihat kerumunan orang. Rupanya di situlah tempat Gudeg mbah Lindu. Di situlah juga yang menjadi tujuan untuk sarapan pagi.
Dari jauh terlihat ada kerumunan di pinggir jalan. Setelah dekat baru jelas, ternyata yang di kerumuni adalah seorang nenek yang sudah lanjut usia bernama mbah Lindu. Duduk di kerumuni pembeli dan beberapa baskom berisi berisi gudeg, ayam, tahu, telur, sambel goreng krecek. Meski sudah tidak cepat, tangannya masih terampil meracik gudeg pesanan pembeli tadi.
Nenek bertubuh kecil, berusia 97 tahun, seharusnya di panggil mbah Setyo Utomo sebagai nama aslinya. Entah kenapa dan sejak kapan malah akrab di panggil bu Lindu.Semakin populer dan seakan menjadi merek dagang, “Gudeg Mbah Lindu” Sosrowijayan.
Ilmu dari mbah Lindu
Ngobrol langsung dengan mbah Lindu susah susah gampang. Susahnya bukan karena keterbatasan fisik misalnya, maaf, pendengaran di usia senjanya. Bukan itu. Mbah Lindu masih tetap bugar. Berhubung pelanggannya banyak, mbah Lindu harus fokus melayani pembeli satu per satu. Menyiapkan pesanan pelanggan di lakukan sendiri. Selain itu lebih mudah ngobrol jika tidak menggunakan bahasa Jawa.
Untungnya pasangan saya guru bahasa Jawa. Bisa jadi penerjemah untuk selama interaksi. Gampangnya, jika pelanggan sudah dilayani semua, mbah Lindu tidak pelit cerita. Berbagi cerita sejak ia jualan jaman Belanda, jaman Jepang, perjuangannya jalan kaki dari rumahnya di Sleman menuju tempat jualannya sekarang. Dari beberapa kali ngobrol, sambil menikmmati sarapan, ada pelajaran yang saya dapatkan dari mbah Lindu.