Setelah itu lanjut perjalanan panjang. Setengah perjalanan kami manfaatkan tidur. Pasrah kepada cara bawa driver mobil. Ada mulus jalan lurus, ada juga rute berliku-liku. Melewati ruas jalan yang kiri-kanan hutan lebat. Jarang kami berjumpa penduduk. Serta tidak melihat penerangan jalan. Terbayang jika malam-malam lewatin sini gelap total. Wuiii...ngeri juga kalau belum terbiasa.
Sekitar pukul 3 siang, tiba lah kami di Lisar Bahari, desa Sawai. Di sambut ramah, dengan penuh senyum, sang owner, Bapak Ali. Menyadari kami cukup letih, suguhan welcome drink sederhana berupa air jeruk dan snack berupa donut yang di taburi meses, terasa sangat nikmat.
Lega.....Berarti selesai lah perjalanan cukup panjang. Kami ber-4, yang start dari ambon pukul 6 pagi tadi, berarti sekitar 9 jam. Sofie yang direct dari Jakarta lebih lama lagi, sudah jam 11 check in bandara. Perjalanan panjang dengan berganti moda transportasi. Pesawat-mobil-kapal-mobil-boat. Wuaaa.....benar khan full advanture.
Kembali ke pertanyaan awal, Pantai Air Belanda di mana? tadi dari desa Saka menuju Sawai, sebenarnya lewat. Tapi tidak mampir. Rencana baru besoknya. Jadi...itu pantai letaknya di Desa Sawai, Seram Utara.
Letak pantai Air Belanda boleh di bilang seberangan sama Ora Beach. Yang nginap di Ora Beach pasti akan kesini. Tinggal nyebrang doang. Kebangetan juga jika ngga mampir. Kami yang tidak menginap di Ora Beach sengaja bela-bela-in ke sini. Di akui ngga kalah keren dengan pantai Maldive kata yang sudah pernah ke sini. Sekalian promosi.
Dari Lisar Bahari tempat kami menginap, esok paginya kami menuju Pantai Air Belanda. Naik boat kecil tadi sekitar 20 menit. Tujuan utamanya adalah Or Beach. Karena letak Pantai Air Belanda seberangan dengan ora Beach, sekalian aja kami mampir.
Perlahan-lahan boat yang panjangnya 10 meter merapat ke pantai. Tidak ada dermaga khusus merapat. Langsung nempel ke pantai-nya. Sebelumnya kami sudah mendapat suguhan laut bening dan karang pantai yang masih sehat. Saat kami turun disambut pasir pantai putih yang masih bersih. Secara alami masih terjaga keasrian-nya. Sama sekali tidak terlihat sampah meski kerap di datangi traveler.
Sering juga di sebut “Dutch Spring”, mata air Belanda. Kenapa “Belanda” disini di sebut-sebut? Menurut cerita, pantai ini di temukan armada tentara Belanda yang sedang menempuh pelayaran ke wilayah timur nusantara. Setelah ber-minggu-minggu berlayar, mereka melihat sebuah pantai dan memutuskan merapat di pantai itu. Ceritanya sich sekedar ingin istirahat sambil berharap di temukan sumber air tawar.
Terbayang pantai ini di penuhi bule-bule Belanda pesta disini. Ada yang menari, bernyanyi, gembira melepas kepenatan. Ada yang langsung berenang di pantai. Mancing ikan yang berlimpah dari pinggir pantai. Membuat api unggun untuk memasak serta menyantap hasil pancingan tadi.
Yang menarik bisa kita lihat sampai sekarang terjadi pembauran air asin dari laut dengan air tawar dari aliran sungai. Dari pembauran tersebut menghasilkan rasa yang unik tidak sekedar payau. Pembauran alami tadi juga terjadi dengan suhu air. Air laut yang lebih hangat bercampur dengan air tawar dari sungai yang cenderung dingin. Hasilnya? yakin banget, sudah pasti bule-bule tentara Belanda berpesta kegirangan.
Secara fotografis sangat instagenic. Bebas sampai puas foto-foto bersama pasangan, teman, atau sendiri. Tidak ada perlu malu atau risih menjadi tontoan penduduk saat di foto dengan ekspresi dan gaya tertentu. Pantai ini tidak berpenghuni. Hanya saja merespon perut lapar, jika ingin berlama-lama disini harus membawa bekal makan dan minum.