Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Saat Merasakan Suasana Beda Malioboro

19 Maret 2017   02:15 Diperbarui: 19 Maret 2017   18:00 4230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
koleksi pribadi. Kapan lagi bisa motret di tengah jalan seperti ini jika tidak subuh dinihari

Sebagai yang kebetulan pernah kuliah dan tinggal di Yogyakarta, keunikan Yogyakarta selalu bikin rindu. Yogyo selalu ngangeni...!! Saya selalu memang earphone mendengarkan senandung “Yogyakarta” saat akan berangkat dan tiba di Yogyakarta. Bikin antusias bernostalgia. Barangkali ada rekan pembaca memilik rasa yang sama, yuk sejenak kita bersenandung.....

    Pulang ke kotamu Ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu
   Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi
   Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama
   Suasana Jogja Di persimpangan langkahku terhenti
   Ramai kaki lima Menjajakan sajian khas berselera
   Orang duduk bersila Musisi jalanan mulai beraksi
   Seiring laraku kehilanganmu Merintih sendiri Ditelan deru kotamu...
   Reff:
   Walau kini kau t'lah tiada tak kembali Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
   Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi Bila hati mulai sepi tanpa terobati

Salah satu icon Yogyakarta sudah sedemikian bergema adalah jalan Malioboro. Tidak di ragukan lagi. Bagi yang pertama kali datang ke Yogyakarta sangat pasti akan ke sini. Jangankan yang pertama kali, yang sudah berkali-kali ke Yogyakarta pasti ada rasa kangen dengan suasana Malioboro.

Malioboro seakan memiliki kekuatan “magis” bagi setiap pendatang. Memang begitu ciri khasnya. Menurut pakar budaya Jawa jalan Malioboro bagian dari Sumbu imajiner Utara-Selatan yang berkorelasi dengan Keraton, Gunung Merapi di bagian utara, dan Laut Selatan sebagai simbol supranatural. Bahasa awamnya, dalam budaya Jawa ada korelasi erat antara Gunung Merapi-Keraton-Laut Selatan. Posisi jalan Malioboro adalah bagian korelasi erat tadi.

Dalam bahasa wisata kekuatan “magis” tadi sangat terasa. Buktinya kawasan ini selalu ruaaameeeeee......II Bukan musim liburan aja sudah sedemikian rame apalagi masuk musim liburan. Sebagai predikat kota pelajar, tamu pelajar mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia pasti tumplek jadi satu dengan pendatang dan warga setempat lain.

Rupanya dari doeloe, jaman pemerintah kolonial Belanda telah “mendisain” Malioboro sedemikian dinamis. Sebagai sentral militer dengan pembangunan benteng Vredeburg 1790. Sentra pemerintahan dan politik yang di wujudkan membangun The Dutch Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank, Kantor Pos. Sebagai sentra komunitas (Belanda) mendirikan Dutch Club tahun 1822. Masih belum cukup, Belanda melibatkan komunitas Cina untuk membangun sentra perdagangan dan bisnis di kawasan ini.

Semua itu bertujuan untuk meng-eliminir wibawa Keraton Yogyakarta yang begitu kuat bagi masyarakat Yogyakarta. Sekaligus perkuat posisi politik dan kekuasaannya di Yogyakarta. Pintar sekaligus licik ya Belanda. Ya namanya juga penjajah. Sesuai niat busuknya, ingin berkuasa di wilayah orang yang bukan negerinya.

Upaya Belanda terbukti gagal total. Dari masa ke masa bahkan sampai sekarang Malioboro tetap memiliki kekuatan “magis”. Sisa-sisa warisan Belanda dulu memang masih terasa sampai sekarang. Beberapa bangunan bernuansa Belanda yang masih bisa kita lihat. Malioboro yang dinamis. Malioboro yang unik. Malioboro terbuka bagi siapa saja. Malioboro yang tidak pernah lelap tidur.

Koleksi pribadi. Suasana Malam Jalan Malioboro yang padat dan ramai
Koleksi pribadi. Suasana Malam Jalan Malioboro yang padat dan ramai
Di era 1990-an semasa kuliah sepanjang Malioboro yang di mulai dari Tugu Yogyakarta di utara sampai Kantor Pos di selatan rame dengan warung-warung kecil dengan ragam barang dagangan. Warung lesehan, ragam restoran non lesehan, hotel, kantor pemerintahan. Sampai sekarang masih ada bahkan makin marak. Yang saya suka sampai sekarang tidak ada larangan bebas becak. Andong yang juga ciri khas transportasi tradisional Yogyakarta masih bisa seliweran.

Sebagai tempat kumpul seniman meski terasa berkurang di banding dulu jaman kuliah, masih ada pengamen jalanan. Mungkin jika kawan-kawan pengamen tidak ada akan terasa berkurang ciri khas dinamis Malioboro. Hanya saja beberapa kali menyusur Malioboro sekarang ini tidak melihat pelukis jalanan. Masih ingat dulu sempat bikin lukisan diri dan siluet oleh salah satu pelukis jalanan tadi.

Koleksi pribadi. Menikmati suasana malam Malioboro
Koleksi pribadi. Menikmati suasana malam Malioboro
Suasana Beda

Meski semakin bergeser ke arah sentra perdagangan modern, tidak jarang toko-toko permanen demikian juga pedagang kaki lima yang menjual barang dagangan bernuansa Yogya. Salah satunya adalah batik. Ragam corak, ragam disain, dan ragam harga ada dusubu, Ragam kerajinan tangan, kaos t-shirt, yang semua bernuansa Yogyakarta masih mudah di jumpai di sepanjang kawasan ini. Sesuatu yang patut di syukuri.

Saking malesnya menghitung sebagai pendatang sudah sangat sering bersentuhan dengan suasana rame yang sarat dinamika di Malioboro. Bisa jadi kesannya sama seperti rekan-rekan lain penikmat suasana Malioboro, ada sukacita, keceriaan, selama berada di sini. Ragam dagangan membuat “laper belanja”. Ragam kuliner kerap membuat “laper mata”.

Namun tentunya ada juga kerinduan ingin merasakan suasana yang berbeda dari Malioboro. Betul, Malioboro seakan tidak pernah tidur. Pertanyaan, adakah saat-saat sepi dan tenang sepanjang Malioboro? Saya rindu merasakan suasana itu. Jika ada kapan itu? Apakah tetap memiliki kekuatan “magis” di saat-saat sepi dan tenang tadi?

Jawabannya : ADA....!!! Datanglah saat subuh. Saat itulah akan merasakan Malioboro yang begitu berbeda. Ooo kalau begitu gampang dong. Bisa setiap saat. Ya, gampang sich gampang, faktanya...? hhhmmm...kendala sulit bangun pagi bikin tertunda. Saking seringnya tertunda malah akhirnya malah ngga jadi.

Koleksi pribadi. Suasana sepi saat subuh
Koleksi pribadi. Suasana sepi saat subuh
Koleksi pribadi.Biasa foto di sini selalu ramai harus antri
Koleksi pribadi.Biasa foto di sini selalu ramai harus antri
Akhirnya saatnya mengumpulkan niat kuat untuk “shopping” subuh. Kalau dulu kendalanya adalah “nge-gampang-in” yang akhirnya ngga jadi, sekarang tertolong dengan suatu kondisi. Menggunakan kereta malam dari Jakarta, saya tiba subuh dinihari sekitar jam setengah 4 di Stasiun Tugu. Berarti waktu yang tempat untuk menyusur sepanjang jalan Malioboro. Kebetulan jam segitu belum waktunya check in hotel. Maka petualangan kecil yang ber-kali-kali tertunda akhirnya terwujud.

Mengawali dari Stasiun Tugu bersama pasangan, layaknya turis yang masih menenteng ransel karena tidak ada penitipan bagasi di stasiun serta hotel yang tidak di kawasan Malioboro. Mulai-lah perburuan foto untuk meresapi nuansa “magis” yang berbeda sepanjang Malioboro.

Koleksi pribadi. Bisa leluasa motret saat sepi seperti ini
Koleksi pribadi. Bisa leluasa motret saat sepi seperti ini
Koleksi pribadi. Beda sekali suasana subuh di banding siang dan malam
Koleksi pribadi. Beda sekali suasana subuh di banding siang dan malam
Benar saja suasana subuh Malioboro 180 derajat berbeda saat siang. Sedang tidur kah Malioboro? Tidak...!! Malioboro tidak pernah tidur. Tetap ada aktivitas kecil. Petugas kebersihan yang menjalankan tugasnya. Pemilik warung lesehan yang sedang membereskan lapaknya setelah selesai waktu kerjanya. Bersamaan juga pemilik warung lesehan yang buka subuh ancang-ancang membuka lapaknya.

Penataan yang rapi beberapa tahun terakhir dengan menyediakan kursi bagi pengunjung Malioboro, membangun image sebagai kawasan ramah pengunjung. Berbeda jika datang malam, subuh ini tidak perlu “rebutan” tempat duduk saat lelah. Terlihat juga beberapa petugas keamanan yang bertugas malam untuk menciptakan suasana aman bagi penikmat subuh.

koleksi pribadi. Saat sepi seperti ini memungkinkan motret di tengah jalan
koleksi pribadi. Saat sepi seperti ini memungkinkan motret di tengah jalan
Untuk foto-foto pun terasa nikmat. Jika malam atau siang pasti akan banyak frame yang “bocor”, obyek lain masuk ke frame tanpa sulit di hindari, subuh itu terasa puas tanpa gangguan ke-“bocor”-an tadi. Melihat kendaraan yang melintas masih bisa di hitung pake jari, mencoba beberapa kali foto persis di tengah jalan. Kapan lagi bisa foto narsis di tengah jalan. Opppsss.... tetap waspada. Siapa tahu ada satu dua pengemudi yang nekad pacu kendaraan mumpung sepi.

koleksi pribadi. Kapan lagi bisa motret di tengah jalan seperti ini jika tidak subuh dinihari
koleksi pribadi. Kapan lagi bisa motret di tengah jalan seperti ini jika tidak subuh dinihari
Sekitar “MM” atau Malioboro Mall, salah satu sentral perdagangan modern akan selalu sesak sepanjang siang dan malam. Subuh itu terasa berbeda. Tidak perlu tersenggol atau menyenggol pengunjung lain. Sangat terasa lenggang.

Yang menarik lampu jalanan sepanjang Malioboro membuat denyut dinamika terus berlanjut. Suasana lebih terasa indah di bawah penerangan lampu dalam suasana sepi dan tenang. Gerimis kecil yang membasahi jalan utama maupun trotoar ternyata menyajikan frame foto yang berbeda. Menurut saya inilah salah satu eksotis dari Malioboro yang menghadirkan suasana lain.

Koleksi pribadi. Motret salah satu "pasukan biru" yang bertugas saat subuh
Koleksi pribadi. Motret salah satu "pasukan biru" yang bertugas saat subuh
koleksi pribadi. Motret sambil menikmati suasana sepi dan tenang
koleksi pribadi. Motret sambil menikmati suasana sepi dan tenang
Beruntung sepanjang perjalanan dari Jakarta tadi sudah mengisi amunisi energi dengan tidur lelap. Ritme kantuk pun hilang saat menikmati suasana subuh. Menguap sebagai tanda kantuk pun tidak. Padahal jam segini masih jam-nya ngantuk. Kenyamanan semakin terasa saat tidak merasa khawatir dengan keamanan. Apalagi masih memanggul ransel, kamera, logiknya subuh sepi begini rawan dengan rampok. Tapi ngga tuch. Biasa aja. Asyik foto-foto. Asyik selvie.

Meski masih terlihat sepi, menikmati nuansa beda Malioboro harus segera berakhir saat langit mulai terlihat biru. Tanda fajar mulai menyambut Yogyakarta. Sayang sepanjang Malioboro belum menemukan spot untuk menikmati detik-detik matahari terbit.

Koleksi pribadi. Saat mulai fajar
Koleksi pribadi. Saat mulai fajar
Sesuai kesepakatan kami berdua ber-balik arah dari depan pasar Beringharjo ke jalan Sosrowijayan. Tujuannya adalah sarapan favorit gudeg Bu Lindu yang jam segini mulai buka. Memang sich mulai terlihat gerobak dagang makan pagi sepanjang Malioboro. Namun aku selalu kangen gudeg buatan bu Lindu. Selalu menyempatkan mampir kesini saat ke Yogya. Petualangan kecil pun berakhir saat melahap nasi gudeg panas.

Koleksi pribadi. Sarapan pagi gudeg bu Lindu di Jalan Sosrowijayan
Koleksi pribadi. Sarapan pagi gudeg bu Lindu di Jalan Sosrowijayan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun