Sebagai yang kebetulan pernah kuliah dan tinggal di Yogyakarta, keunikan Yogyakarta selalu bikin rindu. Yogyo selalu ngangeni...!! Saya selalu memang earphone mendengarkan senandung “Yogyakarta” saat akan berangkat dan tiba di Yogyakarta. Bikin antusias bernostalgia. Barangkali ada rekan pembaca memilik rasa yang sama, yuk sejenak kita bersenandung.....
Pulang ke kotamu Ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama
Suasana Jogja Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu Merintih sendiri Ditelan deru kotamu...
Reff:
Walau kini kau t'lah tiada tak kembali Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Salah satu icon Yogyakarta sudah sedemikian bergema adalah jalan Malioboro. Tidak di ragukan lagi. Bagi yang pertama kali datang ke Yogyakarta sangat pasti akan ke sini. Jangankan yang pertama kali, yang sudah berkali-kali ke Yogyakarta pasti ada rasa kangen dengan suasana Malioboro.
Malioboro seakan memiliki kekuatan “magis” bagi setiap pendatang. Memang begitu ciri khasnya. Menurut pakar budaya Jawa jalan Malioboro bagian dari Sumbu imajiner Utara-Selatan yang berkorelasi dengan Keraton, Gunung Merapi di bagian utara, dan Laut Selatan sebagai simbol supranatural. Bahasa awamnya, dalam budaya Jawa ada korelasi erat antara Gunung Merapi-Keraton-Laut Selatan. Posisi jalan Malioboro adalah bagian korelasi erat tadi.
Dalam bahasa wisata kekuatan “magis” tadi sangat terasa. Buktinya kawasan ini selalu ruaaameeeeee......II Bukan musim liburan aja sudah sedemikian rame apalagi masuk musim liburan. Sebagai predikat kota pelajar, tamu pelajar mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia pasti tumplek jadi satu dengan pendatang dan warga setempat lain.
Rupanya dari doeloe, jaman pemerintah kolonial Belanda telah “mendisain” Malioboro sedemikian dinamis. Sebagai sentral militer dengan pembangunan benteng Vredeburg 1790. Sentra pemerintahan dan politik yang di wujudkan membangun The Dutch Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank, Kantor Pos. Sebagai sentra komunitas (Belanda) mendirikan Dutch Club tahun 1822. Masih belum cukup, Belanda melibatkan komunitas Cina untuk membangun sentra perdagangan dan bisnis di kawasan ini.
Semua itu bertujuan untuk meng-eliminir wibawa Keraton Yogyakarta yang begitu kuat bagi masyarakat Yogyakarta. Sekaligus perkuat posisi politik dan kekuasaannya di Yogyakarta. Pintar sekaligus licik ya Belanda. Ya namanya juga penjajah. Sesuai niat busuknya, ingin berkuasa di wilayah orang yang bukan negerinya.
Upaya Belanda terbukti gagal total. Dari masa ke masa bahkan sampai sekarang Malioboro tetap memiliki kekuatan “magis”. Sisa-sisa warisan Belanda dulu memang masih terasa sampai sekarang. Beberapa bangunan bernuansa Belanda yang masih bisa kita lihat. Malioboro yang dinamis. Malioboro yang unik. Malioboro terbuka bagi siapa saja. Malioboro yang tidak pernah lelap tidur.
Sebagai tempat kumpul seniman meski terasa berkurang di banding dulu jaman kuliah, masih ada pengamen jalanan. Mungkin jika kawan-kawan pengamen tidak ada akan terasa berkurang ciri khas dinamis Malioboro. Hanya saja beberapa kali menyusur Malioboro sekarang ini tidak melihat pelukis jalanan. Masih ingat dulu sempat bikin lukisan diri dan siluet oleh salah satu pelukis jalanan tadi.