Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Berdialog" dengan Maestro di Museum Affandi Yogya (2-Selesai)

22 Februari 2017   12:26 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:28 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi pribadi, Museum Affandi

Lanjutan bagian pertama. Wisata seni, mungkin sudah biasa bagi mereka yang menekuni seni. Jika saya kali ini sengaja datang ke Museum Affandi, bukan karena sehari-hari berkutat dengan seni. Kegiatan seni yang saya tekuni sebatas seni fotografi. Sangat beda dengan seni lukis. Namun ada dorongan kuat untuk mencari tahu kekuatan “nilai seni” dari karya-karya Affandi. Masih terheran-heran, kog ada aja orang berduit yang siap membayar ratusan juta untuk satu lukisan beliau. Masih banyak lagi rasa penasaran yang ingin di tuntaskan di sini.


Suasana tenang, asri, sejuk, di kompleks Museum Affandi. Rumah yang sudah ia tempati sejak 1962 menjadi saksi bisu bagaimana Affandi menghasilkan karya-karya bernilai seni tinggi.

Jika dibilang indah dengan memakai kacamata seni fotografi, rasanya saya tidak keliru namun tidak bijaksana. Rasanya saya harus mengoreksi diri. Seni fotografi dan seni lukis, meski sama-sama seni, melibatkan unsur warna, bentuk, tetap saja beda sekali. Keindahan lukisan harus memakai “kacamata” dan kaidah-kaidah yang lazim di terapkan dalam bidang lukis. Seni Lukis, khususnya karya-karya Affandi, tidak berbicara keindahan.

Ciri khas

Okelah, selama menikmati beberapa dari 300 karya yang di pajang di Museum Affandi, saya harus melepaskan “kacamata” fotografi tadi. Justru akhirnya saya merasa “ter-hipnotis” . Ada “misteri” lain yang justru lukisan-lukisan tadi memancarkan kekuatan seni-nya.

Ke-awam-an saya sulit mencerna makna dari karya ekspresionis Affandi. Mungkin mirip saat tidak sengaja saya motret obyek yang ternyata menghasilkan bentuk abstrak seperti foto di bawah ini.

Ket foto : Foto bernuansa abstrak yang adalah aliran sungai di salah satu curug. Cukup wajar jika bingung mengartikannya.

Untunglah di temani Pak Dedi yang menjadi saksi hidup bersama beliau selama 10 tahun. Beliau semangat sekali menjelaskan makna dan latarbelakang beberapa lukisan. Perlu sekali penjelasan seperti itu. Jika saja larut dalam kebingungan bisa saja nllai dari seni yang abstrak pun tidak akan berarti.

Overall, secara umum, ke-istimewa-an karya Affandi adalah ungkapan emosi, rasa, kesedihan, yang di tuangkan dalam kanvas. Pilihan tinta, warna, pasti menjadi pertimbangan saat menuangkan gagasannya dalam sebuah tema. Salah satu ciri khasnya ia tidak menggunakan kuas saat melukis…!! Langsung mengoleskan cat/tinda dari tube-nya. Menggunakan jari-jari, telapak tangannya menyapu, mencampuradukan tinta-tinta tadi di kanvas.

Di salah galeri kita bisa melihat tayangan video saat sang Maestro sedang berkarya. Begitu bebas, leluasa, beliau menorehkan tinta, lalu menggerakkan jari, telapak tangan, sebelum menjadi satu karya. Seakan ia menjadi seorang yang independent, merdeka, leluasa ingin berbuat apa saja melalui gerakan jari-jari tangannya. Mirip penari yang menampilkan gerakan lembut terkadang juga dengan hentakan-hentakan tertentu. Ekspresi muka terlihat serius. Fokus kepada lukissannya.

Kepada asisten yang menemani ia cukup berteriak, kadang berkata pelan, “biru”, “merah”, “kuning”, saat membutuhkan tinta warna tersebut. Sang asisten yang sudah paham segera memberikan. Saat menerima Affandi tidak menoleh ke asisten atau memeriksa apakah benar warnanya sesuai keinginannya. Langsung tinta tadi ia torehkan ke kanvas, lalu tangannya leluasa menyapu tinta-tinta tadi. Inilah salah satu daya tarik Affandi saat ia berkarya.

Ket foto : Ilustrasi saat Affandi melukis. Fokus, konsentrasi, serius, tidak menggunakan kuas, salah satu ciri khasnya.

Romantis & Sederhana

Sempat mempunyai bayangan seorang seniman, khususnya pelukis, berpenampilan unik. Betul. Sepintas saya melihat dari foto, figur Affandi, jauh dari kesan modis. Beda dengan penampilan rekannya, Basuki Abdullah. Memang hidupnya melukis dan melukis. Saking fokusnya tadi barangkali tidak sempat membuat rapi penampilannya. Tapi justru disitulah keunikan sekaligus ke-istimewa-anny..

Karya “dead in my hand” yang di buat tahun 1945, menghadirkan Affandi yang romantis. Ia memiliki rasa pri-kebinatang-an. Berkisah, di depan rumahnya ada pohon beringin dimana banyak burung-burung hinggap. Suara/nyanyian burung sangat menghibur hatinya. Sayang tentara jepang sering menembaki burung-burung tersebut. Bukan sebagai musuh tapi karena iseng semata.
 sayangnya ia tidak berdaya melarang apalagi mencegahnya. Sampailah suatu pagi ia melihat ada burung yang terluka kena tembakan, tergeletak di bawah pohon. Saat ia pungut, sang burung meninggal di tangannya. Sedih, terharu, ia tuangkan dalam lukisan. Dengan gaya ekspresionisnya, saya terharu melihat lukisan satu ini. Ini lah salah satu sisi romantis beliau terutama terhadap binatang.

Ket foto Salah satu karya Affandi berjudul : Dead in my hand. yang begitu menyentuh. Terbaca figur yang romantis, peduli terhadap binatang.

Karya “mother’s Anger”, adalah ekspresi dirinya yang mencoba menghibur sang ibunda. “siapa yang mengurus saya jika kamu pergi”, kira-kira begitulah yang disampaikan ibunda saat Affandi pamit berangkat ke Eropa untuk pameran. Ada ketidakrelaan ditinggal pergi anaknya. Affandi mencoba menghibur sekaligus memohon agar ia di relakan untuk berangkat. Adegan ekspresi ibunda yang tidak rela, lalu ia membujuknya, di tuangkan dalam gaya ekspresionis dalam judul ini. Sungguh, melihat sepintas saja sulit memahami. Untunglah pak Dedi membantu menerangkan sehingga saya bisa mengerti. Lebih dari itu kagum akan kekuatan pesan yang tertuang dalam lukisan.

  • Berikut ini daftar yang saya peroleh dari berbagai sumber pengalaman Affandi pameran di luar negeri.
  • Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
  • East-West Center (Honolulu, 1988)
  • Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
  • Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
  • Singapore Art Museum (1994)
  • Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
  • Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
  • ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)

Daftar di bawah ini adalah penghargaan yang ia pernah terima

  • Guru besar kehormatan untuk mata kuliah ilmu seni lukis di Ohio state University, Colombia, Amerika Serikat, 1960
  • Piagam anugerah seni dari Depdikbud 1969
  • Anugerah Doktor Honoris Causa dari University of Singapore 1974
  • Bintang Jasa Utama dari Pemerintah RI 1979
  • Dag Hammarskjold, Penghargaan Kedamaian International 1997 di Italia
  • Pelukis Ekspresionis Baru dari Indonesia dari Koran International Herald Tribune
  • Penghargaan Grand Maestro di Italia
  • Sebelum ia menekuni profesi sebagai pelukis, Affandi pernah sekolah formal di Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbare School (AMS). Ngga sembarang warga bisa mendapat pendidikan di sekolah ini.

Bagaimana komentar anda dan saya dari list di atas? Wuaaaa....hebat...? Cuma itu sajakah? Tentu saja tidak. Berlimpah uang sudah pasti. Karena penghargaan pasti identik dengan pemberian uang. “status” sosialnya pun meningkat. Ada kesempatan ia bergaul dengan para selebriti, politikus, birokrat, dan kalangan elite lainnya.

Namun saksi mata yang pernah bersamanya bertutur beda, Justru melihat Affandi bukan tokoh apalagi seleberitas yang wah dari penampilan maupun atributnya. Tidak menyangka ia sangt lah sederhana. Meskpun sudah melalang buana ke banyak negara di Asia, Eropa, Amerika, untuk pameran, mengajar, namun satu hal ia tidak pernah lupa makanan kegemarannya, tempe bakar.

Affandi pun mengaku dirinya sebagai “pelukis kerbau”. Menggambarkan dirinya sebagai pelukis yang yang “dungu”, “bodoh”. Tetap merasa tidak pandai bicara, tidak pandai mengarang, apalagi ber-teori. Hanya bisa melukis tok...!! Tidak ada alasan untuk merasa sombong karena memiliki sejumlah kelebihan. Ia hanya bisa melukis.

Mobil yang bisa kita lihat di salah satu galeri adalah salah satu asset kesayangannya. Untuk status beliau dengan sejumlah penghrgaan tadi saat itu tidak sulit mengganti dengan yang lebih baru, lebih eksklusif. “sayangnya” ia tetap betah dengan mobilnya itu. Sangat berguna. Bisa membawa kanvas dan peralatan lukis lainnya. Aman melewati jalan pedesaan, sebagai salah satu kegemarannya blusukan di desa-desa.

Sepeda Onthel? Juga di pajang di sebelah mobil kesayangnnya. Iya, ini salah satu kesayangan Affandi. Sangat berguna dan sering di pakai. Padahal dengan kemampuan keuangan dari hasil penjualan lukisan ia mampu saja membeli motor atau kendaraan lain yang lebih oke. Tapi Affandi tidak mau. Tutur Pak Dedi, tidak jarang ia di ajak beliau naik sepeda nonton wayang di Keraton. “Beliau itu senang nonton wayang. Kalau ada petunjukan ngga hanya di Keraton, di kampung-kumpung, ia pasti datangi-i. Ikut nonton bersama warga sekitarnya”, kata Pak Dedi.

Ket foto : 2 sepeda kesayangannya yang selalu di pakai, selain mobil sederhana di sebelahnya

Ada foto yang menarik. Bikin surprise. Menerima penghargaan Bintang Jasa Utama langsung diserahkan Presiden Soeharto (waktu itu). Namun yang tidak biasa beliau mengenakan sarung..woouww….

Ket foto : Mengenakan sarung saat ia menerima penghargaan Bintang Jasa Utama.

Wuaaa…tanpa terasa sudah hampir 3 jam berada di Muesum Affandi. Puas walau masih penasaran juga baru beberapa saja yang saya lihat. Lain kali saat ke Yogya bisa kesini lagi. “dialog” imajiner dengan sang Maestro harus saya akhiri. Meningalkan areal yang terletak di pinggir Sungai Gajahwong, saya tidak hanya memanggul kamera tetapi juga “oleh-oleh”.

Pelajaran moral, pesan kehidupan yang kental nuansa humanis, yang sangat berguna sebagai bekal masa depan. Betul menjalani hidup membutuhkan rupiah. Namun yang penting bagaimana agar tidak terjerat dari godaan setan dalam setiap nilai rupiah tadi.

Menjalani hidup sarat dengan pilihan. Tidak mudah saat di fase puncak kejayaan tetap memilih sebagai manusia yang lugu, bodoh, yang mencoba menjalani keseharian dengan selalu ber-syukur kepadaNYA. Affandi telah memilih itu. Saya terkesan dengan pilihannya. Melihat lukisannya muncul bayang wajahnya yang sederhana, tulus, “bodoh”.

.Ket foto : ekspresi diri puas berada di salah satu galeri karya lukis Affandi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun