Entah tak terhitung berapa kali melewati kompleks museum Affandi, yang kurang lebih 3.500 meter persegi. Pengalaman kuliah dan tinggal di Yogya selama hampir 10 tahun sejak tahun 1989 pasti hafal lokasinya. Strategis, di jalan ramai, berada di jalan raya utama yang menghubungkan Yogya-Solo, tepatnya Jl. Adi Sutjipto 167. Dulu terkenal jalan Solo.
Ternyata saya harus merasa malu, tepatnya Pebruari 2017 ini baru berkunjung, melihat-lihat seperti apa di dalamnya. “Lama di Yogya kog baru sekarang, ngapain aja selama di Yogya”, barangkali ada menyindir begitu. “Ya ampun, kebangetan juga ya, ratusan bahkan ribuan kali lewati baru sekarang datang”, mungkin itu sindiran lain.
Bukan alasan klasik: tidak sempat, tidak punya waktu, kenapa baru kesana sekarang ini. Ini pun setelah tidak lagi menetap di Yogya. Pertanyaannya mau ngapaindisini? Pertanyaan yang bodoh, ya pasti llat-liat lah. Kayak ngga pernah ke museum aja.
Jujur, sejujur-nya, selama ini saya kurang tertarik dengan namanya lukisan. Pelajaran SD, SMP, yang termasuk lemah adalah menggambar. Bisanya Cuma menggambar pemandangan dengan 2 gunung yang di tengahnya di kasih matahari, di atas gunung ada awan lalu burung. Di depan gunung di buat garis lurus ber-perspektif. Kiri kanan saya gambar. Selesai...dan oleh guru gambar cukup diberikan nilai 6. Itupun nilai maksimal. Pernah juga Cuma di kasih nilai 5.
Coba gambar yang lain....? hhhmmm....kalau sebagai pe-er oke lah. Paling tidak bisa minta bantuan teman lain untuk bikin-in punya saya. Ngga perlu bagus-bagus kog, nanti guru gambar tahu kalau bukan asli bikinan saya. Tapi kalau langsung on the spot, nah lho, bingung mau bikin apa. Ya itulah “nasib” saya.
Silahkan tersenyum...atau barangkali ingin tertawa dengan “nasib” saya ini, monggo. Saya juga ingin tertawa kog merenungkan diri kenapa ngga bisa menggambar dari dulu...hahahaha....
Menggambar saja sulit, eee...ngga bisa deng, apalagi memahami namanya seni lukis. Wuaaa Cuma tahu definisi aja, melukis itu apa, seni itu apa. Itupun karena baca dan menghafal aja. Soal memahami, menghayati, wuaaa...jangan di tanya dech. Cuma bisa menjawab : BINGUNG.
Yang namanya Affandi Koesoma, yang di lahirkan di Cirebon tahun 1907, sudah lama tahu. Tahunya ya dari TV atau foto-foto di koran kalau beritanya muncul. Pernah juga melihat beberapa karya lukisnya. Bukan di musium. Yang selalu jadi ingatan, pernah baca berita plus dengar-dengar dari kawan kalau lukisannya di hargai ratusan juta. Ha...??? ngga salah nich.
Maaf sebelumnya, sekali lagi mohon maaf, jangan tersinggung, maklumi-i saya yang masih awam dengan seni lukis. Saya sempat heran lukisan Affandi yang awut-awut-an begitu, yang ngga jelas, malah lebih bagus lukisan teman SMP, kog bisa ya di beli sama kolektor sampai puluhan juta. Bahkan infonya ada berani bayar sampai ratusan juta...ck...ck...ck. Suer, ngga masuk akal.
Alasan ke Musuem Affandi
Ya itu doeloe, yang karena ngga paham seni, sampai begitu lugu-nya menilai begitu. Sekarang setelah mencoba berkenalan dengan namanya SENI, mulai paham kenapa nilainya dalam rupiah bisa mencapai 9 digit.
Bukan spontanitas jika sekarang penasaran dengan nilai seni dari karya-karya Affandi. Sengaja bela-bela-in datang ke Museum Affandi saat liburan ke Yogya. Sebelumnya sudah membekali diri dengan informasi jam buka-nya dan, ada apa saja disana. Paling tidak begitu disana pikiran ngga blank alias kosong. Pun tidak kepikir kesana Cuma sekedar mampir sebentar. Yang penting sudah pernah, sudah catat di Travel Log, lanjut lagi entah kemana. Ngga mau begitulah.
Pertama, setelah kurun tahun perjalanan usia, meski kerjaan sehari-hari sebagai orang kantoran tidak bersentuhan seni, namun kegiatan hobi sudah bersentuhan dengan namanya seni. Tepatnya seni fotografi. Sebatas hobi belum profesional. Ke museum Affandi kepingin melihat perbandingan mencolok antara seni foto dengan seni lukis.
Kedua, penasaran dengan nilai rupiah yang sedemikian wuaaaah dari karya-karya Affandi. Timbul pertanyaannya, dimana sich ke-istimewa-an-nya? Berarti saya mencoba memahami makna dari karya Affandi. Jika di ranah fotografi ada ungkapan dari komunitas fotografer (FN).net : BIAR FOTO BERBICARA. Kali ini ingin menangkap pesan, per-makna-an dari ungkapan : BIAR LUKISAN BERBICARA.
Keindahan?
Dalam fotografi saya akrab dengan namanya keindahan. Ini karena minta saya dengan keindahan alam negeri ini. Sudah akrab namanya kontur landscape berwarna coklat ke-emas-an di Labuanbajo, pesona jingga sunrise dan sunset, laut biru yang bening di beberapa tempat di negeri.
Beda saat melihat lukisan Affandi, keindahan kah saya yang saya rasakan? Sama sekali tidak...!! Tetapi disinilah “misteri”nya. Dalam fotografi lebih akrab dengan istilah “minat”. Misalnya minat ke landscape/pemandangan seperti saya ini, minat model, minat bentuk-bentuk arsitektur, minat benda-benda atau hewan kecil (makro), minat moto makanan/style live. Justru di seni Lukis akrab dengan aliran ekspresionis, realisme, naturalisme, romantisme.
Banyak karya-karya Affandi, sejak mengawali kegiatan melukis di usia 30 tahun, bercorak EKSPRESIONISME yang cenderung ABSTRAK. Bisa di lihat di Galeri 1 dari 3 galeri yang tersedia di komplek Museum. Sebelumnya gaya lukisannya NATURALISME. Gaya ekspresionis ini ternyata mengundang kekaguman pencinta seni di belahan Eropa. Saking kagumnya Media massa rerkenal (koran) International Herald Tribune memberikan julukan “Pelukis Ekspresionis Baru dari Indonesia”. Ngga cukup itu saja, publik pencinta lukisan di Italia, berkat karya yang mengagumkan, memberikan gelar GRAND MAESTRO.Woouww...plok...plok...standing applaus untuk beliau.
Jujur saya masih bingung, apa sich definisi gaya ekspresionisme, Naturalisme, Abstrak? Bagaimana saya bisa tanpa basa-basi memberikan applaus tadi jika tidak memahami aliran atau gaya Affandi tadi. Minimal memahami dulu secara definisi. Yeeeaa....berarti saya mulai “berdialog” secara batin dan imajiner dengan sang maestro.
Aliran Naturalisme menampilkan obyek lukisan secara alami, yang ada di alam. Yang di tangkap oleh mata kemudian di tuangkan dalam lukisan. Beberapa ciri antara lain menampilkan nuansa alam. Penyajian lebih detail dan teliti untuk perspektif, tekstur, pewarnaan. Penyajian gradasi warna, yaitu corak warna yang dihasilkan sebagai pengembangan atau perubahan dua warna atau lebih.
Gaya Ekspresionis merupakan ungkapan isi hati, imajinasi, emosi, suasana batin dalam wujud lukisan. Ungkapan tersebut bisa berupa rasa ngeri/takit, kesedihan, sebagai respon kejadian kekerasan, malapetaka, kelaparan, kemiskinan, dan lain-lain di sekitarnya.
Lukisan bercorak abstrak menampilkan bentuk-bentuk yang tidak lazim, tidak beraturan, yang berbeda sekali dengan biasa di jumpai sehari-hari. Tidak jarang memberikan kesan aneh, seram. Namun pengerjaannya bukan sembarangan. Tetap mengandung imajinasi sang pelukis terhadap sesuatu hal. Cuma penyajiannya “menyimpang” dari yang biasa di lihat.
Karya-karya Affandi rupanya lebih banyak bercorak ekspresionis dan abstrak. Sehingga tiidak jarang sulit di mengerti khususnya yang awam seni lukis seperti saya ini. Dari lukisan yang terpajang di galeri setidaknya saya mencatat, plus mem-foto juga, karya berjudul :four dead Rooster n the foot, fallen plant in a race field, parangtritis at night, the face of papua, membuat bingung.
Untungya saya di temani Pak Dedi yang pernah bersama Affandi selama 10 tahun. Kalau saja pak Dedi ngga menerangkan makna dari beberapa foto, pasti saya bingung total…hahaha…. Tapi setelah di jelaskan dan mengerti maksudnya, wah…wah….jadi menarik. Lebih dari terasa lukisan tadi seakan ingin “berbicara”. Itu baru beberapa lho. Karya Affandi telah menghabiskan 2000 lebih. Sangat terasa bagaimana lukisan itu seakan ingin “berbicara”.
Bebarapa yang saya perhatikan terasa menyentuh. Salah satunya “Embryo”, yang di buat tahun 1989. Merupakan karya terakhir sebelum ia kena stroke dan akhirnya menghadap Sang Pencipta.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H