Sebelum berangkat sering saya perhatikan ada penumpang yang sudah pake pelampung ada juga yang belum bahkan sama sekali tidak. Ada olok-olokan kecil dalam hati Ketahuan tuch yang pake pelampung pasti bukan orang pulau, belum biasa ngelaut, pendatang baru di pulau, masih takut-takut melaut, belum bisa berenang. Beda yang ngga pake pelampung bisa di pastikan orang pulau, sudah biasa melaut, bisa renang, ngga takut ngelaut.
Pernah beberapa waktu lalu sudah pegang pelampung sebelum berangkat, Tujuannya untuk alas nyender ke dinding kapal. Tiba-tiba awak kapal menegur, “Pak tolong pelampungnya dipake”. Wah kaget juga ditegur begitu. Sebenarnya itu teguran yang tepat dan benar. Tapi respon saya sebaliknya, malah bertanya balik ke awak kapal tadi, peraturan baru ya harus sekarang harus pakai pelampung. Awak kapal pun menjawab, ”Iya pak. Harus pake kalau tidak nanti kami ditegor petugas. Tolonglah pak di pake dulu”. Akhirnya demi permintaan Si Awak Kapal ya sudah saya pake. Setelah kapal berangkat, saya lepas lagi.
Satu alasan kenapa males pake pelampung selain yang sudah di sebutkan tadi yaitu puanas dan sesak. Apalagi kalau berada di dalam kapal. Sementara kapal tidak punya AC. Pasti akan cepat merasakan gerah, berkeringat. Pelayaran 2 jam pake pelampung bukan lah pilihan untuk nyaman.
Menilik kembali musibah kapal Zahro saya ikut merinding takut dan malu akan sikap selama ini saat melaut. Musibah bisa terjadi setiap saat tanpa dikehendaki dan diduga. Berlayar ke pulau memang rutin. Jarang sekali terjadi musibah. Yang pernah saya alami paling maksimal adalah mesin kapal mati di tengah. Tapi itu bisa diatasi.
Namun bila terjadi kebakaran dan terjadi kepanikan, bukan mustahil sulit mengontrol diri ikutan panik. Melihat ada yang panik dan nekat menyelamatkan diri dengan nyemplung ke laut bukan mustahil ikutan nyemplung. Saat itu jika terjadi atas diri saya, apakah saya bisa bersombong diri dengan tidak mengenakan pelampung. Oooo....jangan...jangan...pasti saya akan mencari pelampung yang sudah disia-siakan tadi.
Ooo tidak...tidak...ini mimpi buruk jika saya saat itu ada di KM Zahro. Okelah mungkin dengan keberanian, pengalaman melaut, saya masih berusaha tenang untuk menyelamatkan diri. Bahkan dengan pengalaman berlatih Rescue saya bisa menolong penumpang lain. Namun dengan api di depan saya, asap lebat membuat mata sakit dan napas sesak, apakah bisa menjamin dengan pengalaman tadi tetap bisa tenang. Segera nyemplung ke laut tanpa memakai pelampung, apakah bisa jamin bisa selamat. Entahlah gimana kontrol diri jika menghadapi situasi gawat seperti itu.
Dengan berkaca diri atas musibah KM Zahro, akhirnya saya membuat pengakuan rasa malu atas sikap diri selama melaut. Kalau selama ini merasa aman-aman saja, tokh Cuma sebentar, tokh setinggi-tinggi-nya ombak, nakhoda kapal yang biasa membawa kapal setiap hari pasti bisa ngatasi. Tokh...tokh... Satu yang menyadarkan, musibah bisa terjadi kapan saja. Modus kecelakaan bisa dalam banyak rupa. Salah satunya kebakaran seperti di alami KM Zahro.
Selanjutnya? Pastinya saya masih rindu melaut. Berkaca diri dari musibah KM Zahro, tekad sekaligus janji jika harus naik kapal lagi adalah memperlakukan pelampung dengan sebaik-baiknya. Jangan meremehkan musibah. Memang saya memiliki cukup mental untuk berlayar, namun mental saya belum cukup jika mengalami musibah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H