Ada kebahagiaan tersembunyi bagi saya menyaksikan demonstrasi tanggal 4 November kemarin jadi dilaksanakan. Saya kasihan pada Ahok, tapi demonstrasi tersebut adalah sebuah kesempatan bagi Indonesia yang lebih toleran. Jika Ahok jadi dihukum setelah diputuskan bersalah oleh pengadilan, maka itu bisa jadi awal bagi penindakan segala jenis “penistaan” agama yang sebenarnya begitu sering terjadi di negara kita.
Indonesia bukan hanya darurat narkoba. Indonesia juga darurat isu SARA. Kita semua tahu itu setelah berbagai tragedi di Ambon, Tolikara, dan berbagai lokasi lainnya.
Kita beruntung karena untuk kasus narkoba kita mendapatkan momentum untuk menyatakan “perang” terhadap para bandar melalui eksekusi mati terpidana kasus Bali Nine. Tapi untuk isu SARA, kita masih kekurangan salah satu syarat untuk menyatakan perang, yaitu setujunya masyarakat terhadap poin-poin yang ingin kita perangi.
Kasus Ahok merupakan momen yang baik untuk menyamakan persepsi masyarakat tentang apa yang bisa disebut penistaan agama, dan apa yang berhak umat agama tersebut lakukan untuk membela agamanya. Minimal ada tiga hal:
1. Menyatakan isi kitab suci agama lain itu kebohongan, adalah penghinaan. Terutama jika dilakukan di ruang publik.
Saya merayakan bagaimana masyarakat kita pada akhirnya menyetujui hal ini. Lihat saja apa yang ada di media sosial kita, betapa banyaknya “penghinaan” kepada agama-agama bertebaran disana. Jika kita sepakat tentang hal ini, maka seharusnya segala pembahasan (apalagi pernyataan) tentang salahnya ajaran agama “ini’ dan “itu” tidak boleh dilakukan di ruang publik. Apalagi sosmed dimana semua orang bisa melihatnya.
Lakukan itu di forum agama masing-masing, atau negara berhak mempidanakan pelakunya.
2. Komentar terhadap ajaran agama lain, itu seharusnya tidak dilakukan, karena itu di luar kapasitas kita.
Ini pendapat AA Gym, yang sedang ramai dibincangkan di media. Saya bersyukur banyak sekali masyarakat kita yang setuju dengan pendapat beliau. Betapa banyaknya perdebatan panas yang terjadi akibat komentar seseorang terhadap agama lain yang berujung pertikaian, maka perbuatan “di luar kapasitas” semacam itu memang seharusnya tidak dilakukan.
Lebih baik lagi, kalau kita sama-sama mengutuk perbuatan semacam itu.
3. Pemeluk agama yang “dinistakan” berhak menuntut pelaku penistaan dihukum.