Ini true story.
Saya pernah melihat sendiri anjing yang sudah dipukuli kepalanya oleh pemiliknya di sebuah rumah dimana dia akan dimasak, lari pulang. Ya, dia lari pulang ke rumah yang pemiliknya yang baru saja memukuli kepalanya dengan kayu sampai hampir mati. Lalu si pemiliknya terharu? Tidak, dia tetap dibunuh dan dimasak. Anjing yang malang, dan pemilik yang tak punya hati.
Bagaimana bisa manusia sekejam itu? Saat itu saya masih kecil dan tidak menemukan jawaban apa-apa, hanya bisa pedih.
Beranjak dewasa, saya menemukan sebagian alasan semua kekejaman itu. Salah satunya sangat sederhana, karena daging anjing itu enak. Saya sendiri makan beberapa kali. Kalau dimasak kering dengan bumbu pedas, biyuh, mantap kali rasanya.
Haram? Daging anjing itu haram bagi sebagian orang karena kepercayaannya mengatakan begitu. Oh, bagi saya tidak. Agama saya tidak melarang saya makan apapun, asalkan saya bisa mensyukuri makanan itu.
Karena Itu Enak
Kembali ke masalah daging anjing yang enak tadi. Itu membuat saya mulai mengerti salah satu kegilaan manusia. Kita manusia, bisa kehilangan perasaan sayang atas sesuatu yang kita anggap enak. Tragedi 98, saat semua orang yang biasanya orang baik (mungkin) tiba-tiba jadi perampok, pembakar, pemerkosa, dan pembunuh, mungkin karena hal-hal sesimple itu. Karena itu semua enak. Karena merampok itu enak, kita dapat harta dengan mudah. Karena memperkosa itu enak, amoy putih-putih seksi itu, wuih..prasmanan lagi. Karena membuat orang lain lebih miskin dari kita itu enak. Enak. Enak. Dan enak.
Yang penting enaak..
Karena Itu Anjing
Ada teman saya yang berasal dari daerah dekat toraja, bapak-bapak yang lembut dan baik hati. Bukan cuma itu, dia juga ramah dan senyumannya manis sekali. Tapi tahu caranya mengeksekusi anjing? Cekik, lalu putar kepalanya. “Krek!”. Fatality.
“Kok tega pak?”
“Kan anjing mas..”, katanya sambil tersenyum manis.
Kegilaan kedua manusia. Kita bisa tidak menghargai kehidupan makhluk lain, kalau kita anggap mereka berbeda. Kenyataannya kata “kan anjing mas” tadi bisa juga diganti dengan “kan cina mas”, “kan agamanya beda mas”, “kan ga punya agama mas”, “kan kelainan seksual mas”, “kan dia bukan siapa-siapa kita mas”, dan lain-lain.
Yeah. Begitulah. Berita baiknya kalau pendapat saya benar adalah berarti para pelaku kekejaman terhadap sesama manusia itu mungkin ga jahat sebenarnya, mereka cuma kehilangan persepsi kalau yang mereka aniaya itu juga manusia seperti mereka. Mungkin di luar kekejaman mereka, mereka juga adalah ayah, suami, istri, kekasih, teman, atau bahkan tetangga yang ramah, baik hati dan punya senyum yang manis. Tentu saja semua itu hanya bagi yang mereka anggap sesamanya manusia.
Lucu kan bagaimana orang baik bisa sekejam itu?
Ga Dilarang Kok
Pada akhirnya, sebenarnya saya ingin menghimbau kepada teman-teman saya yang masih makan anjing. Jangan lah dilakukan lagi. Biarpun enak, tapi masak tega mau makan hewan seimut dan sesetia itu? Tapi sayangnya palingan ga ada yang mau mendengarkan himbauan berniat baik itu.
“Kita ga dilarang makan kok, ada ngga di kitab? Kan boleh makan apapun asal disyukuri.”
Percuma. Itu kegilaan manusia ketiga yang saya temukan. Kita tega melakukan sesuatu yang sebenarnya ga pantas, atau yang tega, asal ada pembenarannya. Dan pembenaran paling dasyat adalah pembenaran menurut kitab suci.
Ga dilarang di kitab suci aja, kita bisa ngotot melakukan sesuatu. Apalagi ada tertulis untuk melakukannya. Habis sudah hati nurani, habis sudah akal sehat, habis sudah keharusan berpikir panjang. Percuma mulut bicara.
Maka, sudahlah..
Makassar, 28 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H