Mohon tunggu...
Adolf Roben
Adolf Roben Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja kantoran

Pemuda paruh baya pada umumnya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jangan Dewasa di Depan Umum

3 Februari 2014   13:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi dewasa, itu sesuatu yang kita inginkan di waktu kecil, dan seringnya menjadi sesuatu yang kita sesali saat sudah mulai “tua”.

Teman saya bilang dia menyesal menjadi dewasa, dan tambah dewasa, rasanya hidup tidak se-menyenangkan dulu. Bagaimana rasanya saat ingin cuek, ingin egois, ingin menang sendiri, tapi tidak bisa! Bagaimana rasanya ingin usil dan iseng tanpa peduli bagaimana efeknya terhadap pandangan orang lain terhadap kita, tapi juga tidak bisa! Menjadi dewasa, itu menghambat sekali rupanya, dalam pandangan teman saya itu.

“Jadi ga bebas, rasanya banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan lebih bijak, dan itu ga menyenangkan”, katanya.

Ah, saya ngga ngerti. Saya sendiri ga yakin, apakah saya ini sudah dewasa atau belum. Lebih dewasa daripada saat masih anak-anak dulu, itu pasti, tapi apa cukup dewasa secara umum, itu yang entahlah. Yang jelas saya sudah mengalami banyak hal dalam dua puluh enam tahun hidup saya, dan saya belajar banyak (terutama dari hal-hal yang menyakitkan, yang bahasa manisnya sih cobaan). Mungkin kumpulan pelajaran yang tersimpan di memori saya, yang secara otomatis mempengaruhi sikap saya dan cara saya mengambil keputusan, itu yang disebut kedewasaan, setidaknya saya pikir begitu.

Dan kalau begitu maka benar, itu merepotkan. Ga bebas lagi gara-gara itu.

Dulu waktu kecil saya boleh bersikap kekanak-kanakan, merajuk waktu sikap semua orang tidak sesuai dengan keinginan saya, lalu ngamuk sambil guling-guling di lantai, coba sekarang saya begitu..ehm, ga terbayangkan apa yang terjadi setelahnya.

Dulu, boleh saja saya nangis kalau rasanya sakit, terserah mau sakit fisik atau sakit hati. Sekarang? Waduh, bisa diragukan kejantanannya kalau ada laki-laki yang begitu! Lagipula, rasanya sekarang kok semakin tambah tua begini, tambah banyak ya yang bikin sakit hati, mulai dari gara-gara tersinggung, iri, benci, marah, bahkan empati. Iya, empati pun bisa bikin sakit hati. Kalau ada keluarga teman meninggal, dia sedih, dan kita berempati (bener2 ber empati) maka kita jadi ikut sedih kan? Sedih itu bagian dari sakit hati, dalam versi yang lebih mulia.

Yang jelas, gara-gara semakin dewasa, banyak yang berubah dalam hidup kita, karena kitanya yang berubah.

Kalau saya pikir, perubahan paling berpengaruh pada dunia kita itu adalah perubahan cara kita berkomunikasi. Ya nggak?

Cara kita berkomunikasi mempengaruhi siapa yang akan mendekat dan menjadi teman-teman kita, siapa yang akan menjauh dan menjadi bukan siapa-siapa (yah, atau mungkin cuma kenalan tapi bisa juga jadi musuh), mempengaruhi cara orang memahami kita, dan dengan pemahaman itu mereka akan merespon kita. Sudah terbayang? Itu artinya mempengaruhi apa yang terjadi dalam hidup kita sehari-hari. Mempengaruhi “dunia” kita.

Normalnya, kita bisa bergaul baik dengan orang yang tingkat kedewasaannya kurang lebih sama dengan kita. Yang artinya juga memiliki tingkat kekanak-kanakan yang kurang lebih juga sama. Lihat sendiri kan? Ababil dengan ababil, leader dengan leader, remaja dengan remaja, dan orang paruh baya dengan sesamanya.

Simplenya begitu.

Karena itu kalau kita berkomunikasi dengan orang yang jauh lebih dewasa, jadinya bosen. Jadi misalnya tuan-tuan dan nyonya membaca tulisan ini dan bosan, mungkin..hahaha, ngga lah, mungkin aku nya yang memang mbosenin.

Atau bisa juga sebaliknya sih, malah jadi kagum, jadi terpesona, jadi senang, jadi ingin dinasehati. Tapi percayalah, ga semua orang bisa jadi mario teguh, lebih banyak lagi orang (terutama anak muda) yang akan mendefinisikan orang yang terlalu dewasa bagi mereka dengan: “bosan”, “ngga fun”, “bingung”, dan “aduh, ketemu orang kayak gini?”

Apalagi kalau orang itu ada di sekitar mereka setiap hari, misalnya teman kerja, teman sekolah, atau pacar mungkin (baru ketahuan setelah pacaran).

Merasa jadi orang kayak gitu ngga? Yang mbosenin orang?

Saya merasa jadi orang begitu kadang-kadang.

Kadang waktu lagi ngobrol entah kesambet atau apa, saya mulai nyerocos menumpahkan semua kalimat bijak yang saya pikirkan, nasehat-nasehat, dan pandangan-pandangan saya secara serius, bodohnya saya ga sadar kalau wajah-wajah di depan saya sudah bukan lagi wajah orang yang mendengarkan, tapi wajah bosan. Saya ga sadar, itu yang dinamakan orang ga tahu diri.

Kedewasaan bukan buat disharing paksa, saya yang salah. Kecuali kalau ada orang yang secara khusus datang memang buat mendengar, itu baru bisa.

Tapi yang lebih baik lagi, membiarkan orang lain menjadi dewasa dengan mengalami sendiri masalah-masalah, pahit-pahitnya hidup, pilihan sulit, penyesalan, atau rasa kehilangan. Pokoknya yang ga enak-ga enak deh, saat ketemu yang begituan kan kita baru mikir lebih dalam, baru jadi lebih kenal diri sendiri.

Karena itu kupikir kedewasaan itu bukan sesuatu yang sebenarnya harus diumbar, kedewasaan itu beban (karena asalnya memang dari beban-beban), dan seperti beban-beban kita yang lain, lebih baik itu disimpan baik-baik dalam pikiran kita sendiri, ga perlu ditunjuk-tunjukin. Dan diluar itu, jadilah orang yang menyenangkan saja. Yang ceria. Yang kekanak-kanakan pun boleh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun