Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Koperasi dengan Kelebihannya, Mampukah Bertahan di Tengah Gempuran Kompetitor?

19 Juli 2023   01:25 Diperbarui: 19 Juli 2023   02:41 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Just Sharing....

Meski bekerja di perusahaan yang menyalurkan kredit pembiayaan ke masyarakat, saya juga seorang nasabah di sebuah koperasi simpan pinjam. Terhitung lebih dari satu dekade. 

Tahun lalu, daripada BPKB nganggur di rumah, coba ajukan lagi setelah hampir tiga tahun tak pernah pinjam. 

Nanti bulan depan entahlah. Apakah melanjutkan dengan kontrak baru lagi atau rehat dulu. Karena cicilan biasa dibayarkan maju, sehingga tenor yang seharusnya setahun, jadinya lebih cepat selesai. 

Tentu ada sejumlah alasan mengapa kerap kredit di koperasi itu dipilih daripada di kantor sendiri. Saya mengamati dan merasakan sejumlah kelebihan. 

Area jumlah persebaran koperasi di Indonesia. (Sumber: Biro Pusat Statistik)
Area jumlah persebaran koperasi di Indonesia. (Sumber: Biro Pusat Statistik)

Pertama, bisa pinjaman kecil di bawah 4 juta. 

Untuk beraneka kebutuhan yang tidak membutuhkan banyak dana, lebih prefer pinjam ke koperasi. Karena plafon mulai dua juta ke atas. 

Tentu ini salah satu pembeda di mana sejumlah perusahaan besar atau bank juga BPR (Bank Perkreditan Rakyat), biasanya jarang menyetujui plafon minimal di bawah 4 juta. 

Padahal bisa saja si calon nasabah mungkin butuhnya cuma 2 juta atau 3 juta. 

Kedua, bunga pinjaman rata-rata lebih rendah. 

Beberapa tahun lalu saya juga pernah pinjam dengan nominal di atas 5 juta lalu membandingkan dengan meminjam di bank atau di kantor sendiri. 

Wajar sih, karena koperasi simpan pinjam dikelola oleh jumlah karyawan yang lebih sedikit dibanding lembaga pendanaan. Otomatis biaya operasional juga tidak banyak. 

Apalagi belum semua koperasi mengadopsi teknologi digital dalam sistem mereka dimana biaya investasi cukup besar akan berkorelasi secara tak langsung terhadap nominal cicilan. 

Ketiga, ada pilihan sistem pembayaran decline (bunga menurun). 

Bila meminjam di lembaga jasa keuangan di luar koperasi, jarang bahkan hampir tidak ada sistem pembayaran dengan bunga menurun. Rata - rata menggunakan sistem bunga anuitas. 

Sebaliknya di koperasi ada beberapa opsi cara bayar. Bisa dengan bunga menetap, bunga menurun, atau dengan sistem pembayaran bullet dimana bisa bayar bunga saja tapi pokok dibayar di akhir tenor. 

Saya sendiri selama meminjam di koperasi lebih suka dengan sistem bunga menurun. Bisa bayar lebih besar dari nominal cicilan sehingga lebih cepat lunas.

Selain itu, dengan sistem bunga menurun, debitur bisa menghitung sendiri berapa sisa Pokok Utang dan berapa bunganya. Karena perhitungannya sangat sederhana. Tak seperti sistem anuitas. 

Keempat, proses dan pencairan rata- rata lebih cepat. 

Ini juga hal yang wajar lantaran koperasi tidak serumit pengajuan di bank atau di lembaga pembiayaan lain. 

Analis kredit di koperasi mungkin tidak punya banyak parameter seperti divisi kredit yang harus menilai banyak aspek untuk kelayakkan calon debitur. Bahkan kadang tanpa melalui analis karena keputusan langsung dari pimpinan koperasi. 

Calon debitur juga tidak harus menandatangani banyak dokumen atau yang dikirimkan lewat email atau WhatsApp. Selain itu, syarat administrasi juga tidak banyak. 

Kelima, calon debitur di atas usia 55 tahun masih boleh meminjam. 

Segmen calon nasabah dengan kisaran usia senior ini mungkin sulit disetujui bila ajukan di bank atau di perusahaan pembiayaan karena batas syarat usia yang boleh biasanya antara 21 tahun hingga 55 tahun. 

Tapi pada beberapa koperasi masih memberi ruang untuk membantu pembiayaan kaum senior yang berwiraswasta. 

Dengan segala kelebihan koperasi, mampukah bertahan di tengah gempuran para kompetitor? 

Secara sederhana kompetitor koperasi simpan pinjam adalah lembaga jasa keuangan lain yang melakoni simpan atau pinjam. 

Perbankan di Indonesia, baik bank umum atau BPR (Bank Perkreditan Rakyat) fungsi utamanya hampir sama dengan koperasi. Tempat menyimpan uang dan tempat menyalurkan uang dalam bentuk pinjaman kredit.

Bedanya bank menghimpun dana dari masyarakat lewat produk tabungan, giro, deposito dan lainnya. Koperasi juga menghimpun dana dari anggotanya berupa simpanan pokok dan simpanan wajib. 

Dana yang dihimpun ini adalah kekuatan yang jadi modal untuk dijual kembali dalam bentuk pembiayaan kredit. Bila bank ditawarkan ke segmen calon nasabah yang membutuhkan, sebaliknya koperasi dalam bentuk pinjaman ke para anggota. 

Selain bank, kompetitor koperasi yang bermunculan dalam dua dekade terakhir adalah multifinance atau perusahaan pembiayaan dan fintech lending termasuk pinjol. 

Dua kompetitor terakhir ini sejatinya bukan tempat menyimpan dana tapi tempat meminjam dana. Debitur meminjam dalam bentuk pembiayaan kendaraan, barang dan modal usaha. 

Padahal mayoritas multifinance adalah juga anak usaha bank besar lewat proses joint financing. Demikian juga fintech lending memperoleh suntikan dana dari para investor baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 

Melihat begitu guritanya para kompetitor, koperasi simpan pinjam seolah-olah terkepung oleh para raksasa. Padahal koperasi adalah pionir badan usaha simpan pinjam di Indonesia. 

Berdiri pada 12 Juli 1960, adalah Bung Hatta wakil presiden pertama yang mencetuskan bahwa koperasi punya peranan penting untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Dari rakyat untuk rakyat. Dari anggota untuk anggota

Melintasi waktu yang panjang, sejak 1960 hingga tahun akhir tahun lalu, berdasarkan data di Biro Pusat Statistik (BPS) jumlah koperasi yang terdaftar di Indonesia ada 130.354. Jauh lebih banyak dari para kompetitornya yang terdiri dari:

  • Kantor cabang bank umum: 32.531
  • Kantor BPR: 6.530
  • Perusahaan Pembiayaan: 209
  • Fintech Lending: 102. 
  • Total kompetitor: 39.372 berbanding 130.354 koperasi. 

Target market, benturan produk, dan irisan database debitur. 

Pergilah ke sebuah koperasi simpan pinjam demi niat meminjam. Mintalah brosur dan bacalah beraneka jenis kredit. 

Lalu keluarlah dari koperasi dan ayunkan langkahmu ke bank, ke BPR, ke kantor multifinance. Masih belum ada yang sreg, silahkan buka website fintech atau mencoba hubungi seorang agen pinjol. 

Apakah engkau melihatnya Dora? Hmm...Mengapa semua sama. Kredit multiguna, kredit tanpa agunan, kredit kendaraan, kredit modal kerja dan lainnya. 

Inilah yang disebut benturan produk. Ketika para kompetitor koperasi menjual produk pembiayaan yang dijajakan juga oleh koperasi akan semakin banyak pilihan bagi masyarakat. Padahal koperasi itu lemah di pemodalan. 

Lambat laun, meski jumlah koperasi jauh lebih banyak dari kompetitor, tapi pangsa pasar semakin terbagi. Penetrasi kompetitor merasuk hingga ke pelosok dimana dulunya warga di situ hanya bergantung pada koperasi. 

Maka adalah fenomena yang wajar, bila banyak koperasi patah tumbuh hilang berganti. Banyak yang dibekukan, banyak yang tidak lagi jalan aktifitasnya, banyak yang macet karena kurang modal. Hanya sedikit yang tetap eksis dan bertahan. 

Di satu sisi, para kompetitor semakin melebarkan sayap. Beranak pinak dengan membuka cabang-cabang baru. Berpenetrasi langsung dengan mengandalkan kemampuan teknologi komunikasi. 

Ketika handphone ada di tangan orang desa atau warga kampung, lebih dulu penawaran pinjol masuk sebelum brosur koperasi di lihat di balai desa. 

Lihat saja pameran dangdut atau atraksi hiburan yang bisa masuk sampai ke pasar , ke lapangan desa yang diadakan oleh para kompetitor. 

Tujuan awal menghibur warga tapi yang utama adalah menawarkan kredit modal kerja, atau menjual produk kendaraan atau iPhone keluaran baru dengan cara kredit. 

Lantas target market apakah yang disasar oleh koperasi dan para kompetitornya? 

Dalam bisnis pembiayaan, semua lembaga jasa keuangan akan mencari warga yang mampu mengangsur manakala dipercayakan pinjaman. Ini berarti calon debitur potensial yang punya usaha dan sudah bekerja. Mereka ini disebut katagori usia produktif. 

Di Indonesia, berdasarkan hasil sensus penduduk oleh BPS pada tahun 2022, ada kurang lebih 190 an juta warga yang terkatagori itu dari 275 juta penduduk. Berada pada usia 15 tahun hingga 64 tahun. Merekalah sasaran beraneka penawaran kredit.

Menariknya, manakalah berburu nasabah potensial di pasar pembiayaan, akan membentuk yang namanya irisan debitur. Sama kayak konsep himpunan dalam matematis dimana tak sedikit nasabah berstatus nasabah di koperasi, tapi juga debitur di bank atau di pinjol. 

Pada akhirnya strategi antar para kompetitor tak lagi menyasar nasabah baru. Tapi bagaimana agar mampu menarik nasabah di satu kompetitor pindah ke kompetitor lain. Dengan gimmick, dengan strategi penjualan, dengan beraneka program promo. 

Dan bukankah itu yang sedang terjadi saat ini. Anda, saya, kamu dan kita yang saat ini dalam usia produktif, kerap kali ditelpon atau di SMS bahkan masuk WA terkait penawaran kredit dari beraneka lembaga pembiayaan. 

Bila berburu sudah tak bisa lagi di lakukan karena begitu banyak pemburu di luar sana, bukankah bisa dengan cara "membeli" dalam tanda petik hewan milik tetangga lalu di ternakkan di kandang sendiri.

Koperasi Open Loop atau Koperasi Close Loop? 

Meski jumlah koperasi yang terdaftar lebih dari 130 ribu, tapi tidak menjamin bahwa aktivitas koperasi berjalan sesuai dengan peran dan fungsinya. 

Bila koperasi simpan pinjam itu menghimpun dana dari para anggotanya, lalu menyalurkan dalam bentuk kredit, mengapa yang bukan anggota juga bisa kredit dan diberikan pembiayaan.

Lantas bila anggota patuh pada simpanan pokok dan simpanan wajib, mengapa sebuah koperasi bisa gulung tikar dan kekurangan modal. 

Saya punya mantan nasabah yang dulunya bankir di sebuah bank daerah lalu memutuskan resign dan mengelola sebuah koperasi simpan pinjam. 

Terhitung sejak tahun 2015 hingga sekarang, beliau masih terus mengajukan pinjaman dana dengan agunan BPKB mobil demi menambah modal usaha koperasinya. 

"Tidak bisa harap ke anggota, lebih baik berinisiatif sendiri. Kalo tak ada modal, apa yang mau dikreditkan ke nasabah," demikian curhatnya.

Kurang modal adalah masalah terbesar di koperasi. Padalah kompetitor kuat secara modal. 

Dengan sokongan dana yang kuat, tentu kompetitor bisa mendapatkan SDM yang andal untuk mengelola produk pembiayaan mereka. Beda jauh dengan koperasi. Banyak hal yang perlu dibenahi agar bisa tetap bertahan

Hal inilah yang dipikirkan pemerintah sehingga terbentuk di tahun 2023 ini Undang-Undang nomor 4 terkait Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU P2SK) terhadap koperasi. 

Ada istilahnya Koperasi Open loop (KOL), yakni koperasi yang bergerak di sektor jasa keuangan dengan melayani di luar dari anggotanya. Sebaliknya Koperasi Close Loop (KCL) berfokus pelayanan pada anggota koperasi saja. 

Pemerintah berencana ke depannya, KOL ini akan ditangani oleh Kemenkop UKM, sedangkan KCL akan diawasi oleh OJK. 

Menarik untuk menunggu gebrakan apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah demi memajukan koperasi di Indonesia. 

Salam, 

Referensi: 

1. kompas.com

2. dataindonesia.id

3. bps.go.id

4. dataindonesia.id

5. ojk.go.id

6. databoks.katadata.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun