Just Sharing....
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan tiga contoh nyata dalam tiga bulan terakhir. Jadi proses pra kredit sudah dilakukan pada momen di mana kondisi ekonomi mulai normal dan membaik.Â
Punya seorang nasabah, sebut saja namanya Putri. Usia 32 tahun, muda dan produktif. Sebulan lalu, ibu dua anak itu mengajukan pinjaman dana untuk modal usaha lewat layanan aplikasi di kantor.Â
Dana belasan juta pun ditransfer ke nomor rekening miliknya yang juga adalah rekening gaji dari tempat dia bekerja.Â
Sebelumnya, dia sudah melampirkan sejumlah persyaratan sebagai dasar persetujuan.Â
Namun cukup terkejut ketika melihat namanya masuk dalam daftar nasabah yang menunggak hingga lebih dari 30 hari.Â
Bagaimana mungkin nasabah yang baru saja dipinjamkan uang sekian banyak, lalu sebulan kemudian beralasan belum bisa bayar cicilan pertama.Â
Hey, apa yang terjadi pada dirinya? Di kemanakan kira-kira uangnya? Hmm.
Itu kisah nyata untuk kredit dana. Saya akan pakai contoh lain dari kredit barang dan kendaraan.Â
Adalah Kevin pria 30 tahun yang bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan manufaktur.
Demi membahagiakan istri dan anak semata wayangnya, dia kredit TV LCD dengan cicilan kurang lebih  350 ribu per bulan.Â
Dia juga masuk dalam list nasabah menunggak dengan keterlambatan 62 hari cicilan pertama.Â
"Masih cari pinjaman Bang untuk bayar. Minta tolong nanti bisa dihapus dendanya ya," demikian chatnya lewat WA ke seorang karyawan internal.Â
OMG, sudah sengaja telat kok minta hapus denda, hehe. Mungkin sedikit tersenyum bila ada nasabah kayak gitu.Â
Tapi aslinya memang banyak yang demikian. Tergantung kebijakan juga entah nanti berapa prosentasenya yang bisa dihapus.
Setali tiga uang dengan Pak Agus yang bulan lalu begitu bahagia ketika pihak dealer ke rumahnya mengantar satu unit motor baru Vario, sampai- sampai diupload videonya di status WA.Â
Namun 58 hari kemudian, angsuran pertama sejumlah Rp 1.204.000 masih berstatus belum terbayar di sistem dengan tunggakkan 28 hari.Â
Ini nasabahnya pura-pura lupa atau sengaja mengabaikan  kewajiban. Padahal unit kredit (barang, uang atau kendaraan) tetap dipakai dan dianggap sebagai miliknya.Â
Sejatinya itu sudah dibayar dan dilunasi oleh perusahaan pembiayaan ke showroom atau merchant sebagai pihak ketiga.Â
Dan bila dibedah kasus nasabah ala-ala Ibu Putri, Pak Kevin dan Pak Agus seperti kisah di atas, selalu ada dan berulang dari bulan ke bulan.Â
Ini menggambarkan bahwa di masyarakat kita masih banyak warga yang tidak teredukasi secara finansial sehingga mengabaikan kewajiban setelah haknya dipenuhi.Â
Ini bukan tentang tingkat pendidikan atau latar belakang sosial karena bisa ditemukan pada beraneka nasabah, tapi lebih pada karakter dan tanggung jawab.Â
Apalagi proses pengajuan dilakukan dalam kondisi dan momen di mana ekonomi sudah bergerak dan pandemi Covid-19 bukan lagi penyebab utama tak bisa bayar.Â
Analogikan bila Anda meminjamkan dana pada seseorang atau membelikan sebuah barang dengan sejumlah uang dari tabungan.Â
Lalu 40 hari kemudian Anda menunggu mengapa dia tak jua mencicil sesuai perjanjian.Â
"Maaf belum ada uang, masih diusahakan," demikian alasan yang diberikan.
Mau marah ngga enak. Mau paksa juga ngga tega. Tapi ini cicilan pertama lho. Masa baru dikasi bulan lalu lantas bulan ini sudah ngga bayar, hehe.Â
Yo wes sabar aja. Sampai kapan sabarnya? Mungkin sampai batas toleransi waktu yang diberikan.Â
By the way, penasaran juga apa sih yang bikin nasabah dengan tipikal cicilan pertama sudah nunggak selalu ada dan terus ada.Â
Beberapa hal di bawah ini kadang sebagai penyebab:Â
1. Tidak benar-benar punya niat kredit
Ada tipikal nasabah seperti ini yang mengajukan kredit hanya karena ingin mencoba seperti apa dan bagaimana rasanya memiliki (menggunakan) unit kredit.Â
Manakala dihadapkan dengan kewajiban membayar mereka menghindar. Sebagian lainnya lalu mengalihkan barang kredit pada orang lain.Â
Misalnya dengan gadai di bawah tangan atau meminta orang lain meneruskan membayar sesudah mereka menggunakan. Orang lain itu bisa masih ikatan keluarga atau relasi.Â
Ada lagi yang beralasan ingin mengembalikan barangnya setelah dipakai sebulan daripada melanjutkan sampai selesai.Â
Mungkin dikira perusahaan pembiayaan itu kayak perpustakaan. Bisa pinjam lalu pakai kemudian kembalikan.Â
Lha kalo barangnya masih bisa dijual kembali seperti kendaraan roda dua atau empat sih masih mending.Â
Tapi tetap aja rugi karena harga jual kembali dengan cara lelang jatuhnya ngga sebesar harga baru, namanya juga barang bekas.Â
Paling miris kalo nasabah mau balikin HP, sofa atau TV. Mungkin dikira pinjam ke tetangga kali ya. Hehe.Â
Biasanya ini model nasabah yang ngga serius kredit tapi pada saat mengajukan muka dan gesturnya serius banget. Mampu menghipnotis si marketing sampai akhirnya disetujui.
Padahal seharusnya nasabah paham kalo itu sudah dibayarkan perusahaan pembiayaan sampai barang kreditan itu bisa pindah ke tangan nasabah.Â
2. Kurang bijak mengelola uang
Mengelola uang erat kaitannya dengan menguasai diri karena besar kecilnya pengeluaran dan ke mana saja uang itu keluar tergantung dari gaya hidup dan kebutuhan yang sifatnya personal atau kolektif.Â
Contoh gampangnya adalah ketika seseorang tak punya kendaraan dan ke mana-mana mengandalkan abang gojek atau mas sopir taksi, lalu suatu ketika dapat kredit motor atau mobil, apakah hidupnya berubah?Â
Besar kemungkinan iya. Tapi konsekuensinya muncul kewajiban cicilan (yang sebelumnya tidak ada).
Ini kadang tidak disadari oleh nasabah karena akan menggerus pos-pos pengeluaran lain yang sebelumnya sudah ada.Â
Punya motor kredit berarti keluar uang servis rutin, ganti oli dan lain sebagainya. Apalagi punya mobil sudah pasti lebih besar.
Demikian juga kredit HP yang mahal. Sudah pasti akan membutuhkan kuota paket di mana nasabah akan kerap memakainya. Sama juga kayak kredit rumah, mesti renovasi dan lain-lain padahal tiap bulan harus bayar angsuran juga.
Ternyata memiliki barang kredit berimplikasi pada tuntutan atau tambahan pengeluaran lain terkait barang itu.Â
Ini membutuhkan pengelolaan finansial yang lebih bijak agar cicilan tetap terbayar dan bukan menunggak.Â
3. Fraud.
Fraud sederhananya adalah tindakan yang dilakukan untuk mencari keuntungan dengan menyalahi prosedur (SOP).Â
Cicilan pertama yang belum dibayar oleh nasabah dalam jangka waktu di atas 30 hari atau lebih biasanya akan memunculkan adanya indikasi fraud.Â
Pelakunya bisa dari karyawan internal, karyawan pihak ketiga, bisa juga fraud oleh nasabah termasuk di dalamnya kasus atas nama atau fraud secara sistem.Â
Kasus nasabah menunggak sejak cicilan pertama karena fraud akan merugikan perusahaan pembiayaan itu sendiri.Â
Apalagi bila pelakunya adalah orang dalam yang "konkalingkong" dalam tanda kutip dengan nasabah atau pihak ketiga.Â
Sanksi bagi karyawan mulai Surat Peringatan (SP) hingga dipecat dan bagi nasabah akan di-black list di sistem, yakni tidak bisa lagi mengajukan pembiayaan di perusahaan pembiayaan itu atau di kantor cabang lainnya.
Dampak bagi nasabah?Â
Otomatis akan tertera di riwayat kredit nasabah dan  bisa terlihat di SLIK juga. Sulit untuk kredit lagi di bank, finance atau perusahaan pembiayaan lain.Â
Mungkin tidak untuk sekarang tapi nanti 2 tahun atau 5 tahun ke depan tetap terekam di sistem.Â
Makanya kadang ada nasabah sengaja tidak membayar sampai dikunjungi bagian penagihan juga tetap tak mau bayar.Â
Percayalah suatu hari nanti (entah di tahun kapan) nasabah yang menunggak itu akan muncul ke kantor untuk selesaikan tanggung jawabnya karena terkena BI Checking.Â
Nasabah tertunggak juga akan diberi peringatan oleh perusahaan pembiayaan atau dikunjungi oleh karyawan bagian penagihan ke rumah atau ke tempat dia bekerja.Â
Dampak dari kunjungan kadang memunculkan rasa tak nyaman dan terganggu oleh nasabah secara sosial padahal petugas hanya menjalankan tugas sesuai job desknya.
Adanya nominal denda akibat nunggak juga menambah besar kewajiban bayar nasabah. Padahal mau tidak mau, suka tidak suka, denda adalah konsekuensi dari harga yang harus dibayar bila menunggak.Â
SalamÂ
Brader Yeft
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H