Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Selagi Kredit Masih Berjalan, Kuasailah Diri

17 Juli 2022   14:58 Diperbarui: 17 Juli 2022   17:01 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Just Sharing....

Orang yang tidak dapat menguasai diri adalah seperti kota yang roboh temboknya. Mungkin ini salah satu kalimat bijak yang berkaitan dengan uang dan kontrol diri. 

Karena pengelolaan finansial secara bijak, baik finansial pribadi atau finansial keluarga berdampak pada kestabilan hidup. 

Bila membaca sejarah dan melihat bagaimana kota kita dan kerajaan dibangun di jaman dulu, tembok atau menara adalah benteng perlindungan ketika musuh menyerang. 

Rakyat aman manakala tembok itu kokoh, kuat dan tak dapat dirobohkan. Dari balik tembok itulah strategi mengatur serangan dan pertahanan disiasati. Rakyat bisa beraktivitas dengan aman tanpa takut musuh menyerang.

Namun bila ada segelintir rakyat yang tergoda untuk menerima imbalan dari pihak musuh demi memberi tahu kunci rahasia menerobos tembok, tentu akan mendatangkan masalah bagi rakyat lain yang berlindung dibaliknya. 

Kesudahannya adalah kehancuran dan porak poranda diobrak-abrik musuh. Kenyamanan berganti kesusahan. 

Mungkin ini hanya ilustrasi sederhana untuk menggambarkan bahwa salah satu pilar kestabilan hidup adalah tembok finansial. Karena manusia tidak bisa hidup tanpa uang meski tujuan hidup bukanlah uang saja. 

Tapi konsekuensi dari adanya beraneka kebutuhan tentu ada uang masuk (pendapatan) dan uang keluar (pengeluaran). Ke mana saja keluarnya dan dari mana saja masuknya tidaklah sama pada masing-masing orang. Yang penting adalah bagaimana mengelolanya. 

Gaji 3 juta untuk seorang bujangan 28 tahun yang masih tinggal bareng orang tua mungkin rasanya cukup. Akan berbeda bila nominal gaji segitu untuk seorang kepala keluarga yang istrinya tak bekerja dengan anak 3 orang.

Bicara soal nominal gaji di negara kita tercinta Indonesia ini, tak bisa ditampik bahwa harga barang di luar sandang dan pangan jauh banget jomplangnya dengan rata- rata UMK atau UMR. 

Misalnya harga rumah, harga kendaraan hingga harga gadget. Padahal ketiga benda ini penting banget dalam dinamika aktivitas warga. 

Apalagi di saat harga tanah melonjak dan mobilitas manusia meningkat ditunjang perangkat komunikasi. 

Itulah mungkin mengapa perusahaan pembiayaan tumbuh subur di negeri ini. Ketika rakyat tak dapat membeli secara tunai karena sadar bahwa pendapatannya cuma sekian persen dari harga produk yang diminatinya, ke sanalah mereka mencari solusi. 

Perusahaan pembiayaan entah itu bank, finance, leasing atau semacam koperasi ibarat tembok berlindung meski harus mencicil dalam jangka waktu tertentu. 

Aman selama bisa mengangsur namun menjadi tak aman manakala nasabahnya sendiri atau pasangan dan keluarganya tak bisa "menguasai diri" dalam tanda petik. Yang terjadi adalah porak-poranda alias ketidakstabilan finansial. 

Ujung- ujungnya kewajiban angsuran tertunggak. Ini bukan karena force majeure yakni terjadi bencana alam di luar kemampuan manusia atau karena faktor pandemik Covid-19, tapi karena ulah gaya hidup dan perilaku debitur yang akhirnya menyusahkan diri dan orang- orang terdekatnya. 

Beberapa kisah di bawah ini hanya sekedar berbagi dari pengalaman

1. Suami mengenal narkoba setelah kredit HP baru, istri pusing tujuh keliling

Harga perangkat seluler ini lumayan mahal. Dengan cicilan hampir 900 ribu per bulan selama setahun bisa ditebak berapa kisaran harganya. 

Debitur adalah istri, namun yang menggunakan adalah suami yang punya usaha sendiri sebagai seorang pebisnis. 

Dokpri
Dokpri

Setelah lancar pembayaran selama beberapa bulan, akhirnya gejala macet mulai terlihat. Telat beberapa hari jadi  beberapa minggu hingga dua bulan lewat. 

"Maaf Pak, ngga bisa bayar. Suami berurusan dengan polisi karena kasus narkoba," demikian keluh si nasabah. 

Tak hanya suaminya yang ditahan di sel untuk pemeriksaan tapi HP mahal itu pun jadi barang bukti ditahan juga karena transaksi dan komunikasi tersimpan di sana. 

Ujung- ujungnya tak hanya cicilan gadget yang tak terbayar, tapi kontrakkan rumah pun macet karena praktis bisnis suami tak terurus dan si istri bolak balik kantor polisi juga. 

"Sejak punya HP baru itu, dia mulai berteman dengan orang- orang yang salah, akhirnya susah kayak gini," kata si istri sambil menunjukkan surat penahanan dari Polres setempat. 

Nah lho, padahal di awal cashflow finansialnya baik sehingga disetujui. Hmm...

2. Mulai macet semenjak suami punya mobil dan punya WIL

Harga mobil baru rata-rata di atas 100 juta. Dan bila sudah punya mobil, gengsi dan nilai sosial di mata masyarakat pun bisa berubah. 

Wajar karena hanya orang menengah yang bisa beli atau kredit. Cicilan mobil itu biasanya di atas dua jutaan untuk tenor 2 hingga 4 tahun. 

Keluarga ini sebelumnya hanya punya roda dua. Dengan tiga motor di rumah, satu milik suami, satu milik istri dan satu dipakai anak sulung, hidupnya terlihat stabil. Sama stabilnya dan lancar riwayat cicilan tiga motor itu di kantor. 

Namun semenjak kredit mobil baru, tahun pertama masih terlihat lancar dan normal. Masuk pertengahan tahun kedua, mulai menunggak. Akhirnya lebih dari dua bulan. Ketika dianalisis baru terlihat akar masalahnya. 

Suami punya hubungan "khusus" dengan perempuan lain sehingga uangnya pun terbagi. Lambat laun finansial keluarga berdampak. Apalagi itu memicu ketidakharmonisan dengan istri dan anak- anak

"Semenjak punya mobil dia mulai nakal," kata sang istri.

Hmm...repot juga ya:)

3. Janji di atas ingkar dengan pihak lain padahal agunan dijaminkan ke perusahaan pembiayaan.

Kalo yang ini lain lagi. Tapi ujungnya tetap sama bikin cicilan tertunggak. Seorang nasabah sudah kredit kurang lebih puluhan juta di kantor dengan jaminan BPKB kemudian meminjam lagi pada orang lain dalam jaringan relasinya. 

Ketika sudah jalan beberapa bulan dalam kondisi lancar, tiba-tiba ada tunggakkan. Ketika ditelusuri, ternyata nasabah tersebut sedang berurusan dengan pihak berwajib terkait penipuan. 

Bahkan mobil yang BPKB-nya dijaminkan itu ditahan sebagai barang bukti. Masalahnya adalah bila terlalu lama dan kasusnya belum selesai, bagaimana pihak pembiayaan bisa menarik dan menjual mobil itu untuk menutupi sisa hutang padahal masih jadi barang bukti. 

Di satu sisi pihak luar yang dipinjami uang pun ingin menyita mobil tersebut sebagai ganti utangnya karena merasa dibohongi. 

Dan sekalipun mobil itu dijual belum tentu cukup untuk melunasi utang nasabah ke perusahaan pembiayaan dan juga ke pihak yang dipinjami. 

Apakah ini yang dibilang gali lubang tutup jurang? Entahlah....

4. Ibu-ibu ikut komunitas, satu macet ya macet semua. 

Kalo ini versi emak-emak. Bentuk komunitas dilandasi kegiatan sosial demi kebersamaan. 

Mereka urunan sepakat bayar cicilan dengan menjadikan seorang anggotanya sebagai nasabah dan menjaminkan agunan anggotanya itu demi memperoleh dana. 

Lantas dana tersebut digunakan sebagai modal usaha yang dikelola bersama di mana keuntungan dibagi merata sama halnya dengan beban cicilan. 

Sebulan dua bulan lancar. Bulan ketiga dan keempat mulai mandeg. Bulan kelima tidak ada pembayaran. Lanjut bulan keenam dan ketujuh. 

Ketika dikunjungi pegawai pembiayaan untuk mengetahui detail masalahnya baru terkuak. 

Dari 6 orang yang bersepakat, ada 3 orang yang belum hisa mencicil karena sejumlah alasan. Jadi 3 orang lainnya belum mau membayar dulu karna belum cukup nominal cicilan. 

Parahnya para suami mereka tak tahu apa yang disepakati dan dilakukan para istri. Ketika dikunjungi pegawai dan kebetulan yang ditemui adalah suaminya, baru sang suami tahu istri punya kewajiban cicilan. 

Ngga tahu apa yang terjadi setelah si pegawai meninggalkan rumah. Mungkinkah ada perang dunia ketiga atau perang urat syaraf? Semoga tidak pemirsa...hehe. 

4. Istri tak mau bayar cicilan karena suami obral identitas.

Ini juga paling sering terjadi terutama para bapak bapak muda umur 28 tahun sampai 40 an. Atas dasar pertemanan debitur biasanya meminjamkan identitas KTP dan lain lainnya hingga rela difoto lewat aplikasi kredit untuk pengajuan pinjaman tanpa sepengetahuan istri. 

Istilahnya ya kredit atas nama. Tapi yang ditagih andai lewat jatuh tempo ya si debiturnya. Dan yang bikin sedikit "panas"  saat dikunjungi adalah para istrinya yang ngotot suami ngga ada pernah kredit. 

Setelah ditelusuri barulah ketahuan. Identitas suami direlakan oleh suami untuk dipinjamkan buat Si Kevin, Si Andre, Si Agus dan lain-lainnya yang merupakan sebutan untuk circle pertemanan si suami. 

Biasanya kalo kayak gini si debitur diminta follow up ke si pemakai unit untuk tidak lupa membayar karena pihak pembiayaan hanya berurusan dengan si nasabah. Tidak dengan yang di luar akad. 

Bagaimana menjaga? 

Terkait BI Checking dan SLIK yang menyimpan informasi kredit nasabah dari dulu hingga di masa yang akan datang di beraneka perusahaan pembiayaan, ada baiknya diusahakan agar tanggung jawab kredit tetap dilakukan meskipun sudah menunggak. 

Untuk perihal denda seandainya ada, bisa dinegosiasikan dengan pihak pembiayaan karena masing-masing perusahaan punya mekanisme. 

Satu hal yang penting adalah bagaimana menghindari godaan dan jebakan yang bisa berdampak pada kestabilan finansial. 

Pertimbangkan resiko sebelum masuk lebih dalam. Dipinjamkan berarti dipercayai, so jagalah kepercayaan itu. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun