Mbok Sri si pedagang kecil di atas kapal itu kemudian menurunkan bakul keranjang dagangan dari atas kepalanya tepat di samping karpet saya. Sebuah botol air kemasan dan segelas teh hangat pun dibuatkan untuk saya.Â
"Berapa Mbok?" tanya saya
"Air lima ribu, teh panas lima ribu," katanya.Â
Masih murah untuk harga segitu. AMDK ( Air Minum Dalam Kemasan) segitu palingan harganya tiga ribu di swalayan, Mbok Sri untung dua ribu. Sama untungnya dari segelas teh panas yang biasanya di emperan di Bali dijual tiga ribu.
Mbok Sri bertutur sudah lama jualan mengais rejeki di ataa kapal. Dagangan adalah milik sendiri.Â
Bersyukur selama menjual di ataa kapal sebelum kapal berangkat, tak pernah diminta uang jasa apapun dari pihak kapal.
"Tiyang ("saya" dalam bahasa Bali) sampai jam 4 pagi," katanya sebelum meninggalkan tempat saya berada dan berpindah mencari penumpang lain yang berniat membeli.Â
Terlihat bahwa dengan waktu kerja seperti itu, Mbok Sri dan para pedagang lainnya yang mayoritas wanita diharuskan punya daya tahan fisik lantaran menahan kantuk untuk berdagang.
Itu pun belum tentu semua penumpang yang naik membeli apa yang dijajakan karena sudah membawa bekal sendiri. Tapi bagian mereka ya tetap menawarkan.Â