"..Ketika ketegasan berbenturan dengan toleransi sosial  dan kepentingan bisnis.."Â
Seorang ibu kos berkeluh kemarin malam. Dibilang curhat mungkin iyaa. Entah mengapa obrolan berawal dari sekedar mampir dan tanya kabar melebar ke pernak pernik mengelola kamar kos.Â
" Mas kan tau, ibu dan bapak sudah sekian tahun jadi nasabah dan punya usaha ini. Tapi kok akhir akhir malah kepala ibu cenat-cenut," katanya.Â
" Lho, ibu dan bapak kan dah lunas lama cicilan nya. Ngapain dipikirin. Udah ngga beban lagi kan," kataku sambil menyesap teh hangat yang disajikan.
" Bukan itu, ini soal mereka yang ngekos di sini. Ibu bingung harus gimana. Mau tegas ndak enak, mau ngga dibilangin malah bikin ndak nyaman. Kepalaku sumpek," tutur nya sembari garuk-garuk kepala.
Apa gerangan yang terjadi, penasaran aku. Akhirnya meluncur tipis-tipis apa yang bikin gundah gulana. Ada satu dua anak kos yang ngekos di usaha kosan miliknya bertabiat kurang baik.Â
Mulai dari keseringan menunggak berbulan-bulab, bertingkah semau gue hingga keseringan maaf, Â berbuat mesum dengan tamu yang tak ada ikatan sah. Pada saat diingatkan, balasan nya malah bikin ndak enak hati.Â
" Anda kan bukan (penduduk) asli sini, pendatang di daerah orang, harusnya lebih "lembut" sama warga lokal," demikian jawaban yang pernah diterima dari salah satu anak kosan.Â
Entah makna kata lembut itu apakah berarti harus bersabar lebih lama menanti pembayaran kosan atau mungkin lebih kendor dalam hal teguran dan batasan.Â
Justru ucapan seperti itu yang mampir ke telinga mantan nasabah ini terasa bukan seperti angin sepoi sepoi tapi puting beliung. Seketika mengurungkan semangat nya untuk menegur. Malah jadi serba salah. Lebih menghindari konflik.Â